“Bagaimana cara menentukan Salary Cap di IBL?”

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Bolaharam: 'Salary Cap' demi Liga yang Lebih Baik”.

Kalimat pertama di atas adalah kalimat yang menutup tulisan pertama.

Begini, lagi-lagi, sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya ingin teman-teman semua memahami dulu sistem pembentukan kompetisi atau pembentukan liga kita, IBL. Khususnya apa yang terjadi di tahun 2017. Sebuah peristiwa, yang bagi saya, sangat krusial yang akan berdampak ke masa depan liga ini. Menjadi lebih baik, atau sebaliknya.

Sebuah tulisan panjang pernah saya buat dan terbit di majalah Mainbasket beberapa tahun lalu (majalah Mainbasket edisi 60, September 2017). Tulisan tersebut sedikit banyak menceritakan transisi yang terjadi di IBL pada tahun 2017. Pergantian operator penyelenggara, yang kemudian salah satunya berujung hilangnya dua tim peserta.

Membaca kembali tulisan tersebut saya rasa akan memberi gambaran dasar ke kita bagaimana sebaiknya IBL berjalan. Setidaknya, dari sudut pandang saya. Semoga tulisan yang terbit dua tahun lalu ini akan semakin membantu kita untuk kemudian membicarakan tentang Salary Cap, lalu kemudian ke masalah kenapa tulisan ini muncul, yaitu tentang asosiasi pemain.

Selamat membaca.

 

Harga Mahal Sebuah Visi: Rencana Besar IBL dan Kenapa Setiap Tim harus Berbentuk P.T.

“Di media banyak berbicara profesionalisme. Ada yang mengatakan bahwa liga ini sendiri belum profesional. Untuk apa sok-sokan bikin PT (Perseroan Terbatas)? Menurut saya dan teman-teman di IBL, termasuk Komisaris Utama kami Pak Erick (Thohir), pembentukan PT itu adalah bagian awal dari profesionalisme. Jadi kalau kita punya landasan hukum yang kuat, maksud saya, kalau kita tidak punya landasan yang kuat, akan susah untuk jalan ke depannya. Buntut kita seperti dipegang. Kita harus berani mengatakan bahwa liga ini mencari keuntungan. Liga punya dasar keterikatan, liga (sebagai PT) bekerjasama dengan PT, tidak bisa dengan yang lain. Untuk jadi profesional itu harus punya landasan yang kuat. Dengan adanya landasan yang kuat, kita akan profesional,” terang Agus Mauro, Komisaris PT. Bola Basket Indonesia (PT. BBI), perusahaan yang menjalankan Indonesian Basketball League (IBL) sejak musim 2017.

Surat yang disusul konferensi pers CLS Knights Surabaya tentang penarikan diri mereka dari IBL memang mengejutkan. Bukan hanya para pecinta IBL dan CLS Knights saja yang terkejut, tetapi juga PT. BBI, penyelenggara IBL.

Alasan pengunduran diri CLS Knights sederhana. Mereka tidak bisa memenuhi kebijakan atau keinginan IBL yang menuntut tim-tim peserta berbadan hukum PT. CLS Knights ingin tetap berbentuk Yayasan.

Masalahnya, menurut IBL, tim yang berbentuk yayasan tidak sejalan dengan misi liga yang ingin menjadi sebuah entitas profesional di masa mendatang.

Baca juga: Inilah Perkiraan Biaya (Realistis) Setahun Tim IBL (2/2)

Dalam wawancara dengan Rocky Padila di vlog youtube, Commissioner IBL Hasan Gozali tidak banyak menjelaskan apa yang ingin dicapai dari tim-tim peserta yang berbentuk PT selain ingin profesional. Padahal, definisi profesional sendiri begitu samar yang belum tentu sudah dijalankan juga oleh liga IBL sendiri.

Ada kata kunci menarik dalam pernyataan Hasan Gozali di video Rocky, “legal binding”. Entah apa makna harfiahnya. Namun pernyataan ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Agus Mauro di atas, “Liga punya dasar keterikatan (legal binding?), liga (sebagai PT) bekerjasama dengan PT, tidak bisa dengan yang lain.”

Saya menghubungi Agus Mauro karena ingin benar-benar tahu apa motif di balik kebijakan ini. Apalagi IBL sangat ingin agar kebijakan ini sudah berjalan di musim yang baru.

Bila ada tim yang belum berbentuk PT, maka mereka akan mendapat sanksi 250 juta rupiah. Bila menyatakan mundur dalam rentang 120 hari menjelang dimulainya liga, maka mereka akan mendapat denda satu miliar. Denda menjadi empat miliar bila surat pengunduran diri diajukan dalam waktu yang sangat mendesak, 90 hari. Begitu kurang-lebih bunyi peraturan keikutsertaan tim-tim IBL.

“Waktu ada surat keluar dari CLS, kami kaget sekali. Sebenarnya itu kan bisa ada pra-diskusi dulu. Tapi ya sudahlah, sudah keluar. Lalu saya telepon ke yayasan, karena dari arahan yang saya terima, ini ujung-ujungnya yayasan, bukan Christopher-nya (Managing Partner CLS Knights). Saya telepon yayasan, ada solusi atau tidak. Mereka bilang bahwa mereka memang harus yayasan. Kalau ada perubahan harus ada rapat umum anggota untuk menentukan arah kebijakan,” terang Agus Mauro.

“Yayasan itu tidak bisa membentuk kegiatan usaha. Karena kegiatannya sosial. Misalnya yayasan pensiun, mereka harus membentuk PT untuk mengelola dana atau mereka memberikan saham ke suatu PT untuk mengelola dana keuangan. Mereka (yayasan) tidak bisa mengelola langsung. Karena itu organisasi non-profit.”

Keinginan IBL dan keputusan CLS Knights tidak menemukan titik temu. IBL kukuh ingin agar semua tim berbentuk PT, dan CLS Knights tak mau keluar dari semangat kekeuargaan CLS yang sudah berusia 70 tahun sebagai yayasan.

Pasca-keluarnya surat, IBL dua kali mengadakan pertemuan dengan pihak CLS Knights. Salah satunya, menurut Christopher Tanuwidjaja, Managing Partner CLS Knights adalah melalui tele-konferensi.

Dalam konferensi itu, IBL menawarkan sebuah solusi. “Beliau (Agus Mauro) minta saya yang bikin PT. Saat itu juga saya tolak,” tegas Christopher.

“Bisa sebenarnya yayasan berbentuk PT, itu salah satu solusi yang diajukan ke kami. Tapi yayasan hanya bisa memiliki saham dalam satu PT hanya 49 persen paling besar. Berarti 51 persennya, aset yang selama ini 100 persennya milik yayasan, 51 persennya berubah menjadi milik orang lain,” tambah Christopher lagi.

Menurut Agus Mauro, dalam wawancaranya dengan saya, penawaran komposisi tersebut akan baik bagi kekuatan liga ke depan. Setiap tim jadi memiliki jaminan keikutsertaan dan keberlangsungan hidup karena liga yang ikut menjaminnya. Ketika ada sebuah tim peserta yang kesulitan keuangan dan diambang kebangkrutan, liga masih bisa menyelamatkannya dengan suntikan tambahan modal sebelum dijual kepemilikannya kepada pihak baru.

“51 persen saham di setiap tim itu milik liga, tapi diganti (liga terlebih dahulu membelinya). 49 persennya punya masing-masing pemilik. Tapi selanjutnya, 100 persen dari 51 persen itu juga bisa dimiliki oleh para pemilik tim. Yang dijual, misalnya 70 persen,” jelas Agus Mauro. “Itu yang ingin djalankan dalam lima tahun ke depan. Kami harus stabil dulu. Kalau semua sudah jelas, baru kami bisa menghitung. Total pengeluaran satu tim berapa, dan lain-lain.”

Agus Mauro kemudian memberi analogi bagaimana dengan sistem yang kurang lebih sama NBA menyelematkan New Orleans Hornets ketika kotanya tertimpa bencana badai dan Los Angeles Clippers ketika pemilik lamanya mengeluarkan komentar bernada rasis. Kedua tim tersebut kini sudah memiliki pemilik baru.

Obrolan panjang dengan Agus Mauro membawa saya kepada sebuah pertanyaan menarik. Bila, IBL adalah milik PT. BBI yang mengambilnya dari Starting Five ketika mengalami kesulitan di akhir musim 2016, lalu siapakah pemilik NBA?

Pertanyaan ini terdengar sederhana, dan mungkin banyak yang mahfum bahwa NBA adalah milik bersama para pemilik tim yang tergabung dalam bentuk seperti Dewan Komisaris IBL. Namun ternyata, sulit sekali menemukan sumber yang bisa memvalidasi dugaan atau anggapan itu.

Ketika saya menulis “NBA owner” atau “Who owns the NBA”, tautan yang muncul selalu ke arah pemilik tim-tim NBA. BUKAN, pemilik liga NBA. Ketika saya mencoba mencari dengan kata kunci lain, semisal “NBA business model” atau “NBA structure”, balik-baliknya ke arah para pemilik tim NBA lagi dengan angka-angka pemasukan atau pengeluaran tim.

Rasa penasaran ini bertambah dengan sosok David Stern dan suksesornya Adam Silver yang terkadang terlihat misterius.

Setelah mencari intensif, saya menemukan tulisan dari sebuah jurnal yang dikeluarkan oleh Marquette University Law School Faculty. Tulisannya berjudul “What is the NBA?” tulisan hasil riset Profesor (dosen) Nadelle Grossman pada tahun 2014. Penjelasan dalam paragraf-paragraf berikutnya banyak saya sadur dari isi jurnal tersebut.

Menurut Grossman, “Untuk sebuah organisasi yang sudah berumur 68 tahun, struktur NBA secara mengejutkan masihlah samar. Di satu sisi, relasi antaranggota NBA jelas terjalin karena kontrak. Konstitusi NBA sendiri menyatakan bahwa NBA adalah “(ikatan) kontrak antaranggota.

Dari penelitiannya, Grossman menemukan bahwa bentuk NBA berdasarkan beberapa kasus persidangan pun berbeda-beda. NBA pernah dijelaskan sebagai badan usaha yang dimiliki sebuah kumpulan penanam modal (joint venture) yang berasal dari New York. Di persidangan lain, NBA pernah didefinisikan sebagai entitas tunggal.

Menariknya, berdasarkan konstitusinya, NBA sendiri menyatakan bahwa mereka beroperasi untuk tujuan non-profit. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar organisasinya yang menyatakan “Asosiasi ini dijalankan untuk mengelola sebuah liga yang berisi tim-tim basket profesional yang masing-masingnya dijalankan oleh Anggota Asosiasi.” Dengan kata lain, konstitusi NBA dengan jelas menyatakan bahwa mereka adalah organisasi dengan tujuan non-komersial.

Walau begitu, NBA bukanlah objek tidak wajib pajak. Karena walau tujuannya non-komersial, NBA selalu mendapat keuntungan. Bahkan dalam pembicaraan sehari-hari, berbicara tentang NBA kerap melibatkan topik keuntungan finansial sebuah tim.” Tulis Grossman.

Sebagai organisasi –yang katanya- non-profit, ada tiga sumber pemasukan tim-tim NBA. Pertama dari penjualan tiket. Kedua, dari penjualan hak liputan dan siaran berbagai macam media massa. Dan ketiga dari kekayaan (maupun kekayaan intelektual) masing-masing tim yang dijual dalam bentuk pernak-pernik (merchandise), dan lain-lain. Pemasukan dari sumber kedua dan ketiga ini kemudian dibagi rata untuk semua tim.

Sebagai tambahan, NBA sebenarnya memiliki sumber pemasukan keempat. Sumber pemasukan ini bernama Luxury Tax.

Setiap tim yang membuat pengeluaran di atas batas teratas (salary cap) harus membayar Luxury Tax sebesar kelebihan itu. Pemasukan yang didapat dari Luxury Tax ini kemudian diambil oleh NBA atau dibagikan kepada tim-tim lain yang tidak membayar Luxury Tax.

Sistem pembagian pemasukan ini didesain agar tingkat kompetisi di liga terjaga keseimbangannya. Termasuk pemasukan-pemasukannya menjadi lebih adil.

Walau ada sebuah tim yang kerap merugi, sistem ini juga membuat kepemilikan sebuah tim NBA akan cenderung menguntungkan. Ambil contoh apa yang terjadi dengan Los Angeles Clippers.

Sejak 2006, tim ini hanya mendapatkan tidak lebih dari 15 juta dolar setiap tahun dari kegiatan operasinya. Namun ketika dijual oleh Sterlings pada tahun 2014, Clippers laku 2 miliar dolar.

Dalam menjalankan organisasi, Konstitusi NBA memiliki “board of governors”, sebut saja semacam Dewan Komisaris di IBL. Mereka memiliki kewajiban mengawasi setiap langkah dan kebijakan asosiasi.

Setiap wakil tim di Dewan Komisaris ini dipilih oleh anggota NBA. Anggota NBA biasanya diasosiasikan sebagai para pemilik tim NBA, baik tim yang dimiliki secara perorangan atau kelompok. Oleh karenanya, keputusan maupun tindak tanduk setiap anggota Dewan Komisaris dianggap mewakili tim yang mengutusnya.

Wewenang Dewan Komisaris ini sangat besar. Keputusan-keputusan besar NBA berasal dari keputusan Dewan Komisaris ini. Merekalah yang mengendalikan NBA. Namun untuk menjalankan tugas sehari-harinya, Dewan Komisaris menunjuk seorang Commissioner.

Dalam Konstitusi NBA, seorang Commissioner adalah “Chief Executive Officer (CEO) liga yang bertanggungjawab menjaga integritas laga profesional di NBA dan juga menjaga kepercayaan publik terhadap liga.” Lebih jauh, seorang Commissioner juga berhak menjadi penengah atau pengambil keputusan dalam setiap perkara yang melibatkan para pemilik tim.

Dari penjelasan Profesor Nadelle Grossman tentang NBA, saya kemudian tertarik membandingkannya dengan IBL. Khususnya perkembangan IBL sejak dibentuk tahun 2003, berubah menjadi NBL Indonesia di tahun 2010 dan kembali ke IBL lagi di tahun 2016.

Menurut pemilik Aspac Irawan Haryono atau akrab kita kenal dengan Koh Kim Hong, di awal pembentukannya, tim-tim yang tergabung di kompetisi sebelumnya atau Kobatama masing-masing menyetor uang sebesar 100 juta rupiah. Akumulasi uang tersebut kemudian diberikan kepada promotor yang ditunjuk sebagai pengelola liga. Uang setoran tersebut adalah tanda keikutsertaan dan kepemilikan bersama IBL. Seperti halnya NBA, setiap tim kemudian mengirimkan wakil yang duduk di Dewan Komisaris.

Di perjalanannya, IBL beberapa kali berganti promotor atau penyelenggara. Sampai akhirnya IBL (edisi pertama) berakhir di tahun 2009.

Kemeriahan IBL dilanjutkan oleh NBL Indonesia dengan penyelenggara PT. DBL Indonesia. Walau berganti nama, NBL Indonesia tetaplah milik bersama para Dewan Komisaris. Hanya saja, anggota Dewan Komisaris bertambah satu yaitu Azrul Ananda sebagai Commissioner NBL Indonesia. Menurut Azrul Ananda, tugasnya –sebagai anggota ke-13- “hanya” sebagai penengah ketika Dewan Komisaris terbelah dua dan terjadi kebuntuan dalam proses pengambilan keputusan.

PT. DBL Indonesia mendapat amanat dari Dewan Komisaris untuk menjalankan NBL Indonesia dengan sistem kontrak 3 + 2 tahun. Maksudnya, setelah berjalan selama 3 tahun, PT. DBL Indonesia adalah pilihan pertama Dewan Komisaris untuk menjalankan liga di 2 tahun selanjutnya.

NBL Indonesia hanya berlangsung lima musim. Tahun 2016, IBL (edisi kedua) bergulir. Promotornya adalah Starting Five dengan Hasan Gozali sebagai Commissioner yang struktur organisasinya masih kurang lebih sama dengan NBL Indonesia.

Kontrak tugas pelaksanaan kompetisi dari Dewan Komisaris kepada Starting Five sedikit berbeda, 2 + 3 tahun.

Sayangnya, baru berjalan satu tahun kompetisi, IBL menghadapi banyak masalah. Starting Five kesulitan menjalankan atau bahkan memastikan berjalannya musim selanjutnya.

Saat itulah, Starting Five kemudian diselamatkan oleh kedatangan sebuah konsorsium yang memastikan bahwa musim 2017 akan bergulir. Konsorsium inilah yang rupanya kemudian bernama PT. Bola Basket Indonesia.

Ketika diambil alih pelaksanaannya oleh konsorsium, ada perubahan mendasar yang terjadi. Disadari atau tidak, liga basket profesional bernama IBL ini sudah bukan lagi milik bersama para Dewan Komisaris. Tim-tim yang ingin berpartisipasi di IBL 2017 harus melewati proses registrasi ulang dengan beberapa regulasi baru. Aspac Jakarta, NSH Jakarta dan Stadium Jakarta sempat menolak proses ini. Hingga batas akhir registrasi, mereka tidak muncul. Aspac dan NSH akhirnya menyusul masuk dengan mendapatkan sanksi, sementara Stadium memilih bubar. Beberapa pemainnya menyebar di tim-tim IBL lainnya (terbanyak ke Aspac).

Ketika saya menulis “Disadari atau tidak” pada paragraf sebelumnya, saya berasumsi karena memang ada beberapa anggota Dewan Komisaris yang sepertinya tidak meyadari perubahan ini. Ada anggota Dewan Komisaris yang berkata, “Dewan Komisaris sekarang sudah tidak aktif.” Ada pula yang mengeluhkan bahwa “masukan kami sudah tidak didengarkan.” Dan yang –menurut saya- terparah adalah ada yang keheranan, mengapa liga atau IBL kerap mengeluarkan aturan sepihak tanpa berunding dulu dengan Dewan Komisaris!

Bagi saya, semuanya menunjukkan bahwa beberapa anggota Dewan Komisaris sepertinya memang tidak sadar bahwa IBL bukan lagi milik mereka, melainkan milik PT. BBI.

Oleh karena IBL sudah menjadi milik sebuah perusahaan di mana tim-tim pesertanya adalah anggota yang mendaftar, maka sangat wajar bila keluar aturan-aturan sepihak. Pemilik liga atau PT. BBI adalah nakhoda penentu arah mau dibawa ke mana IBL selanjutnya. Bukan, bukan Dewan Komisaris.

Hal ini perlu dipahami karena sangat terkait dengan apa yang sedang dan sudah berkembang dalam satu tahun terakhir. Dengan segala kontroversinya, PT. BBI kini memiliki arah dan misi yang ingin dicapai. Mereka punya kendali penuh, siapa yang bisa ikut serta dan siapa yang tidak. Semuanya dipastikan melalui kebijakan-kebijakan yang wajib dipatuhi oleh para tim peserta.

Ketika mewawancara Agus Mauro (komisaris PT. BBI), saya tahu bahwa PT. BBI dan IBL memiliki visi yang sangat bagus. Dalam lima tahun ke depan, IBL diharapkan menjadi sebuah entitas bisnis yang solid. Mendapatkan keuntungan yang bisa dibagi rata dengan tim-tim pesertanya (mirip NBA), serta memiliki kepastian jumlah peserta yang akan terjaga ketika sedang berjalan. Liga dan tim-tim peserta akan saling menjaga ketika muncul kemelut tak terduga. “Legal binding” setiap tim akan menjadi penyelamat dalam situasi tersebut.

“Ini proses, saya sadar bahwa tahun pertama (2017) itu transisi. Kerugian besar (terjadi di tahun 2016), kemudian kami ambil alih untuk menyelematkan liga. Tahun pertama kami jalan (2017), mepet sekali waktunya, walau akhirnya jalan. Yang pasti, tahun ini (2017) kami untung. Lumayan. Sampai 2019 sponsor sudah aman semua,” jelas Agus Mauro.

“Penting mengamankan jalannya liga sampai 2019 karena saat itu ada proses Pilpres (Pemilihan Umum Presiden). Biasanya akan sulit dapat sponsor.”

Memastikan jumlah peserta memang krusial untuk menjalankan keinginan IBL. Tetapi ketika semua tim sudah satu visi dan berbentuk PT, Agus Mauro yakin bahwa perjalanan selanjutnya relatif akan lebih mudah.

“Yang penting itu kepastian dan stabilitas. Tahun pertama (2017) itu konsolidasi, susah. Tahun kedua ini akan kami kasih lihat semua. Sekarang kami sudah bisa bicara mau apa ke depannya. (Liga) Ini akan untung ke depannya,” tegas Agus.

Keputusan mundurnya CLS Knights Surabaya memang akan menjadi tantangan tersendiri bagi visi IBL. Terlebih, CLS Knights adalah aset berharga dengan volume pendukung yang terbilang sangat besar.

“Kami sudah menunggu dua tahun. Yang saya agak kaget, dari awal CLS itu bukan yang bermasalah. Karena sudah dua tahun kami sosialisasi, ini harus segera dimulai. Karena kalau tidak dimulai sekarang, kapan?”

“CLS tidak memberi kami ruang untuk negosiasi. Kami kaget dengan surat itu,” ujar Agus.

Setelah kukuh tidak akan mengubah bentuk yayasan menjadi PT, Christopher lewat konferensi pers menjelaskan bahwa CLS Knights bisa saja kembali ke IBL, dengan syarat, liga mengeluarkan pernyataan bahwa mereka boleh berbentuk yayasan selamanya.

“Dia tak pernah bilang begitu ke kami. Selama ini kami tak pernah terima pernyataan, semisal, CLS Knights mau ikut asalkan begini, begini, begini. Itu tidak ada. Tahu-tahu, mereka kirim surat keluar. Sulit. Ini seperti sudah menutup jalur yang kita mau.”

“CLS punya value, kalaupun mereka mau menjual slot-nya pun bisa sebenarnya,” Agus sedikit banyak masih menyayangkan langkah-langkah yang diambil CLS Knights.

“Sekarang malah hangus, diambil oleh liga. Kami sudah kasih opsi itu. CLS tidak mau kerja sama dengan orang lain. PT saya yang tanggung, kalian sebagai sponsor. Tapi kalau ada kekurangan dan kelebihan saya komit(men) karena saya yang punya PT-nya.”

Mendengar penjelasan Agus Mauro dan sebelumnya Christopher, sulit membayangkan ada titik temu. Seperti kata Christopher sendiri, kemauan liga dan pendirian CLS sama-sama baik. Hanya saja memang tidak ada titik temu.

Berharap bahwa IBL akan melunak dan mengakomodasi kemauan CLS Knights berarti menghancurkan rencana besar liga. Sebaliknya, dalam kondisi saat ini, CLS Knights akan sangat sulit menelan kembali keputusannya.

Memang tidak ada yang benar dan salah. IBL dan CLS Knights masing-masing punya pendirian. Hanya saja, harga dari kekukuhan pendirian masing-masing pihak ini akan mengorbankan satu hal signifikan: CLS Knights Surabaya akan hilang dari IBL.

Suka tidak suka, mungkin itu yang akan terjadi. Walau saya tetap berharap hal itu tak akan terjadi.

Lalu saya kembali mengulang pertanyaan yang awalnya sedikit berbentuk retorika kepada Agus Mauro, “jadi kapan liga dimulai?”

“Tanggal 8 Desember (2017) kami akan mulai. Itu tanggal yang sudah kami kasih ke sponsor. Sebenarnya sudah kami kasih info. Tapi, kenapa ini agak lamban, saya sudah tanya ke tim kapan kami punya kepastian berapa banyak sih tim yang akan ikut liga ini (dan pastinya sudah berbentuk PT).” (*)

(Bersambung...)

Komentar