Indonesian Basketball League (IBL) akhirnya mengumumkan pemenang penghargaan musim 2020 pada Minggu, 18 Oktober 2020. Meski kompetisi itu sendiri tidak sampai ke babak final, mereka tetap mengumumkan pemenangnya setelah mengantungi nomine selama beberapa minggu. Hasilnya—tentu saja—menuai polemik.
Polemik sebenarnya merupakan hal biasa. Kompetisi seperti NBA pun begitu. Selalu ada dramanya. James Harden saja pernah menyesali hasil pemilihan gelar Most Valuable Player (MVP) pada 2019. Dia tidak habis pikir bahwa dirinya kalah dari Giannis Antetokounmpo.
Pada beberapa nominasi, penghargaan IBL 2020 berujung seperti itu. Galank Gunawan adalah salah satu pemain yang langsung vokal mengeluarkan kegelisahannya. Galank, melalui Instagramnya, bahkan merasa tidak dihormati oleh hasil pemilihan. Dia sampai mengaku diancam sanksi denda akibat komentarnya pada sebuah unggahan tentang gelar pemain bertahan terbaik. Namun, tidak peduli karena dia antiintimidasi.
Sayangnya, sekeras-kerasnya Galank, plus Louvre Surabaya, mengeluarkan unek-uneknya, pemenang Defensive Player of the Year tetap saja Indra Muhammad dari Pacific Caesar Surabaya. Hasilnya sudah jelas. IBL telah menerima suara final dari para pemilih. Semestinya hasil itu tidak bisa diubah.
Bagi saya sendiri, ini merupakan polemik yang menarik. Sebab, penentuan pemenang penghargaan IBL memang bisa bias akibat beberapa hal. Prosesnya tidak pernah sesempurna yang dibayangkan, bahkan ketika catatan-catatannya tersedia.
Peran Media
Pada umumnya, setiap tahun, IBL memberikan hak pilih kepada media untuk memilih pemenang penghargaan. Media yang mendapatkan itu tahun ini bukan media sembarangan. IBL memilihnya dengan pertimbangan. Mereka yang terpilih biasanya sering meliput pertandingan sehingga tahu seperti apa jalannya kompetisi.
Menurut siaran persnya, IBL menyebutkan setidaknya 15 nama jurnalis dari berbagai media. Kelima belas jurnalis ini diberi mandat menentukan pemenang penghargaan sesuai nominasi yang sudah disusun IBL. Nomine yang dipilih jurnalis di peringkat satu kemudian mendapat 10 poin; peringkat dua 7 poin; peringkat tiga 5 poin; sementara peringkat empat 3 poin. Dari totalnya, didapatlah pemenang penghargaan.
Saya sebenarnya tidak punya masalah akan mandat IBL kepada jurnalis. NBA melakukan hal yang sama, kok. Namun, poin setelah ini seharusnya menjadi pertimbangan agar para pemilih—yang berisi jurnalis-jurnalis—punya pegangan yang cukup sebagai basis penilaian objektif.
Statistik
Dalam siaran pers yang sama, IBL mengatakan bahwa peraih penghargaan tidak dinilai dari performa berdasarkan statistik semata, tetapi juga penampilan di luar itu. Padahal penilaian di luar statistik bisa membuat kita subjektif sehingga penilaian berpotensi bias. Apalagi untuk orang-orang yang fanatik. Ada unsur fanatisme yang mungkin membuat buta.
Menariknya lagi, jurnalis tepilih dalam penghargaan ini hanya disodorkan statistik tradisional. Tanpa statistik yang lebih detail seperti advance stats. Padahal, dalam beberapa kondisi, advance stats berguna untuk menentukan siapa yang lebih baik. Ia perlu ada sebagai dasar pemikiran yang objektif.
Pada perkembangannya, statistik memang menjadi sesuatu yang vital. Bola basket modern semakin mengandalkan efisiensi dan efektivitas dalam permainannya. Meski bukan segalanya, setidaknya statistik adalah salah satu catatan objektif yang bisa digunakan sekaligus sebagai “pisau bedah” untuk membaca banyak hal. Salah satunya dalam menentukan pemenang penghargaan.
Analisis statistik sebenarnya bukan pekerjaan mudah. Salah menggunakan variabel saja tetap bisa jadi bias. Saya ingat bagaimana Adrian Darmika memprediksi calon pemenang penghargaan IBL 2019 dengan membedahnya sampai kepada analisis per sekian menit atau per sekian penguasaan bola supaya jelas sejelas-jelasnya.
DPOY
Gelar Defensive Player of the Year menjadi penghargaan yang menuai polemik paling panas tahun ini. Orang-orang berdebat tentang siapa yang pantas mendapat penghargaan itu. Sebagian berada di pihak Galank Gunawan, sebagian lagi berada di pihak Indra Muhammad.
Gelar pemain bertahan terbaik pada dasarnya sudah bias dari sananya. Penghargaan itu juga sering menuai polemik di NBA. Pada 2020, sebagian merasa Anthony Davis lebih pantas menyandang gelar Defensive Player of the Year dibanding Giannis Antetokounmpo.
Menariknya, polemik gelar pemain bertahan terbaik di IBL melibatkan dua pemain dengan posisi berbeda. Galank merupakan big man sementara Indra merupakan small man. Seorang big man (senter atau forwarda) pada umumnya memiliki privilese untuk memenangi gelar pemain bertahan terbaik. Sebab, mereka punya kemungkinan menguasai beberapa hal sekaligus. Misalnya, soal rata-rata rebound, blok, dan steal dalam box score. Apalagi bagi mereka yang versatile alias serbabisa.
Sejak gelar Defensive of the Year muncul pada 1983, NBA saja hanya punya lima garda yang meraih penghargaan itu. Mereka adalah Sidney Moncrief, Alvin Robertson, Michael Cooper, Michael Jordan, dan Gary Payton.
Sejak 2016, pemenang gelar pemain bertahan terbaik IBL juga berstatus big man. Mereka bahkan berstatus big man asing, kecuali Firman Dwi Nugroho saat masih membela Satya Wacana Salatiga, dan IBL belum punya sistem impor.
Problem
Saat ini, saya sendiri belum menemukan analisis yang memadai tentang siapa seharusnya pemenang gelar pemain bertahan terbaik di IBL 2020. Secara tradisional, statistik Galank unggul dalam rebound dan blok, sementara Indra unggul dalam steal. Keduanya berarti punya kelebihan masing-masing.
Galank unggul dalam rebound dan blok karena dia cenderung berperan sebagai rim/paint protector. Dia biasa bermain sebagai senter di sekitar area cat. Indra, di sisi lain, adalah seorang perimeter defender. Dia menjaga lawan di area yang lebih depan daripada Galank.
Secara tradisional, kita bisa saja membandingkan performa dan statistiknya. Namun, statistik tradisional tidak selalu menggambarkan yang sebenarnya. Box score hanya sebagian dari sesuatu yang lebih kompleks. Maka, seperti dibahas pada poin sebelumnya, advance stats sangat dibutuhkan untuk melengkapi pandangan mata.
Kenapa?
Didik Haryadi, pandit di balik akun @basketballstatistic sekaligus kontributor Balistik (Mainbasket) dan HoopSage (Fans Basket), menjelaskan—sesuai buku “Thinking Basketball” karya Ben Taylor—bahwa pemain bertahan yang baik adalah pemain yang dapat meminimalisasi efisiensi serangan lawan di bawah satu angka pada setiap penguasaan.
Untuk menilai pemain berhasil atau tidak menurunkan efisiensi serangan lawan di bawah satu angka per penguasaan, memerlukan variabel yang tidak ada dalam box score. Didik mencontohkan bahwa pemain bisa disebut pemain bertahan yang baik dari upayanya menggagalkan tembakan lawan. Dia bahkan menyebutnya sebagai jantung dari perhitungan efisiensi bertahan.
Dari mana upaya di atas bisa ditelusuri?
Kita bisa menelusurinya lewat defensive field goal attempted (DFGA). NBA punya opsi penelusurannya. Sementara IBL—tentu saja—tidak punya. Itulah mengapa pemilihan pemenang Defensive Player of the Year di IBL menjadi kurang objektif.
Solusi
Gelar Defensive Player of the Year pada dasarnya memang menyebalkan. Sebab, big man punya privilese untuk memenangi gelar itu. Namun, bukan berarti tidak ada solusinya. Saya, juga beberapa kenalan di lingkungan bola basket, merasa gelar pemain bertahan terbaik mestinya dipecah. Setidaknya ke dalam dua kategori.
Pertama, pemain seperti Galank Gunawan yang berstatus big man masuk ke dalam kategori rim/paint protector. Nama gelarnya bisa Paint Protector of the Year. Kedua, Indra yang berstatus small man masuk ke dalam kategori perimeter defender. Nama gelarnya Perimeter Defender of the Year.
Apakah dengan begitu polemik akan hilang?
Polemik belum tentu hilang. Namanya perdebatan pasti selalu ada. Anggap saja sebagai “bumbu” dalam drama yang membuat semuanya menjadi seru. Namun, dengan memecah gelar Defensive Player of the Year, setidaknya kita telah meminimalisasi bias penilaian yang menjadi masalah tadi.
Untuk semakin meminimalisasi itu, maka IBL perlu turut serta membangun wadah yang memadai. Statistik di situs IBLIndonesia.com wajib dimutakhirkan sampai ke advance stats. Statistik yang detail akan berguna untuk banyak hal. Tidak hanya penentuan pemenang penghargaan seperti Defensive Player of the Year, tetapi juga prediksi dari pertandingan ke pertandingan, bahkan persoalan calon juara. Dari kehadirannya diskusi tentang bola basket Indonesia mestinya bisa lebih “renyah”.
Saya kira sumber-sumber terbuka (open source) juga akan membuat orang bisa lebih dalam lagi dalam menganalisis sesuatu hal, terutama bagi jurnalis dan medianya yang menjadi pemegang suara, sekaligus tombak pembentuk iklim diskusi sehat. Jangan sampai IBL hanya memberi hak pilih tanpa disodori data yang bisa dijadikan basis penilaian mumpuni. Sebab, sebagai pemilih, media seringkali kena getahnya. Saya—yang bahkan pengangguran dan tidak pernah punya hak pilih—pun sempat “disemprot” netizen.
Apresiasi
Meski advance stats itu penting, membangun segalanya dalam sekejap tidaklah mudah. NBA—yang disebut-sebut sebagai kompetisi bola basket nomor satu di dunia—saja memerlukan waktu untuk mencapai wujudnya seperti dewasa ini. Analisis melalui statistik diperkirakan baru muncul pada 1990-an. Padahal NBA sudah ada berpuluh tahun sebelum itu.
IBL—yang kualitasnya jauh di bawah NBA—pastilah membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai hal yang sama. Kultur perlu dibangun perlahan-lahan. Namun, satu hal yang patut diapresiasi, IBL belakangan ini mencoba untuk lebih transparan.
Dalam pemilihan pemenang penghargaan, IBL sebenarnya cukup terbuka mengenai prosedur. Mereka bahkan menyebutkan nama-nama pemilih sekaligus medianya. IBL juga mengungkapkan bahwa pemilihan tahun ini tidak hanya melibatkan statistik, tetapi juga hal-hal lain seperti sempat disebutkan dalam tulisan ini. Sejak awal mereka jujur.
Sebagai penggemar bola basket, khususnya bola basket Indonesia, saya bersyukur IBL telah selangkah lebih maju soal transparansi. Namun, bukan berarti sudah sangat baik dalam menangani sistem penilaian. Problem di atas masih harus terus dijawab dengan perkembangan lainnya. Belum lagi pancingan-pancingan lain supaya media mau terus meliput IBL dan penggemar mau terus membicarakannya secara sehat.