Sudah lihat kolom komentar di akun instagram @mainbasket yang bergambar Jarron Crump dan Nate Maxey? Kalau belum, ada enaknya lihat dulu, baca dulu.

Seru, bahkan seram. Kolom komentar itu jadi seperti ajang pertempuran mereka yang sangat mendukung Perbasi mengambil langkah pemberian sanksi, dengan mereka yang ingin Perbasi lebih transparan dalam mengambil keputusan.

Sejak pertama kali terkuak ke publik beberapa waktu lalu (saat Jawa Pos-Honda Pro Tournament berlangsung), obrolan tentang kasus pengaturan pertandingan ini bergulir menggelinding tak tentu arah. Melalui suratnya (yang bocor ke publik), Perbasi sudah mengumumkan 8 pemain dan 1 ofisial tim Siliwangi Bandung yang terlibat. Perbasi (dan bahkan IBL) juga sudah memberi sanksi kepada mereka.

Ada rasa kagum dan senang dengan pengungkapan ini. Di sisi lain, ada rasa penasaran. Apa bukti-bukti yang membuat Perbasi menjatuhkan sanksi tersebut kepada mereka. Disusul kemudian oleh pertanyaan-pertanyaan lain, semisal, apa hanya mereka saja yang terlibat?

Benar saja, setelah itu, muncul kemudian rumor bahwa beberapa pemain asing yang bermain di IBL 2017 juga diduga melakukan tindakan serupa. Lalu beredar kabar ada 13 nama lagi pemain lokal yang diduga melakukan tindakan tercela yang sama.

Tak pernah jelas siapa saja nama-nama 13 pemain lokal dan para pemain asing tersebut. Sampai kemudian koran Kompas (3/12) melalui wawancara dengan kepala pelatih Satya Wacana Efri Meldi menuliskan dua nama pemain asing yaitu Jarron Crump dan Nate Maxey.

Menurut Coach Efri Meldi, nama Crump dan Maxey sudah ia incar untuk kembali memperkuat Satya Wacana. Namun ia tidak bisa merekrut mereka karena Perbasi sudah memasukkan dua pemain tersebut ke dalam daftar hitam pemain.

Melalui kolom komentar instagram Mainbasket, kedua pemain tersebut membantah. Tidak jelas keduanya sekarang tengah ada di mana. Satu hal yang pasti, Jarron dan Nate melakukan penyangkalan.

Seberapa pentingkah sebuah penyangkalan atau pembelaan? Benar adakah bukti meyakinkan dari Perbasi? Kalau memang ada, kenapa tidak dibuka saja? Adilkah Perbasi kepada para pemain yang sudah divonis?

Ketika kami meminta para pengikut (followers) twitter @mainbasket untuk menyebutkan siapa praktisi hukum yang enak untuk diajak bicara tentang hal ini, ada beberapa yang menyebut nama akun @Ekomaung.

Akun tersebut milik Eko Noer Kristiyanto. Kami beruntung, Peneliti Hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI itu mau diajak berbincang-bincang (melalui telepon).

Mengawali pembicaraan, Eko bercerita bahwa dirinya juga sedang membuat tulisan tentang kasus Skandal Senayan. Ia juga menceritakan bagaimana kasus pengaturan pertandingan ini bukanlah hal baru, khususnya di sepak bola.

Wawancara singkat dengan Eko mungkin tidak akan menjawab banyak pertanyaan yang ingin kita ketahui. Tapi kami yakin, jawaban-jawabannya sedikit-banyak akan membuka wawasan kita tentang kasus pengaturan pertandingan ini.

 

Bagaimana Mas Eko melihat kasus pengaturan pertandingan yang terjadi di basket ini?

Kasus yang terjadi di basket ini mengejutkan, tapi seharusnya tidak membuat kita terkejut. Ini olahraga permainan ya, dan bisa dijudikan. Motif untuk pengaturan skor itu ada dua sebenarnya. Pertama, karena strategi. Memilih lawan, misalkan. Misalkan, Siliwangi tidak mau ketemu lawan ini (lawan itu), maka mereka sengaja kalah atau bagaimana. Tapi ini (kasus di basket) kan tidak. Ini suap karena uang motivasinya. Saya tadi lihat cuitan (twitter) dari teman-teman. Ada yang mengatakan, ini buktinya tidak ada. Tapi untuk konteks hukum komunitas, (kalau ada) indikasi ke sana ya bisa diambil tindakan. Apalagi tidak ada statement bantahan dari yang terlibat. Dan orang yang membuka ini, saya yakin buktinya runtut. Saya tidak tahu di basket ada komisi apa saja ya. Apakah ada komisi banding, etis, dan lain-lain? Kalau tidak ada, saya rasa Perbasi yakin banget, makanya sanksi jatuh. Dan negara tidak bisa turut campur. Dalam kasus pengaturan skor itu ada dua yang dilanggar. Pertama, olahraga itu sendiri. Kedua, hukum di negara itu. Nah, ini kan tentang suap, pengaturan skor, dan lain-lain, kalau memang ini bisa dibuktikan, dan seharusnya bisa dengan menggunakan Undang-undang no. 80 (UU No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap). Harusnya ini sudah bisa masuk ke kepolisian, dilimpahkan ke kejaksaan dan lain-lain. Cuma masalahnya, mau atau tidak? Misalkan saja, judinya saja. Kita tidak perlu omong judi online, judi itu ilegal, kok. Ada di KUHP.

 

Berarti memang bersinggungan dengan negara?

Iya, kalau ada unsur judi, ada bandarnya. Masalahnya, mau (atau) gak? Ada energi, (atau) gak, negara untuk ke sana? Kayak Calciopoli di liga Italia. Itu otoritasnya langsung betul-betul marah. Artinya, bisa masuk jaksa dan kepolisian. Jadi sanksinya itu ada dari federasi. Seumur hidup, skorsing, pengurangan poin, itu sanksi-sanksi dari federasi. Kalau sanksi hukum negara, disidangkan. Bisa dipenjara, didenda dan segala macam.

 

Pemain sudah kena sanksi, tapi Perbasi tidak mau menunjukkan bukti. Boleh seperti itu?

Itu kan (masalah) otoritas. Itu kan keputusan internal. Itu tidak berurusan dengan publik. Itu hak mereka. Tidak apa-apa. Pemain pasti dikasih pembelaan. Tapi (yang terjadi, pemain juga) tidak membantah.

 

Artinya, publik memang tidak punya hak untuk mengetahui bukti yang dimiliki federasi?

Itu otoritas mereka. Tapi kalau meresahkan masyarakat dan lain-lain, bisa saja. Yang jelas, komunitas itu punya otoritas, dalam hal ini ya Perbasi. Berbeda dengan sepak bola. (Kasus) Ini memang tidak menyita (perhatian) publik. Kalau sepak bola kan betul-betul jadi headline. Ini (basket) memang mengguncang masyarakat olahraga. Tapi, tidak sampai jadi headline. Kalau sepak bola, negara sampai intervensi. Basket sepertinya belum sampai ke situ.

 

Perbasi menjatuhkan sanksi tanpa membeberkan bukti kepada publik. Apakah ini bisa dilihat sebagai persekusi?

Saya kira tidak. Itu terlalu berlebihan. Ini kan main asumsi. Pemain bisa melakukan protes. Tinggal melakukan itu saja dulu. Di sini orangnya banyak dan tidak ada bantahan. Mereka tahu ini pasti ada main. Saya yakin Perbasi memang punya bukti yang kuat.

 

Apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pemain yang sudah kena sanksi itu?

Ini mematikan mata pencaharian. Berarti ada hak keperdataan yang mati. Orang masih harus hidup. Terlepas mereka salah atau gak, mereka boleh melakukan upaya hukum. Protes atau bagaimana. Kalau di sepak bola, sejenis banding. Perkara nanti dikurangi (sanksinya) atau apa, yang jelas kalau buat level atlet, namanya diskorsing sampai tidak bisa cari nafkah, sudah berat banget itu. Melebihi beratnya dipenjara.

 

Sejauh mana Perbasi perlu melibatkan polisi?

Jelas harus ada investigasi. Karena kalau nanti terbukti ada pengaturan skor, apalagi sampai ke judi dan suap, polisi sudah bisa masuk. Tapi dari awal Perbasi menutup-nutupi. Ini masalah internal mereka, seolah tidak ada itikad untuk menuntaskan. Jadi begini, kalau judi, tidak mungkin pemain main sendiri, pasti ada bandar. Mereka main, atur skor, untuk apa? Pasti untuk duit. Duit kan bukan mereka yang punya. Makanya, kalau Perbasi tidak mau menuntaskan, cuma sekadar sanksi, ya bakalan sulit. Ke depannya bakalan kejadian lagi. Malah lebih rapi.

 

Kalau Anda sendiri melihat ini bagaimana. Apakah cukup tindakan Perbasi sampai di sini?

Kalau saya, ya tuntas lah. Jangan sampai masyarakat dibodoh-bodohi. Kalau begini, mau di sepak bola atau basket, masyarakat dibodoh-bodohi. Kalau bisa ya tuntas. Salah satu syaratnya tuntas, harus ada sanksi pidana. Tidak hanya federasi.

 

Ke mana sih ini arahnya?

Saya selalu mulai dengan 3G: Game, Gambling, Girl. Ini murni masalah uang. Karena perputaran judi ini gede banget. Mereka bisa bayar orang untuk atur skor karena keuntungan si bandar itu tetap lebih gede. Ini murni uang. Kalau dibilang merusak olahraga, terlalu berlebihan. Bagi kita, ini (men)jengah(kan). Tapi mereka ya main-main duit saja. Dan segmen judi di Indonesia ini besar.

 

Seberapa besar?

Maksud saya, besar ini variatif. Kalau dulu, kita pasang, menang-kalah. Kalau sekarang, bisa, apakah menangnya berapa bola, apakah ntar skornya di atas 50. Ditambah dengan adanya online, modusnya jadi makin banyak, saya yakin uangnya juga makin gede.

 

Kepala Bidang Hukum Perbasi pernah bilang uangnya sekitar 900 juta per pertandingan. Masuk akal?

Masuk akal dong. Ini kan masif banget. Yang jelas, saya tidak tahu kalau di basket ya. Sudah tidak zaman lagi kita bayar wasit saja. Karena tergantung judi yang mau dimainkan. Misalkan saja, tim mana yang mau dapatkan tendangan bebas, ya berarti harus megang wasit. Tim mana yang pertama kali melakukan pelanggaran, ya berarti megang pemain belakang. Begitulah. Itu kecil-kecil. Tidak membeli pertandingan. Cuma kecil-kecil saja, tapi banyak. Bisa jadi (begitu). (*)

 

Foto: Hari Purwanto.

Komentar