Tondi Raja Syailendra menyebut bahwa fundamental pemain basket Indonesia di level 'kurang'. Apa memang betul seperti itu? Atau, memang ada penjelasan lebih mendalam tentang kalimat yang diucapkan oleh pelatih yang berlisensi kepelatihan di Indonesia, FIBA, dan USA tersebut.

Tondi Raja Syailendra adalah pelatih muda yang lebih banyak bergelut di pembinaan usia muda. Tondi sekarang memang dikenal sebagai pelatih basket di level mahasiswa. Sampai hari ini ia tercatat sebagai kepala pelatih tim PON DKI Jakarta dan Universitas Esa Unggul. Meski lebih dikenal di pembinaan, tapi Tondi pernah bersaing di liga profesional Indonesia. Dia pernah menjadi kepala pelatih Hangtuah di NBL Indonesia hingga IBL 2016. Bahkan, Tondi juga memimpin Laskar Dreya South Sumatera di ASEAN Basketball League (ABL) 2014.

Terbaru, ia meluncurkan buku berjudul "Basketball Coach Handbook - Menyiapkan Pemain Junior / Muda Menuju Profesional". Buku ini berisi tentang ilmu melatih, filosofi melatih, dan strategi defense dan offense. Tondi meluncurkan buku tersebut untuk membantu pelatih muda menguasai ilmu tersebut agar bisa menyiapkan pemain guna masuk ke kompetisi profesional.

Kembali soal fundamental basket pemain Indonesia. Tondi menyebut ada empat kategori, yaitu buruk, kurang, cukup, dan baik. Dari empat kategori ini, Indonesia masih ada di level kurang.

"Contohnya sederhana. Pemain Indonesia tingginya 1,85 meter ke atas, kemampuan dribble-nya kurang," katanya.

Bila ditarik garis ke belakang, maka akan ada hubungannya dengan standar pembinaan dan konsep pembinaan itu sendiri. Perlu kurikulum sesuai dengan karakteristik, kultur, dan budaya untuk menjelaskan 'bagaimana bermain basket' yang sebenarnya.

"Saya mengamati, bahkan di tahap sekolah menengah pertama, pemain basket Indonesia sudah terfokus pada masalah teknis seperti cetak angka, jaga, passing, dan lain-lain. Bukannya mendapatkan ilmu tentang bagaimana seharusnya bermain basket," jelasnya. "Idealnya, pelatih yang memberikan pemahaman tersebut, tapi mungkin mereka belum mengerti."

Ini juga berpengaruh pada psiologis pemain. Mereka yang tinggi, bermain di posisi empat dan lima. Lalu, mereka yang pendek bermain di posisi satu dan dua. Nantinya, itu akan dibawa sampai dewasa. Sehingga kemampuan fundamental basket seakan dilupakan. Mereka harus belajar kembali saat memasuki kompetisi yang lebih tinggi.

Satu lagi yang menjadi sorotan Tondi yaitu para pelatih seakan lupa bahwa dalam kata fundamental, terdapat kata "Fun". Seharusnya, latihan fundamental itu menyenangkan bagi para pemain muda. Bukan malah jadi tekanan bagi mereka.

"Saya rasa, DBL Indonesia membuat acara yang bagus. Karena memasukkan unsur "Fun" ke dalam kompetisi ini. Lomba seperti ini bisa memacu semangat anak-anak memperbaiki fundamental basketnya," komentar Tondi mengenai DBL Play Skills Competition.

Pesan Tondi lainnya adalah rajin-rajinlah mengikuti kompetisi. Karena bukan rahasia umum lagi kalau di Indonesia itu jumlah kompetisinya kurang. Oleh sebab itu, selagi muda perbanyak ikut kompetisi untuk menebalkan mental bertanding.

Meski hanya kompetisi melalui virtual, DBL Play Skills Competition juga meningkatkan mental bertanding. Para peserta dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tantangan fundamental yang diberikan. Dua manfaat bisa didapatkan, yaitu mengasah fundamental basket sekaligus meningkatkan mental bertanding pada pemain. (tor)

Komentar