Pemain Boston Celtics Jaylen Brown menyatakan dirinya skeptis bahwa pemilik NBA akan menepati janjinya untuk mendukung perjuangan pemain. Seperti yang sudah disepakati pemain, liga, dan pemilik NBA sebelum playoff dilanjutkan kembali seperti aksi boikot selama tiga hari. Brown merasa janji mereka sudah pernah diucapkan sebelumnya.
"Saya tidak yakin," kata Brown dalam sebuah wawancara virtual. "Saya tidak mengatakan itu berlaku untuk semua orang. Saya pribadi yang merasa seperti itu. Saya tidak yakin."
"Saya piki janji pemilik klub seperti ini sudah dibuat tahun demi tahun. Kami telah mendengar banyak istilah dan kata-kata manis sebelumnya. Kami mendengar di tahun 2014 ada kata reformasi. Kami masih mendengarkan sampai sekarang, dan tidak berubah."
Brown mengatakan bahwa perubahan yang selama ini dijanjikan juga tidak ada. Banyak orang meninggal karena korban kekerasan, sejak tahun 2014 hingga sekarang masih sama. Reformasi menurut Brown hanya kata-kata saja. Jadi dirinya tidak percaya dengan apa yang dilakukan sekarang.
Brown adalah salah satu pemain NBA yang paling vokal dalam memperjuangkan keadilan sosial dan reformasi polisi. Dia pulang kampung ke Atlanta untuk memimpin protes damai kematian George Floyd, saat hiatus NBA karena pandemi virus korona. Dia juga berulang kali berbicara tentang perubahan di negaranya.
Selama pertemuan pemain Rabu malam, setelah Milwaukee Bucks boikot, Brwon bertanya pada para pemain, bila mereka mogok main dan meninggalkan "gelembung", perjuangan ini selesai begitu saja. Brown memang jadi salah satu pencetus ide untuk boikot pertandingan. Tapi dirinya tidak ingin meninggalkan "gelembung" dan tetap teguh pada tuntutannya.
Baca Juga: Jaylen Brown Jadi Salah Satu Pencetus Ide Boikot Pertandingan NBA
Ada beberapa hal yang membuat Brown ragu-ragu dengan janji pemilik klub. Itu adalah salah satu dari tiga hal utama yang disepakati NBA, Asosiasi Pemain, dan pemilik klub, yaitu tentang menjadikan arena pertandingan jadi pusat pemungutan suara.
"Awalnya, saat kami berdiskusi dengan Dewan Gubernur, semua arena memang digunakan sebagai pemungutan suara, termasuk tempat latihan. Tapi akhirnya hanya arena yang dimiliki oleh tim," kata Brown. "Seharusnya setiap arena harus terbuka untuk pemungutan suara. Harus tersedia akses untuk dapat menampung semua orang kulit berwarna yang kurang beruntung, yang mereka mereka berhak untuk memberikan suaranya."
Terlepas dari keraguannya, Brown memuji liga dan pemain NBA di "gelembung". Mereka benar-benar berupaya menjadikan liga sebagai sarana perjuangan. Meski ketika itu tidak berhasil, para pemain frustasi. Tapi upaya mereka untuk melakukan perubahan sudah bagus.
"Saya pikir NBA awalnya melakukan pekerjaan yang hebat untuk menempatkan Black Lives Matter di lapangan, pada kaus pemanasa, dan di semua titik yang bisa dijadikan sarana kampaye," kata Brown. "Tapi di luar saja, orang-orang masih terbunuh di jalan. Iklim di Amerika masih sama."
Brown juga memuji Bucks atas keputusan mereka untuk tidak bermain. Ditambah lagi soal kesadaran pemain yang memudar tentang perjuangan yang mereka lakukan. Brown juga mengatakan, dalam banyak kesempatan, bahwa boikot pertandingan bisa dilakukan lagi, bila situasi yang sama muncul lagi. (tor)
Foto: NBA