Benar Kata Blake Griffin, Kita Tak Sepatutnya Membenci Nets

| Penulis : 

Brooklyn Nets bisa dibilang jadi tim yang paling sering dibicarakan di musim ini. Sejak awal musim, Nets terus menghiasi halaman depan beragam media olahraga, khususnya basket. Gerakan mereka dalam melakukan transaksi untuk memenuhi target prestasi secara masif benar-benar brilian. Hal ini membuat publik seolah tak bisa memalingkan pandangan dari tim yang dimiliki oleh Joe Tsai ini.

Sebelum musim dimulai, Nets menggebrak dengan penunjukkan Steve Nash sebagai kepala pelatih baru mereka. Nash menyingkirkan beberapa kandidat, termasuk pelatih interim Nets musim lalu, Jacque Vaughn. Menggantikan Kenny Atkinson di tengah musim, Vaughn berhasil membantu Nets tetap lolos ke playoff. Namun, prestasi tersebut tak cukup untuknya mengamankan pekerjaan yang sama untuk musim ini. Vaughn pun kembali menjadi asisten pelatih.

Nash tak sendiri di jajaran pelatih. Mengingat ini adalah debutnya menangani tim NBA, Nash mengajak salah satu rekan satu tim terbaiknya dalam jajaran kepelatihan yakni Amar’e Stoudemire. Tak berhenti di situ, Nash lantas merekrut Mike D’Antoni, salah satu pelatih terbaik yang pernah menanganinya. D’Antoni kebetulan baru saja mundur dari jabatan kepala pelatih untuk Houston Rockets.

(Baca juga: LaMarcus Aldridge, Berkah Sekaligus Bencana Bagi Brooklyn Nets)

Musim pun berjalan dan Nets tampak menyeramkan. Kembalinya Kevin Durant dan Kyrie Irving setelah absen di musim sebelumnya membuat tim ini seolah tak kehabisan amunisi untuk menyerang. Dua gim pertama mereka buka dengan kemenangan meyakinkan. Dua gim selanjutnya, mereka menelan kekalahan. Namun, hanya satu dari dua gim tersebut di mana KD (sapaan Durant) dan Kyrie tampil.

Kengerian atas Nets sedikit berkurang beberapa waktu setelahnya. Meski tangguh saat menyerang, penampilan di lapangan dan data statistik menunjukkan bahwa tim ini lemah sekali kala bertahan. Hasilnya, di 13 gim pertama, Nets hanya memiliki rekor tujuh kali menang dan enam kali kalah. Sebuah rekor yang jauh untuk sebuah tim yang memiliki dua megabintang NBA.

Perubahan terjadi pascagim ke-13 tersebut. Beberapa hari sebelumnya, NBA gempar dengan kepastian bahwa James Harden meninggalkan Rockets dan akan bergabung ke Nets. Transaksi ini melibatkan empat tim sekaligus. Nets jadi tim yang paling banyak melepaskan “aset” mereka, sebuah harga yang layak untuk Harden.

Harden datang dan bermain di gim ke-14 Nets, melawan Orlando Magic. Sudah rahasia umum bahwa Harden adalah seorang penyerang yang hebat. Satu gelar MVP dan rekor-rekor catatan poinnya sudah membuktikan hal itu. Akan tetapi, pertanyaan terbesar Nets adalah pertahanan, sanggupkah Harden membantu di situ?

Jawaban dari pertanyaan itu adalah tidak. Nets tetap buruk di pertahanan. Namun, Nash tampak memegang teguh moto,“pertahanan terbaik adalah menyerang.” Jika sebelumnya menyerang dengan dua meriam, kini Nets mengancam dengan tiga sekaligus. Lawan dibuat pusing menentukan penyesuaian untuk menghentikan gempuran Nets. Apalagi Kyrie sudah legawa dan memastikan Harden adalah “point guard” tim ini. Pembagian bola tak menjadi masalah tiga “kutub” penyerangan ini.

Harden sampai saat ini sudah bermain 33 kali untuk Nets. Di kurun waktu tersebut, Nets menorehkan rekor menang-kalah (24-9). Harden juga menunjukkan kapasitasnya sebagai fasilitator dengan total 12 tripel-dobel. Catatan yang sudah menyamai raihan terbanyak seorang pemain dalam sejarah Nets (termasuk saat masih bernama New Jersey Nets) yang dipegang oleh Jason Kidd.

Kita semua tahu pada akhirnya Nets mampu mendatangkan Blake Griffin dan LaMarcus Aldridge. Namun, sebelum kehadiran kedua pemain ini, Nets sudah sangat mengerikan. Bahkan, bisa saya bilang, keberhasilan Nets duduk di peringkat teratas klasemen sementara Wilayah Timur dengan rekor (34-15) tanpa peran kedua pemain itu. Bagian paling mengerikannya adalah, trio KD, Kyrie, Harden baru bermain bersama tujuh kali.

(Baca juga: Alasan Blake Griffin Memilih Nets Ketimbang Lakers)

NBA jauh lebih gempar ketika Griffin memutuskan untuk bergabung dengan Nets. Kontrak besar Griffin membuat Detroit Pistons, tim asal Griffin, kesulitan menemukan rekan pertukaran pemain. Apalagi, narasi yang terbentuk di luar sana adalah karier Griffin sudah habis. Sebuah narasi yang bisa dibilang serupa dengan Dwight Howard dua musim lalu, sebelum meraih juara dengan Los Angeles Lakers.

Tidak ada lagi dunk-dunk spektakuler darinya. Griffin bahkan sudah tidak melakukan slam dunk sejak 2019. Mantan pemain Los Angeles Clippers ini justru fokus dengan menembak jarak jauh atau menjadi fasilitator tim. Kedua hal yang sampai akhir masa baktinya di Pistons tak pernah benar-benar istimewa. Griffin dan Pistons akhirnya sepakat melakukan pemutusan kontrak (buyout). Sebuah kesepakatan yang membuat Griffin bisa bergabung ke semua tim yang ia mau. Satu hal yang perlu diingat, Griffin berstatus pemain bebas dengan statistik 12,3 poin, 5,2 rebound, dan 3,9 asis, medioker.

Sempat terombang-ambing, publik benar-benar kacau mengetahui ia bergabung dengan Nets. Saya pribadi tak terkejut sama sekali, bahkan justru bingung kenapa publik terkejut. Keputusan seperti ini sudah menjadi hal lumrah dalam beberapa musim terakhir. Fakta bahwa Griffin sekarang tak sama dengan Griffin yang  dulu membuat saya berpikir, siapa juga yang mau menggunakan jasanya?

Serupa dengan Griffin, LaMarcus Aldridge adalah pemain yang dianggap sudah habis. Pemain yang akrab disapa LA ini bahkan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan basket sekarang. Faktor kecepatan yang menjadi salah satu kunci permainan basket modern memang tak dimiliki oleh LA. LA juga pemain yang lebih sering menyerang di jarak menengah (mid-range), sesuatu yang berusaha ditinggalkan oleh basket modern.

Sekali lagi, publik memberi respon yang sama terhadap kedatangan LA dengan kasus Griffin. Sebagian komentar merasa cukup geram karena Nets dianggap tidak hanya membuat super team, melainkan membuat super duper team. Pertanyaan saya pun sama, sebelum gabung Nets, memangnya siapa yang berpikir LA masih bagian dari pemain elite NBA? Siapa yang masih memasukkan nama keduanya di daftar 40 atau bahkan 50 pemain terbaik musim ini?

Hal-hal di atas membawa saya sepakat pada pernyataan Griffin beberapa waktu lalu. Ia menyindir para penikmat NBA yang memiliki standar ganda atas kepindahan dirinya dan LA ke Nets. “Kalian menyebut kami sudah habis saat kami masih bermain di tim sebelumnya. Begitu kami pindah ke Nets, kalian bilang kami adalah tim super, bagaimana bisa?”.

Ya, bagaimana bisa? Ini bukan pertengahan dekade 2010-an, ini sudah 2021. Apa yang Nets lakukan menurut saya adalah sebuah hal yang keren. Apalagi, sampai sekarang, tidak ada laporan yang menunjukkan bahwa trio Nets merayu Griffin atau LA untuk bergabung bersama. Hal serupa juga tidak terlaporkan saat Harden minta pindah ke Nets.

Atas dasar itu, bisa disimpulkan bahwa Harden, Griffin, dan LA memiliki pandangan murni bahwa Nets adalah tim yang “seksi.” Tim yang akan menjadi kereta mereka untuk melangkah menuju satu hal yang selama ini tak bisa mereka dapatkan sendiri, cincin juara. Apakah ini jalan pintas? Saya bisa menjamin jawabannya adalah tidak.

Untuk ukuran atlet seperti Harden, Griffin, dan LA, menurunkan ego bukanlah hal yang mudah. Meski dua nama terakhir bisa dibilang memang mengalami penurunan karier, tetap saja, menurunkan ego bukanlah hal mudah. Bisa Anda tanyakan hal ini kepada deretan timnas Amerika Serikat di Olimpiade 2004. Bermaterikan Allen Iverson, Tim Duncan, Stephon Marbury, LeBron James, Carmelo Anthony, hingga Dwyane Wade, tim ini kalah tiga kali sepanjang turnamen dan hanya membawa pulang medali perunggu.

Nets juga pernah terjerembab dalam pembentukan tim super. Pada 2013, Nets melakukan perombakan besar-besaran demi membuat tim super dengan mendatangkan Paul Pierce, Kevin Garnett, dan Jason Terry untuk membantu Deron Williams serta Joe Johnson. Sayangnya, tim ini tak pernah benar-benar kuat. Mereka finis di peringkat keenam dengan 44 kemenangan dan berakhir di semifinal Wilayah Timur atas Miami Heat.

Membuat tim super hanya mudah dilakukan di dalam video game. Mainkan NBA2K dan Anda bisa dengan sangat menikmati bermain menggunakan Nets. Jangan bayangkan hal yang sama dengan mudah terjadi di dunia nyata. Sekali lagi, setiap pemain punya ego masing-masing. Plus predikat bintang yang mereka pegang, menurunkan ego mereka butuh lebih dari sekadar diskusi.

Nets memang bisa saja turun dengan skuat Harden, Kyrie, KD, Griffin, dan LA dalam sebuah waktu. Namun, saya yakin skuat ini hanya akan turun di saat-saat genting saja. Nets memang tak sekadar lima nama di atas. Inilah bagian yang paling saya senangi dari sebuah tim super. Saat lawan fokus pada nama-nama besar yang seluruh penjuru bumi mungkin sudah tahu apa “senjata” mereka, ada pemain-pemain lain yang masih bisa mengancam.

(Baca juga: Joe Harris dan Jeff Green Mendapatkan Berkah dari Hadirnya Trio Nets)

Beruntungnya, Nets memang benar-benar punya pemain pendukung yang apik. Joe Harris dan Jeff Green sudah sempat saya buatkan sebuah artikel khusus. Selain mereka, ada pula nama Bruce Brown yang terus menanjak di musim ini. Masih ada Landry Shamet, Timothe Luwawu-Cabarrot, dan hingga Tyler Johnson. Saat ingin lebih menguasai area kunci, Nets juga masih punya DeAndre Jordan dan Nic Claxton. Jangan lupa juga, Nets masih menyisakan satu tempat kosong di skuat mereka yang bisa diisi siapapun yang mau.

Sebelum saya akhiri, sedikit fakta dari NMZ Hoops saya rasa cocok untuk menambah “kengerian” Nets. Seiring bergabungnya LA, Nets kini memiliki tiga dari empat pemain dengan akurasi tembakan mid-range terbaik musim ini (minimal 100 tembakan). Sesuai dengan urutan, Kyrie adalah pemain dengan akurasi terbaik di mid-range dengan catatan 55,3 persen. Nikola Jokic menyusul dengan 52,4 persen, KD 52,3 persen, sedangkan LA 52,1 persen.

Di titik ini, saya merasa satu-satunya yang bisa menghentikan serangan Nets adalah mereka sendiri. Oh iya, Nets juga sedang memimpin liga untuk offensive rating dengan angka 117,3. Ini adalah catatan offensive rating tertinggi dalam sejarah NBA. Jika 29 tim lain tak kunjung menemukan formula terbaik untuk menghentikan Nets, saya khawatir laga-laga playoff akan menjadi laga yang membosankan. Semoga saja itu tidak terjadi.

Sampai di sini, yakin Anda tak ingin menumpang ke barisan pendukung Nets? Formulir masih ada, Senin harga naik!

Foto: NBA

 

Populer

Dalton Knecht Menggila Saat Lakers Tundukkan Jazz
Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
LeBron James Hiatus dari Media Sosial
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Shaquille O’Neal Merana Karena Tidak Masuk Perbincangan GOAT
Perlawanan Maksimal! Indonesia Kalah dari Korea di Tujuh Menit Terakhir!
Tyrese Maxey Buka-bukaan Soal Kondisi Internal Sixers
Suasana Ruang Ganti Sixers Memanas