Jimmy Butler selalu disalahkan atas kegagalan klub lamanya. Chicago Bulls, Minnesota Timberwolves, hingga Philadelphia 76ers. Ketika Butler keluar atau diperdagangkan, maka rumor yang beredar bahwa mereka sedang membuang sumber masalah di timnya. Tetapi di musim ini, tepatnya setelah Butler membawa Heat menang di final Wilayah Timur, tim-tim tersebut terpaksa 'menjilat' semua cemoohan mereka.
Tiga tahun setelah dirinya dikeluarkan dari Bulls, dengan alasan peremajaan tim, justru Butler mampu menembus final NBA. Tahun pertama Butler dengan Miami Heat berbuah manis. Mereka menyingkirkan Indiana Pacers (4-0) di putaran pertama. Kemudian mengalahkan tim terbaik di Timur, Milwauee Bucks, dengan keunggulan 4-1. Lalu yang terakhir menundukkan Boston Celtics dengan agregat 4-2 di final Wilayah Timur.
Tetapi ada satu orang yang tidak menganggap ini kebetulan. Dia adalah Pat Riley, manajer umum sekaligus presiden eksekutif bola basket Miami Heat. Jimmy Butler dianggap sebagai pembunuh berdarah dingin. Riley melihat sesuatu dalam diri Butler, yang tidak dilihat tim-tim sebelumnya.
Butler disebut pembawa masalah di Minnesota Timberwolves. Tapi kenyataannya, meski hanya satu musim bermain di klub tersebut, Butler bisa membawa Timberwolves tampil di playoff dalam 16 tahun terakhir. Sixers pun berpandangan sama. Butler menyebabkan keributan di ruang ganti karena caranya bergaul. Bahkan hubungannya yang tidak harmonis dengan kepala pelatih Brett Brown membuat Butler didepak dari tim tersebut. Tapi satu musim di Sixers, Butler hampir saja membawa tim tersebut sampai ke final konferensi.
Sejalan dengan pemikiran Pat Riley, kepala pelatih Erick Spoelstra mampu membuat Butler lebih bermanfaat di timnya. Butler dijadikan fasilitator inti serangan Miami Heat. Sepanjang musim reguler, Butler bisa mencetak rekor tertinggi dalam asis (6,0 asis per gim), serta tembakan gratis (83 persen). Sembari perlahan-lahan menghilangkan tembakan tripoin, yang ternyata bukan keahliannya. Butler hanya menembak 24 persen untuk tripoin.
Siapa sangka, justru di babak playoff, Butler menjadi ancaman besar bagi lawan-lawannya. Butler mencetak poin hanya dari tempat yang dirasa mudah baginya, bisa jadi dia memaksa lawan melakukan pelanggaran dan mendapatkan tembakan gratis. Saat memainkan skenario menyerang, Butler mengatur tempo permainan sembari memberi kesempatan para penembak jitu Miami Heat mencari posisi yang tepat.
Sepertinya semua pertanyaan penggemar Heat terjawab dengan lolosnya tim kesayangan mereka ke final NBA. Siapa sangka pemain muda Bam Adebayo dan Tyler Herro bisa sehebat itu. Siapa yang menyangka Duncan Robinson bisa menjadi salah satu penembak jitu di liga. Lalu siapa yang mengira bahwa Goran Dragic yang berusia 34 tahun bisa tampil seperti saat dirinya menjadi pemain All-Star. Dan, pertanyaan terakhir yang terjawab adalah tentang pembelian Andre Iguodala dan Jae Crowder di pertengahan musim. Keduanya bisa menampilkan permainan yang menawan di babak playoff.
Keberhasilan Jimmy Butler dan tim Miami Heat melaju ke final NBA musim ini diapresiasi oleh legenda klub Dwyane Wade. Dalam cuitannya, Wade menyebut dirinya ikut senang dengan pencapaian Butler. Wade juga menuliskan "Big Face Coffee for Everybody haha on Jimmy tho".
Tampaknya, secara tidak sengaja, bisnis kecil-kecilan Butler berhasil mencuri perhatian publik.
Setelah para pemain berkumpul di 'gelembung' NBA pada akhir bulan Juli lalu, hampir setiap hari ada pemberitaan mengenai keluhan pemain. Kejenuhan mereka hidup di dalam area terbatas, berpengaruh pada kondisi kejiwaan pemain. Ada yang berhasil mengatasinya, namun ada pula yang gagal. Seperti cerita Paul George (LA Clippers) yang harus menemui psikiater untuk mengatasi masalah mentalnya.
Baca Juga: Paul George Kembali Tajam Setelah Bertemu Psikiater
Cerita berbeda justru datang dari kamar Jimmy Butler. Dia membuat bisnis kecil-kecilan dengan membuka kedai kopi buatannya sendiri. Menu yang disajikan beragam, mulai dari cappucino, machiato, americano, yang bisa dibuat sendiri oleh Butler. Uniknya, semua kopi harganya sama yaitu AS$20. Harga yang fantastis untuk secangkir kopi.
"Terlalu mahal untuk secangkir kopi," kata sesama pemain Heat, Bam Adebayo. "Kecil, sedang, besar, semuanya AS$20. Dua cangkir kecil AS$50."
Meski harganya mahal, pemain terus kembali untuk menikmati kopi racikan Butler. Gordan Dragic mengaku selalu membeli cappucino, dan Udonis Haslem menyukai espresso. Tetapi menu yang paling laris adalah vanilla latte.
"Aku membuatnya dengan cinta," kata Butler.
Meski awalnya mendapat cibiran, namun lambat laun bisnis di kamar tersebut berkembang. Bahkan Butler sudah berencana membangun kedai 'Big Face Coffee' saat dirinya keluar dari 'gelembung' nanti. Langkah besar juga dilakukan Butler dengan mendaftarkan hak cipta merek, beberapa resep minuman, hingga merchandise. Butler juga sering muncul di beberapa gim NBA dengan memakai kaus bertuliskan 'Big Face Coffee Owner'.
Tampaknya rekan-rekannya mulai mendukung usaha Butler tersebut. Tyler Herro yang tidak minum kopi berharap Butler menyajikan beberapa menu jus segar di kedainya nanti. Sementara, Adebayo ingin melihat makanan yang dipanggang pada menunya.
"Kamu harus mulai membuat donat," kata Adebayo kepada Butler setelah pertandingan.
Sepertinya kehadiran 'Big Face Coffee' tidak hanya sekadar bisnis dan kegiatan untuk menghilangkan kejenuhan. Ternyata, itu bisa jadi obrolan yang mencairkan suasana di tim Miami Heat. Chemistry pemain pun bisa terbentuk dengan baik.
Pada akhirnya nanti, 'Big Face Coffee' lebih meledak di pasaran bila Jimmy Butler bisa memenangkan gelar juara NBA 2020 bersama Miami Heat. (tor)
Foto: NBA