Sebelum LeBron James mendapatkan kontrak bernilai miliaran dolar dari Nike, dan sebelum Michael Jordan menciptakan kultur sneaker dunia, ada Converse yang lebih dulu merajai pasar sepatu basket. Setelah puluhan tahun berlalu, Converse kembali meramaikan pasar basket pada tahun 2018 lalu. Minggu ini, Converse mengeluarkan koleksi liburan dengan 10 model sneaker. Tiga All Star BB Evo, satu model G4, dua model G4 Low, dan empat model Pro Leathers.

Sepanjang tahun 1920 hingga 1930-an, Converse sudah merambah pasar sepatu olahraga, khususnya basket lewat Converse Chuck Taylor. Sepatu tersebut semakin terkenal ketika digunakan oleh pemain NBA di musim pertama tahun 1946. Bahkan model Chuck Taylor All-Star ini bertahan sebagai sepatu basket terlaris hingga tahun 60-an. Lalu pada tahun 70-an, pabrikan olahraga seperti Nike, Puma, dan adidas mulai ikut meramaikan pasar sepatu basket. Mereka lambat laun menggeser Chuck Taylor yang dianggap klasik. Namun pada tahun 2018 lalu, Converse kembali membuat sepatu basket setelah sekian lama absen.

Langkah pertama yang diambil adalah merekrut Kelly Oubre Jr. (Phoenix Suns) sebagai duta. Itu terjadi di bulan Oktober 2018 silam. Tepat setelah kontrak Oubre dengan adidas berakhir. Converse kembali merekrut bintang baru sebagai duta yaitu Draymond Green dari Golden State Warriors. Setelah itu yang terbaru ada Shai Gilgeous-Alexander yang tampil cemerlang bersama Oklahoma City Thunder. Di luar NBA, Converse merekrut Abudushalamu Abudurexity, pemain XinJiang Flying Tiger (CBA), serta garda Natasha Cloud dari klub WNBA Washington Mystics.

Menandai dua tahun kembalinya Converse ke pasar sepatu basket dunia, minggu ini mereka meluncurkan koleksi Converse Basketball Holiday 2020. Ada 10 model sepatu basket yang dijual dengan harga di kisaran AS$75 sampai AS$120 per pasang. 10 model ini meliputi All Star BB Evo, G4, G4 Low, dan Pro Leathers. Converse juga membuat tiga klasifikasi warna. 'Hi-Vis' menampilkan warna neon dan detail glow-in-the-dark, lalu 'Polar Lights' untuk wara yang sejuk, dan terakhir 'Black Ice' untuk warna-warna matte dengan out-sole bening (tembus pandang).

All Star BB Evo sering dipakai oleh Gilgeous-Alexander dan Oubre di NBA, hingga Abudushalamu Abudurexity di CBA. Sepatu tersebut berpotongan rendah dan ramping. Bagian atas menggunakan bahan mesh, dengan mid-sole dari busa React drop-in. Model G4 biasanya dipakai oleh Draymond Green. Bentuknya lebih kokoh, tapi Converse menjamin gabungan Zoom Air dan busa React masih ringan dan nyaman untuk dipakai.

Model terakhir sangat erat kaitannya dengan sejarah Converse. Pro Leathers pernah berjaya pada masanya, saat dipakai oleh Julius 'Dr. J' Erving. Kali ini Converse membuat model yang sama. Menggunakan kulit yang lentur sehingga bisa dipakai bergaya di luar lapangan. Out-sole Pro Leather ini menggunakan karet bening yang memberi kesan modern.

"Budaya bola basket sudah meresap ke Converse. Tetapi kami sekarang memikirkan hal lain yaitu gaya atau fashion," kata Sophie Bamburk, CMO Converse, seperti dikutip dari ESPN.

Situs gq.com menulis bahwa Converse tidak khawatir dengan pasar sneaker basket saat ini. Seperti persaingan Puma dan New Balance, atau merek-merek dari Cina seperti Peak dan Li-Ning. Converse malah mengakui bahwa 80 persen pasar basket sudah dikuasai Nike dan Jordan. Dua perusahaan yang kini menjadi 'saudara' Converse. Menurut mereka, Converse tidak mungkin bisa bersaing dengan dua merek besar tersebut. Nike sudah memimpin industri sepatu basket dengan berbagai inovasi yang disajikan. Sedangkan Jordan sudah menjadi budaya basket moderen. Converse hanya ingin membuat orang-orang tidak melupakan sejarah bahwa mereka yang memulai bisnis ini lebih dulu. (tor)

Foto: Nike News

Komentar