Yayasan Cahaya Lestari Surabaya (CLS) memberikan tanggapan resmi terkait kondisi permasalahan sengketa hukum dengan mantan pemainnya Dimaz Muharri yang berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Surabaya. CLS yang diwakili oleh kuasa hukumnya Michael Sugijanto dan Anthonius Adhi, serta didampingi Ex- Managing Partner Tim Bola Basket CLS Knights Surabaya, Christopher Tanuwidjaja secara resmi menyatakan akan menghentikan proses pengadilan dengan tidak memasukan pembaharuan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
"Hari ini saya sebagai kuasa hukum Yayasan Cahaya Lestari Surabaya (CLS) dalam hal ini bertindak mewakili saudara Christopher Tanuwidjaja di mana kedudukan beliau saat itu adalah Ex- Managing Partner tim bola basket CLS Knights Surabaya, klub basket tempat dimana saudara Dimaz Muharri bernaung, menyatakan bahwa klien kami atas pertimbangan hati nurani dan tidak dalam tekanan pihak manapun, dengan ini Tidak Akan memperbaharui perkara gugatan kepada saudara Dimaz Muharri di Pengadilan Negeri Surabaya.
Yang perlu digarisbawahi dan diklarifikasi disini, bahwa Pengadilan Negeri Surabaya Tidak Menolak gugatan klien kami, namun Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan agar kami Memperbaharui Gugatan. Setelah kami berdiskusi dengan pihak Yayasan CLS, justru saudara Christopher Tanuwidjaja lah yang meminta untuk tidak melanjutkan gugatan hukum kepada Dimaz,” kata Michael Sugijanto, dihadapan awak media yang menghadiri konferensi pers tadi siang, Selasa, 2 Oktober 2021, di Toast & Coffee, Alam Sutera Tangerang Selatan, Banten.
Sementara itu Christopher Tanuwidjaja juga menuturkan bahwa permasalahan dengan Dimaz yang terjadi sebenarnya bukan merupakan masalah yang besar, namun secara etika kedua belah pihak haruslah saling menghormati kesepakatan yang tertulis dan dituangkan dalam legalitas perjanjian bersama yang sudah disepakati sebelumnya. Dan, alasan untuk tidak memperbaharui gugatan adalah karena menurutnya permasalahan ini sudah selesai di tanggal 3 Agustus 2021, yaitu saat diakomodasinya mediasi oleh PP Perbasi untuk Dimaz dan Christopher selanjutnya perwakilan dari CLS untuk menyelesaikan masalah dari hati ke hati.
"Pertama saya ingin bilang Dimaz Muharri itu orangnya baik. Secara idealis saya sebenarnya tidak ingin Yayasan CLS terlibat jauh, karena kondisi permasalahan saat itu dibawah kepengurusan saya sebagai Managing Partner. Lantas banyak yang bilang kepada saya kenapa CLS bungkam terlalu lama baik di media dan di media sosial sehingga memberikan kesan ‘framing” seakan-akan CLS-lah yang menzolimi Dimaz.
Dari awal saya sudah katakan baik kepada lawyer kami, maupun kepada pihak Perbasi yang saat itu menjadi mediator dalam proses mediasi, bahwa kasus ini sebenarnya bukan permasalah uang yang menjadi perkara utama, melainkan disini kami menyayangkan etika Dimaz terhadap apa yang sudah disepakati dan didasari oleh legalitas hukum yang kuat dan sah. Kami sebenarnya ingin masalah ini cepat selesai, bahkan saat pertama kalinya kembali setelah beberapa tahun dalam perbincangan Dimaz dengan saya via telepon (yaitu saat setelah naik ke Pengadilan Negeri Surabaya), justru saya sendiri yang menyarankan kepada Dimaz agar menyarankan ke Kuasa Hukum-nya mengajukan mediasi saja, pasti kami pihak CLS akan menerima dengan baik, dan bersedia menyelesaikan dengan damai, lalu mediasi pertama dilakukan di Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 25 Mei 2021.
Saat itu Yang Mulia Hakim sampai bertanya dua kali kepada saudara Dimaz, “apakah yakin masalah ini tidak diselesaikan saja di mediasi ini?”. Kemudian harapan saya berlanjut, saya anggap itu akan menjadi terakhir kalinya permasalahan ini dapat segera diselesaikan, yaitu sebenarnya pada tanggal 3 Agustus lalu, saat PERBASI (diwakili oleh Ketua Umum Danny Kosasih, Charles Bronson Siringo-ringo, Arty Yanuari, dan Krisna) memfasilitasi proses mediasi via zoom dan direkam oleh PERBASI karena Dimaz saat itu menganggap masa pandemic membuat dia tidak bisa terbang ke Jakarta. Sayangnya secara gamblang Dimaz menyatakan tidak bersedia menyelesaikan permasalahan ini dalam proses mediasi tersebut,” tutur Christopher Tanuwidjaja.
“Mengapa pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak lagi menggugat dengan gugatan baru, karena buat kami kasus ini bukan perkara masalah uang, yang sudah berkali-kali saya sendiri sampaikan di mediasi, tapi lebih kepada etika dan moral. Permasalahan ini awalnya terjadi karena Dimaz melanggar kesepakatan yang ada tulis dan ditandatangi bersama. Buat saya pribadi semua itu bisa dibicarakan dan diselesaikan secara kekeluargaan, namun awal masalah ini terjadi karena Dimaz tidak menunjukan itikad baik untuk membicarakan penyelesaian atas kesepakatan tersebut secara langsung dengan kami.
Sikap yang kami terima adalah Dimaz selalu menghindar untuk membicarakan hal tersebut, sehingga kami memutuskan untuk meminta tolong ke para Kuasa Hukum kami ini untuk memanggil Dimaz untuk membicarakan penyelesaian kesepakatan tersebut. Namun sikap Dimaz berlanjut untuk selalu menghindar sehingga akhirnya kami putuskan untuk masuk ke jalur Pengadilan dengan harapan bukan untuk menghukum Dimaz, namun kami sudah berniat sejak awal untuk menghapus semua kewajiban Dimaz saat dia beritikad baik dan membicarakan hal tersebut kepada para pemimpin Yayasan CLS,”lanjutnya lagi
“Betul Dimaz sudah membayar kepada kami sejumlah uang saat dia memutuskan berhenti, tapi yang dia bayarkan adalah Hutang pribadinya yang pernah kami berikan sebagai bentuk special treatment kami kepada dia, yang tidak pernah kami berikan jumlah sebesar itu kepada Atlit lain. Yang kami pertanyakan adalah kesepakatan Dimaz saat dia memutuskan kontrak secara sepihak, dia mengakui bahwa dengan adanya kondisi tersebut, CLS sangat dirugikan secara materi, karena kehilangan salah satu aset terbaiknya.”
“Sebenarnya ini bukan masalah siapa diantara kami atau Dimaz yang akan menang dan kalah. Tapi bagi publik ataupun pihak-pihak yang tidak mengetahui duduk permasalahan ini dari A sampai Z, saya hanya bisa tersenyum saja. Saya ingin tekankan CLS punya integritas, sejak tahun 1947 klub ini dibangun oleh Yayasan yang mengajarkan kepada kami semua nilai-nilai luhur, diantaranya moral dan etika. Yayasan CLS sudah banyak melahirkan para pebasket Nasional baik Putra maupun Putri, bahkan salah satunya Dimaz Muharri. Sekali lagi saya tidak mau melanjutkan gugatan baru kepada Dimaz karena yang kami cari bukanlah kalah atas menang, namun karena saya sadar bahwa sebagai pembina saya sudah gagal dengan adanya mantan atlet ami yang tidak mengerti etika.
Kami diam bukan berarti kami takut, atau sombong, atau bahkan tidak manusiawi seperti banyak gambaran yang dilemparkan kepada kami oleh para warga net. Kami memilih diam agar permasalahan ini tidak melebar ke hal–hal lain, tapi tetap terfokus ke penyelesaian antara Dimaz dan kami saja, bagi kami masalah ini hanya masalah etika dan bisa selesai dengan cepat dengan hati nurani, tanpa harus menjadi konsumsi publik.
Buat saya basket adalah passion, mengantarkan CLS menjadi juara itu hanya bonus semata. Yang terpenting melihat para pemain sukses baik saat mereka aktif bermain maupun saat pensiun itu merupakan kepuasan yang tidak bisa diukur oleh materi. Pesan saya ke Dimaz semoga suatu saat dia dapat mengerti, bahwa yang kami tunggu hanya etika dan keberanian Dimaz untuk datang langsung menemui para pimpinan di Yayasan CLS, kita bisa bicara dari hati ke hati, saya yakin Dimaz tahu saya orangnya seperti apa, sama halnya saya tahu dia yang sebenarnya adalah anak yang baik tanpa adanya pengaruh dari pihak lain, kami sudah saling kenal dari sejak tahun 2005. “Pintu kami akan selalu terbuka baginya,” imbuh Itop, panggilan keseharian ayah dua orang anak tersebut.
Ketua Yayasan Cahaya Lestari Surabaya, Ming Sudarmono lewat keterangan tertulisnya turut menyampaikan pesan agar permasalahan ini bisa menjadi contoh untuk industri olahraga di Indonesia khususnya di cabang basket agar saling menghormati payung hukum yang sudah disepakati bersama.
“Mengapa kami sangat berhati-hati sekali memberikan komentar dan tidak mudah memberikan tanggapan baik di media social maupun di media massa terkait dengan permasalah ini, karena diawal sebenarnya kami tidak ingin menggiring opini publik dari satu sisi sudut pandang kami semata. Masalah ini sebenarnya ibarat urusan rumah tangga yang melibatan hubungan orang tua dan anaknya atau kakak adik yang sempat renggang.
Kedepan kami berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan sebaik mungkin dan Yayasan CLS selanjutnya akan terus berkomitmen membina dan mencetak para pebasket yang nantinya kelak bisa membela Indonesia di berbagai ajang kejuaraan internasional seperti para senior mereka terdahulu. Salah satu visi dan misi kami adalah menciptakan manusia yang berkarakter, berkepribadian baik dan mengantarkan mereka untuk meraih mimpinya dalam hal jenjang pendidikan. Yayasan CLS sudah banyak mengantarkan “anak-anak” mendapatkan bea siswa ke jenjang pendidikan S1 bahkan S2. Dan hubungan kami dengan para mantan pemain CLS, termasuk mereka yang masih aktif bermain dan sudah berganti klub sangat bagus,” pungkas Ming Sudarmono. (*)
Foto: Rilis Yayasan CLS