Kualifikasi FIBA Asia Cup 2021 akan kembali bergulir di bulan November. Tim Indonesia akan berhadapan dengan Thailand, dan -seharusnya- pemuncak Grup A, Korea (mundur, tidak berangkat ke Bahrain). Sebelum berhadapan dengan Indonesia, Thailand telah memainkan satu laga menghadapi tim yang mengalahkan Indonesia di laga pembuka Grup A, Korea.

Thailand sempat memberikan perlawanan terhadap Korea. Tim peraih medali perak SEA Games 2019 itu menutup babak pertama dengan keunggulan 40-38. Namun, Thailand tidak dapat mempertahankan performa di babak kedua. Mereka harus mengakui keunggulan Korea dengan skor akhir 93-86.

"Four Factors" (Empat Faktor) adalah sebuah formula penting yang dirumuskan oleh Dean Oliver jika ingin sukses dalam permainan basket. Empat faktor yang juga memiliki porsi masing-masing dalam menentukan kemenangan ini terdiri atas Tembakan (shooting) atau persentase tembakan 40 persen, Turnover 25 persen, rebound 20 persen, dan Free Throws atau tembakan gratis 15 persen.

Bagaimana performa "Empat Faktor" Thailand saat melawan Korea di Jendela 1 (Window 1) Kualifikasi Piala FIBA Asia 2021 lalu? Bisa kita lihat di bawah ini.

Efektivitas Tembakan (eFG%)

Faktor kemenangan terpenting dalam sebuah laga, eFG%, yang dimiliki Thailand tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Korea, hanya selisih satu persen. Thailand memiliki 47 persen eFG% dari 73 upaya tembakan. Sedangkan Korea Selatan memiliki 48 persen, menurun 17 persen dibanding saat melawan Indonesia, dari total upaya tembakan yang sama dengan Thailand, 73.

Spot up dan PnR ball-handler menjadi tipe permainan (play type) dengan frekuensi tertinggi bagi Thailand, yaitu 21 persen dan 20 persen. Kedua play type tersebut juga memiliki eFG% yang mendukung kesuksesan tim. Spot up menyumbang 45 persen dari 21 upaya tembakan. Sedangkan PnR ball-handler menjadi senjata utama Thailand untuk mengimbangi eFG% yang dimiliki Korea. Thailand memiliki 53 persen eFG% dari 15 upaya tembakan melalui tipe permainan PnR ball-handler.

Korea berhasil mematahkan skema serangan yang dibangun oleh Thailand. Korea memaksa Thailand untuk melakukan play type misc. sebesar 16 persen dari total penguasaan. Hal tersebut ternyata tidak membuat performa eFG% Thailand menurun. Mereka masih dapat memiliki 64
persen eFG% dari tujuh upaya tembakan.

Indonesia dapat belajar dari Korea untuk menurunkan eFG% transisi yang dimiliki oleh Thailand. Korea berhasil membuat Thailand hanya menghasilkan 20 persen eFG% dari 10 upaya tembakan.

Pemain naturalisasi Thailand, Tyler Lamb, menjadi pemain dengan frekuensi tertinggi untuk play type spot up dan PnR ball-handler. Bahkan, Lamb merupakan kontributor utama spot up Thailand dengan 57 persen eFG% dari tujuh upaya tembakan. Hebatnya, produktivitas angka tertinggi Lamb dihasilkan melalui play type spot up, yaitu delapan angka. Montien Wongsawangtham menjadi pemain pendukung spot up bagi Lamb. Seluruh produktivitas angka yang dimiliki Wongsawangtham berasal dari spot up dengan 100 persen eFG%.

Terdapat empat dari lima pemain yang memiliki eFG% di atas 50 persen di dalam play type PnR ball-handler. Sebaliknya, walau memiliki produktivitas tertinggi kedua, di bawah Wattana Suttisin, Lamb justru menjadi beban utama bagi Thailand dalam play type PnR ball-handler. Dia hanya memiliki 25 persen eFG% dari enam upaya tembakan. Selain itu, Lamb juga menjadi beban dalam hal transisi. 67 persen penguasaan transisi yang dimiliki hanya berujung empat angka dengan 17 persen eFG%.

Turnover (TO%)

Faktor kekalahan tertinggi ke-2 dari Thailand terletak di persentase turnover. Mereka memiliki 21 persen turnover, selisih tujuh persen lebih tinggi dibanding milik Korea. Yang menjadi perhatian, persentase turnover tertinggi disebabkan play type yang memiliki frekuensi penguasaan tinggi, yaitu misc. (38 persen turnover) dan transisi (27 persen turnover).

Ironisnya, play type yang memiliki frekuensi rendah justru memiliki turnover di atas 30 persen, yaitu hand off (67 persen turnover) dan isolation (33 persen turnover). Bahkan, jumlah turnover play type hand off lebih tinggi dibanding upaya tembakan.

Nattakarn Muangboon menjadi pemain yang paling bertangung jawab atas tingginya persentase turnover dalam play type misc., hand off, dan isolation. Dia memiliki 100 persen persentase turnover di ketiga play type tersebut. Selain bermasalah dalam hal eFG% di play type transisi, Lamb membuat 30 persen penguasaan berujung dengan turnover, tertinggi kedua di bawah Wattana Suttisin.

Offensive rebound (OR%) dan Tembakan Gratis (FT Rate) 

Persentase offensive rebound merupakan hal yang harus diwaspadai oleh Indonesia saat berhadapan dengan Thailand. Pada laga melawan Korea, Thailand berhasil meraih 39 persen kesempatan offensive rebound, di mana terdapat tujuh penguasaan yang dimanfaatkan untuk play type put back dengan 71 persen eFG%. Sedangkan Korea memiliki 40 persen eFG% put back dari 27 persen kesempatan offensive rebound.

Tiga dari lima pemain Thailand memiliki 100 persen eFG%, yaitu Chanatip Jakrawan, Nakon Jaisanuk, dan Tyler Lamb. Nama pertama dan terakhir merupakan kontributor utama produktivitas angka put back Thailand. Kerjasama dua pemain itu menghasilkan total delapan angka put back

FT rate merupakan faktor kekalahan utama Thailand atas Korea, selisih delapan persen. Thailand hanya berhasil meraih upaya tembakan bebas melalui play type misc, PnR ball-handler, dan transisi dengan masing-masing play type meraih tingkat keberhasilan tembakan 100 persen dari dua
upaya tembakan bebas.

Tidak hadirnya Tyler Lamb, yang merupakan kontributor utama spot up, membuat kekuatan Thailand akan berkurang. Walau demikian, Indonesia tetap harus mewaspadai skema serangan PnR ball-handler yang dibangun oleh Watana Suttisin. Selain itu, dengan tinggi rata-rata di bawah Korea, Thailand justru memiliki persentase offensive rebound yang lebih tinggi dibandingkan Korea.

Keunggulan persentase offensive rebound berhasil dimanfaatkan Thailand untuk meraih 12 persen produktivitas angka dari total 86 angka dengan persentase keberhasilan 71 persen. (*)

Foto: FIBA

Komentar