Tulisan berikut adalah sambungan dari tulisan sebelumnya: "Mengenal 'Collective Bargaining Agreement' di NBA".
---
“Kami menunggu empat gim sebelum akhirnya menelurkan unggahan ini.
Bila sebuah tim yang berisi anak-anak muda banget, ruki, minim pengalaman, bisa mengalahkan bahkan bersaing ketat dengan tim-tim -yang disebut- papan atas di liga ini, maka atas nama pembentukan prestasi, masih diperlukankah sebuah liga? Salah satu muara sebuah kompetisi atau liga adalah menemukan pemain-pemain atau tim terbaik. Ini ada tim, muda-muda, gak ikut liga tapi lebih jago (sejauh ini) daripada yang tahunan di liga. Apa yang keliru? Diskusi yak. Jangan galak-galak!”
Saya tahu, unggahan itu akan berbuah banyak komentar.
Setelah mengunggahnya, sekitar 15 menit kemudian, telepon genggam saya panas! Hahaa, sudah ada lebih dari 200 komentar.
“Aha, sesuai ekspektasi,” pikir saya. Namun saat mulai membaca satu per satu komentar yang muncul, saya kembali berpikir, “Ini lebih daripada ekspektasi saya!”
Bahkan hingga saya mengunggah tulisan ini, dua akun media sosial yang juga fokus di basket mengulas unggahan itu (Rocky Padilla dan Podcast Pemain Cadangan Augie dan Udjo). Pada dasarnya, walau sedikit banyak saya bisa memprediksi reaksi mereka yang lihat unggahan tersebut, sepertinya lebih besar lagi yang di luar kendali saya.
Lalu apa sebenarnya yang saya maksud ketika menulis kepsyen di unggahan tersebut?
Sederhana saja. Saya sulit menerima kenyataan bahwa di empat laga pertamanya, Indonesia Patriots yang diisi pemain-pemain muda terbaik Indonesia, dengan rata-rata usia 20 tahun, selalu menang.
Saya tidak ingin kembali memulai debat. Saya menerima argumentasi yang menolak kepsyen Mainbasket di atas. Saya hanya (lagi-lagi) sulit menerima bahwa sekumpulan anak-anak minim pengalaman, ruki-ruki IBL, mengalahkan empat tim profesional IBL (hingga tulisan ini naik, malah sudah lima). Satu di antaranya digadang sebagai tim kuat Prawira Bandung yang sebelumnya mengalahkan tim kuat lain Satria Muda Pertamina Jakarta.
Ini seharusnya tidak boleh terjadi. Atau tidak bisa terjadi. Bagaimana mungkin?
Sekali lagi saya bertanya, “Apa yang keliru?”
Biar kita jawab sendiri-sendiri pertanyaan tersebut. Termasuk yang menjawab, “Tak ada yang keliru! Pertanyaannya yang keliru.” Tak mengapa.
Selain menerima lebih dari 800 komentar di unggahan tersebut, saya juga berdiskusi dengan teman-teman melalui kontak langsung tentang unggahan tersebut. Ada yang gatal kontak sendiri ke saya, ada pula yang saya mintai pendapatnya tentang itu.
Dari beberapa obrolan dengan teman-teman via “japri” itu, ada satu obrolan yang seketika nyambung dengan rentetan tulisan Bolaharam ini.
Teman saya itu menyoroti kondisi fisik beberapa pemain IBL yang menurutnya tidak ideal untuk seorang atlet basket. Kondisi tersebut, disadari atau tidak sebenarnya merupakan beban atau lialibilitas bagi tim. Sesuatu yang harusnya jadi kesadaran bersama.
Saya lalu kembali ke rangkaian tulisan-tulisan Bolaharam sebelumnya. Tulisan-tulisan yang banyak menyoal perlunya para pemain IBL bersatu. Bagi saya, bersatunya para pemain, bisa jadi salah satu solusi atas “masalah” di atas.
Persatuan pemain atau asosiasi pemain bukan hanya masalah bersatu ketika ada salah satu anggota menerima ketidakadilan dari berbagai pihak, atau bersama-sama menuntut sesuatu. Ia berfungsi lebih jauh daripada itu.
Sebuah persatuan pemain harus eksklusif. Para anggotanya memiliki kewajiban-kewajiban yang disepakati bersama dalam Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang bertujuan membangun individu dan kelompok pemain yang lebih berkualitas.
Maksudnya?
Begini, misalnya, persatuan pemain ini juga punya kewajiban meningkatkan kualitas anggotanya (para pemain) lewat kesepakatan-kesepakatan kegiatan yang harus dilaksanakan. Misalnya, menentukan porsi latihan, menentukan standar kebugaran, menjaga sikap dan karakter para anggota untuk kepentingan bersama termasuk kepentingan liga, dan sebagainya.
Lewat persatuan pemain, diharapkan lahir juga program-program hasil pemikiran bersama yang dianggap bisa meningkatkan kualitas pemain, klub, dan liga.
Jadi, jika ada satu tim (sekelompok pemain) kalah tanding oleh sekelompok anak muda tanpa pengalaman, padahal tim yang dikalahkan adalah tim profesional yang seharusnya hidup-matinya adalah basket, maka keresahan harus menjadi milik bersama. Bukan hanya tim yang kalah.
"Bagaimana mungkin, ada anggota 'kita' (persatuan pemain profesional) dikalahkan oleh sekelompok anak muda minim pengalaman. Walaupun statusnya adalah Tim Nasional yang mungkin bagus, tapi harusnya belum sebagus itu.”
(..bersambung)
Foto: Unsplash