Lebih dari satu tahun lalu, kami sempat membuat sebuah ulasan mengenai perkiraan biaya kebutuhan sebuah tim peserta Indonesian Basketball League (IBL) dalam satu musim. Dalam ulasan itu, kami juga membuat perkiraan yang paling mewah dan juga yang paling ditekan. Pun demikian, perkiraan kebutuhan sebuah tim basket profesional di Indonesia selalu melewati angka 1 miliar.

Seperti yang kita tahu bersama, ada istilah tim besar dan tim kecil di liga profesional kita. Predikat ini merujuk tidak sepenuhnya pada sejarah prestasi tim, namun lebih kepada kemampuan finansial tim itu. Hal ini cukup berbanding jauh dengan predikat tim pasar besar (big market) dan pasar kecil (small market) di NBA yang lebih merujuk pada letak geografis sebuah tim. Di IBL, hal ini sulit terjadi karena beberapa tim berada di Jakarta.

Belakangan ini, kita bisa lihat semakin panasnya perpindahan pemain di antara tim-tim IBL, baik yang sudah resmi atau masih dalam bentuk rumor. Menariknya, ketika rumor-rumor ini mengaitkan dengan pemain yang memiliki catatan apik, nama mereka kerap langsung dikaitkan dengan tim-tim yang mendapat predikat tim besar.

(Baca juga: Berapa Biaya Setahun Memiliki Tim IBL? (1/2))

Saya melihat beberapa komentar yang berharap agar pemain-pemain apik ini tidak pindah ke tim besar. Serupa dengan pendirian saya, mereka yang berkomentar demikian tampaknya tak cukup menikmati sebuah dominasi di liga. Mereka yang berkomentar demikian tampaknya adalah mereka yang juga kurang setuju waktu timnas Indonesia dengan nama Indonesia Patriots ikut ke liga. Terasa ada yang tidak enak dan membuat liga akan semakin membosankan.

Pertanyaannya kemudian, adakah sebenarnya cara untuk mencegah sebuah tim (utamanya tim besar) mengumpulkan pemain-pemain “bintang” dalam satu tim yang sama? Selain kita berharap agar pemain yang bersangkutan tak tergiur bermain untuk tim besar?

Sejauh ini jawaban terbaik untuk pertanyaan itu adalah "salary cap" atau pembatasan ruang gaji. Sudah banyak contoh penerapan salary cap ini sendiri, utamanya datang dari olahraga di area Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Karena keberadaan tim pasar besar dan pasar kecil yang sudah sempat kita singgung di atas, liga-liga profesional seperti NBA, NHL (Hockey), NFL (Sepak bola Amerika), hingga MLB (Baseball) menerapkan salary cap. Namun, salary cap mereka tidak sama persis. Atas dasar perbedaan kondisi liga, utamanya dari sisi budaya dan finansial, salary cap yang digunakan tiap liga di atas memiliki berbagai macam modifikasi.

Penggunaan salary cap sendiri mengalami perkembangan yang luar biasa. Terbukti dengan penerapan hal yang hampir serupa di sepak bola benua Eropa dengan nama Financial Fair Play (FFP). Sekali lagi, meski tak memiliki tata cara yang sama dengan salary cap di liga-liga lainnya, keberadaan FFP berguna untuk menahan laju tim-tim dengan kekuatan finansial super menguasai liga atau bahasa kasarnya “membeli gelar juara”. Selain itu, keberadaan FFP juga menjadi kontrol agar tim tidak melakukan kesalahan finansial yang akhirnya mengancam kelangsungan mereka di masa depan.

Liga-liga besar ini tampak semakin menyadari bahwa pembatasan gaji sebuah tim adalah hal yang penting demi kelangsungan liga mereka. Semakin kecil dominasi, semakin meratanya kekuatan setiap tim perserta, diyakini akan berujung pada semakin banyaknya peminat liga tersebut. Semakin banyak peminat, semakin besar pula peluang keuntungan ekonomis mereka baik secara penjualan langsung (tiket dan merchandise) hingga yang paling besar adalah hak siar. 

Itu juga alasan mengapa Liga Inggris (Barclays Premier League) jadi liga sepak bola dengan penonton terbanyak tiap musimnya. Jauh sebelum FFP mulai diperlakukan, Premier League memiliki tradisi bahwa setiap tim di peserta bisa saling mengalahkan. Dan dengan keberadaan FFP, hal itu semakin sering terjadi dan berimbas langsung dengan penonton yang terus teratas. 

Bandingkan dengan Liga Prancis (Ligue 1). Sejak Paris Saint-Germain (PSG) kedatangan saudagar dari wilayah Asia Barat, mereka berubah menjadi tim yang enteng mengeluarkan uang. Hasilnya, sebelum musim baru Ligue 1 dimulai, pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menjadi juara, melainkan siapa yang akan menjadi runner-up atau menyaingi PSG.

(Baca juga: Pentingnya Meratakan Kekuatan dalam Sebuah Liga (Berkaca pada Vietnam))

Hal serupa di Ligue 1 sangat bisa terjadi di IBL jika tidak dipikirkan secara sepenuh hati. Jika pemanggilan tim nasional jadi kunci seorang pemain mendapat predikat pemain bagus, maka kita bisa lihat bahwa hanya sekitar empat tim yang pemainnya masuk ke timnas. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan di antara empat tim tersebut dengan tim-tim lainnya di liga.

“Ah, tapi IBL musim lalu masih sangat seru kok, buktinya NSH Jakarta bisa bersaing.”

Ya, IBL tampaknya menemukan solusi lain untuk memperpendek jarak antartim dengan keberadaan pemain asing. Sejak pertama kali diperkenalkan empat tahun lalu, pemain asing sebenarnya selalu menjadi hal yang tricky untuk setiap tim. Ada pemain asing yang kualitasnya memang sesuai dengan video untuk draft yang dikirim agennya, ada juga yang jauh dari perkiraan.

Belum lagi faktor pribadi pemain asing sendiri. Ada yang memang tidak akur dan tidak berusaha membaur dengan pemain lokal, ada juga yang sudah merasa seperti di rumah. Hal-hal demikian membuat keberadaan pemain asing tidak bisa menjadi solusi pasti atas jarak besar antara tim besar dan tim kecil. Saat kemudian pemain asing harus absen atau seperti seri Kediri lalu di mana ada masalah dokumen, pertandingan antarpemain lokal kembali menunjukkan jarak yang cukup jauh dari tim besar dan tim kecil tersebut.  

Salary cap harus dilakukan, lebih cepat lebih baik, tapi juga harus dipikiran dengan masak. Kehadiran salary cap akan membuat setiap tim dan pemain yang ada semakin terbuka dengan nilai kontrak dan gaji yang mereka dapat. Sesuatu yang masih dianggap tabu tidak hanya di dunia olahraga, melainkan di kehidupan bermasyarakat Indonesia.

Hal ini sangat layak untuk dilakukan demi satu hal tadi, menjaga level kompetifif liga. Dan jika kita melihat gambaran yang jauh lebih besarnya, level kompetitif liga yang semakin tinggi akan bermuara pada dua hal. Pertama, liga akan semakin banyak penonton, sorotan lebih besar, pasar semakin besar, sponsor bertambah, dan keuntungan akhirnya datang. Muara yang kedua adalah level kompetitif sejalan dengan “kolam” pemain untuk tim nasional semakin banyak.

(Baca juga: Bolaharam: (Jangan) Berkaca pada Sepak Bola Indonesia)

Kami juga sadar, tidak mudah untuk menerapkan atau mungkin lebih tepatnya memulai implementasi salary cap ini sendiri. Namun, IBL tidak perlu khawatir, kalian tidak sendiri. Kalian punya tim, pemain, dan banyak orang lain yang peduli pada basket Indonesia yang bisa diajak berdiskusi. Untuk kami sendiri, tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat basket menjadi olahraga yang semakin merakyat. Basket Indonesia jadi tontonan yang dinanti oleh masyarakat. Basket Indonesia berprestasi di level internasional. Basket Indonesia bisa jadi tumpuan hidup insan di dalamnya. Basket Indonesia, selamanya.

Bersambung.. ke Bagaimana menentukan salary cap di IBL? 

Foto: Hariyanto, Marca

 

Komentar