Delapan tahun lalu, tepatnya tanggal 20 Oktober 2008 saya menghadiri sebuah klinik betot gitar bas di Bandung. Pematerinya adalah Billy Sheehan, basis yang mengeluarkan banyak karya hebat. Yang paling populer di antaranya tentu karya-karya Billy bersama Mr. Big.

Billy adalah salah satu yang terbaik di bidangnya. Dari poling yang dilakukan oleh majalah Guitar Player kepada para pembacanya, Billy lima kali menduduki peringkat teratas Best Rock Bass Player.

Konser kecil atau memang klinik singkat Billy di Bandung diadakan di sebuah bar kecil di Cihampelas Walk. Tempat yang sangat mungil tersebut dipadati pengunjung. Semuanya mafhum reputasi Billy.

Sempat molor sekitar 30 menit, Billy membuka klinik dengan aksi yang sudah ditunggu-tunggu. Penonton dibuat terpaku selama 15 menit, sebelum Billy kemudian menerima berbagai pertanyaan dari pengunjung.

Satu hal yang saya kagumi pada acara tersebut adalah totalitas Billy dalam menunjukkan kemampuannya. Tentu ia tidak bermaksud pamer. Ia mencoba menginspirasi. Billy mengeluarkan kemampuan terbaiknya di hadapan penonton yang sangat terbatas yang umumnya anak-anak muda Bandung. Hari itu, saya puas melihat aksi Billy.

Cerita tentang totalitas seorang pesohor, khususnya musisi di hadapan sedikit fans yang umumnya orang-orang biasa saja juga saya dapatkan dari Ucok Homicide.

Di blognya, Ucok menceritakan tentang kunjungan Run DMC ke Bandung tahun 1995. “Namun yang saya kagumi, Run, DMC dan JMJ bermain all out tak peduli seberapa banyak penonton yang datang. Mereka bermain di hadapan 100 orang fans seolah yang datang 100 kali lipatnya,” tulis Ucok tentang konser kecil di Bumi Sangkuriang Bandung.

Pemain basket, khususnya NBA adalah pesohor. Tingkat kesohoran mereka kadang kala melebihi pesohor-pesohor dari ladang lain. Kehadiran mereka mampu membuat histeris. Penampilan dan semangat mereka adalah inspirasi. Ketika berlaga, jumlah penonton yang hadir bak sebuah konser musik. Bedanya, dalam satu tahun (musim) para pesohor NBA ini setidaknya “manggung” 82 kali.

Seperti halnya seorang musisi besar, kehadiran atau penampilan seorang pemain NBA di luar Amerika Serikat sangat dinanti-nanti. Ya, bagi para penggemar basket, kunjungan para bintang NBA ke negara atau daerah mereka tak ubahnya menanti hadirnya seorang musisi populer. Bagi para penggemar NBA, mengetahui bahwa LeBron James akan ke Indonesia misalnya, mungkin akan sama hebohnya bagi para Beliebers yang tahu bahwa Justin akan konser di Ibu Kota.

Hanya saja, karena penggemar pemain NBA tidak sebanyak penggemar Taylor Swift atau Justin Bieber, maka saya ingin menganalogikan datangnya pemain NBA ke Indonesia bak tampilnya seorang musisi besar yang konser dengan pemirsa yang sedikit. Seperti Billy Sheehan dan Run DMC di Bandung.

Bulan Juli 2011 saya ke Manila untuk mengahadiri “konser” Kobe Bryant. Saya mengatakan konser karena kehadiran si mamba hitam ini benar-benar disambut bak seorang musisi tenar di Manila, Filipina.

Sebuah panggung besar dibangun di depan sebuah mall di kawasan Makati, Manila. Ribuan, bahkan belasan ribu orang sudah mengelilingi panggung yang juga terletak di sebuah plaza (alun-alun) luas tersebut.

Suasana saat itu sudah mirip sebuah konser. Setelah sekitar satu jam menunggu, Kobe Bryant akhirnya muncul. Sebentar. Hanya kasih sambutan singkat lalu pamit.

“Sudah? Begitu saja,” pikir saya saat itu.

Ekspektasi saya terlewat menggunung. Saya berharap Kobe melakukan sesuatu. Entah apalah. Beraksi, menunjukkan kebolehan atau apa pun.

Besoknya, Kobe hadir kembali di “konser” yang lebih besar. Ia muncul di Araneta Coliseum. Arena basket megah dengan kapasitas penonton mencapai 15.000 penonton. Yap, Araneta penuh, menanti Kobe.



Kobe hanya pemanis. Pemanis utama. Hari itu, yang akan bertanding adalah Smart Gilas Philippines (Timnas Filipina) melawan tim UAAP All-Star, gabungan pemain terbaik dari liga mahasiswa Filipina.

Laga berlangsung selama dua babak. Dua kali 10 menit. Kobe hanya menonton dari tepi lapangan. Laga babak pertama berlangsung biasa saja. Mahasiswa dihajar pemain timnas. Tetapi para penonton tetap bersorak-sorai. Bukan karena aksi para pemain timnas. Tetapi karena senyuman Kobe yang tersiar melalui layar lebar di langit-langit Araneta.

Memasuki pertengahan babak kedua, Kobe menghampiri bangku pemain tim mahasiswa. Araneta meledak. Kobe memutuskan turun bermain. Para pemain timnas Filipina mulai waspada. Selain mencetak poin melalui tembakan, melakukan cross over maut, Kobe melesakkan dua slam dunk.



“Ini sangat-sangat melebihi harapan saya. Luar biasa! Saya datang hanya untuk melihat Kobe berbicara. Itu saja. Menyaksikan Kobe bermain dan melakukan dua slam dunk seperti tadi, sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” komentar salah satu penonton yang saya ajak ngobrol seusai pertandingan.

“Konser” Kobe Bryant di Manila tahun 2011 sejauh ini merupakan konser pemain NBA terbaik yang pernah saya saksikan. Saya dan beberapa wartawan yang hadir bahkan mendapat kesempatan bertanya ke Kobe. Pada konser-konser pemain NBA lainnya, khususnya di Indonesia, pengharapan saya terlalu besar.

Lalu ada David Lee.

David Lee masih belum siapa-siapa ketika ia mengunjungi Surabaya dalam rangka NBA Madness 2009 di Surabaya. Tetapi sebagai pemain NBA dan sangat sedikit pemain NBA yang pernah mengunjungi Indonesia, harapan untuk menyaksikan performa David Lee sangatlah luar biasa.

Berharap bahwa Lee akan bermain dan mengeluarkan kemampuannya seperti di NBA tentu tidak mungkin. Di Surabaya, David Lee tidak bermain dalam laga lima lawan lima. Ia hanya beberapa kali memainkan kompetisi free throw conga (kompetisi adu free throw) bersama beberapa penonton yang hadir di salah satu mal di Surabaya.

Ketika diajak berbicara, Lee tidak terlalu antusias. Pikirannya seperti sedang tidak berada di Surabaya. Usut punya usut, ternyata ketika di Surabaya, nasibnya sebagai pemain New York saat itu sedang tidak jelas. Belakangan, ia ke Golden State Warriors dan meraih gelar juara NBA di sana tahun 2015.

Kehadiran Lee sebagai pemain NBA sudah memuaskan. Walau ia tidak banyak memperlihatkan aksi-aksi heboh. Sebagai penggemar basket yang sangat jarang melihat langsung pemain NBA, kehadiran mereka saja sudah cukup memuaskan dahaga.

Setelah kedatangan David Lee, PT. DBL Indonesia yang mendatangkan Lee semakin sering mendatangkan pemain-pemain dan alumni NBA (sebelum Lee DBL mendatangkan Danny Granger). Sejak itu, kehadiran saja tidak cukup. Kami, penikmat NBA di Indonesia butuh dipuaskan dengan aksi-aksi menarik.

Nah, tidak semua pemain atau alumni NBA mampu memenuhi harapan ini. Beberapa pemain cukup mampu mengentaskan dahaga, lainnya biasa saja, dan ada juga yang –hmmm- mengecewakan. Well, ya, kecewa sebenarnya, karena harapan saya mungkin terlalu tinggi.

Salah satu yang cukup memuaskan adalah kedatangan Jason Williams di tahun 2012. Pemain yang memiliki julukan White Chocolate ini hadir bersama tiga pensiunan NBA lain dalam rangka NBL Indonesia All Star. Salah satu pemain lain yang hadir adalah Vin Baker.

Jason Williams baru saja memutuskan pensiun waktu itu. Ia masih sangat bugar dan atletis. Kenapa penampilan White Chocolate memuaskan karena ia tampil sesuai harapan para penggemar basket di Indonesia. Jason Williams beberapa kali menunjukkan kehebatannya dalam memberikan umpan cantik. Salah satunya tentu saja operan tipuan dengan menggunakan siku tangan. Penonton di C-Tra Arena Bandung dan DBL Arena Surabaya dibuat bergemuruh saat itu.

Pemain NBA lain yang pernah datang ke Indonesia tetapi hampir tidak terlalu sesuai harapan adalah Nate Robinson. Yup Nate, pemain yang tiga kali juara kontes slam dunk di NBA All-Star (2006, 2009 dan 2010).

Ketika hadir di Final Party Honda DBL East Java 2011, Nate menolak mempertontonkan aksi slam dunknya. Padahal, ribuan penonton yang memadati DBL Arena saat itu sangat menanti-nanti aksi tersebut.

Tidak beraksi di Final DBL East Java, Nate mempertontonkan keampuannya di DBL Camp 2011. Semua slam dunk Nate Robinson sangat menakjubkan. Ini karena posturnya yang hanya setinggi 175 cm. Pendek untuk ukuran pemain NBA. Salah satu slam dunk Nate saat itu sebelumnya didului oleh duet dengan Dimaz Muharri.

Saya bertanya-tanya kenapa Nate menolak mempertontonkan kehebatannya di hadapan ribuan penonton di DBL Arena. Jawabannya tidak ketemu.

Kemudian saya hanya menduga-duga. Mungkin karena ia takut terjadi apa-apa. Semisal cedera, sementara ia masih berkompetisi di NBA. Risiko mempertontonkan slam dunknya tidak seimbang harganya jika ia cedera gara-gara itu dan tidak bermain di NBA.

“Masuk akal,” pikir saya.

Ketika seorang musisi melakukan konser di hadapan penonton, baik banyak maupun sedikit, kita pantas berharap mereka akan mengeluarkan semua kemampuannya. Rihanna akan bernyanyi dan berjoged semaksimal mungkin, Beyonce akan pol-polan. Justin Bieber akan mengeluarkan nada terbaiknya di hadapan ribuan penonton sestadion sepak bola atau di hadapan dua orang penyiar radio di studio. Dan Run DMC yang tahun 1995 ke Bandung tidak peduli dengan penonton yang hanya seratusan pasang mata.

Masalahnya, kita selalu berharap sama terhadap pemain NBA yang datang ke Indonesia. Kita, eh saya melihat pemain NBA bak seorang musisi populer. Berharap mereka akan menunjukkan kemampuan hebatnya seperti saat bertanding di NBA ketika datang ke Indonesia. Harapan yang hampir pasti tidak mungkin terjadi. Karena kemampuan terbaik mereka kemungkinan besar hanya akan muncul pada saat kompetisi ketat di NBA. Bukan saat tur atau hadir di antara penggemar mereka di seluruh dunia.

Dua hari lalu, harapan saya kembali memuncak ketika bintang masa depan NBA Jordan Clarkson datang ke Surabaya dalam rangka memeriahkan ulang tahun ke-70 CLS Surabaya.

Kabarnya, setidaknya yang saya ketahui, Jordan Clarkson akan ambil bagian dalam laga hiburan antarpemain-pemain CLS Knights yang digabung dengan pemain-pemain Happy Ballers. Sepertinya, bukan saya sendiri yang ingin melihat aksi-aksi Jordan Clarkson di lapangan GOR Kertajaya.

Setelah nama-nama pemain CLS Knights dan Happy Ballers dipanggil dan berada di lapangan, tibalah saat nama Jordan Clarkson dipanggil.

Saya duduk di atas tribun bagian media. Siluet Jordan Clarkson muncul dari lorong di bawah saya. Kepalanya terlihat dari atas. Mengenakan kaus hangat (sweater) bertudung putih, pemain Los Angeles Lakers bernomor punggung 6 ini menyalami para penggemarnya di sepanjang lorong menuju lapangan.

Lalu terlihat Jordan Clarkson mengenakan celana pendek merah. Mungkin celana seragam NBA All Star tahun 1991. Saya mengenalinya dari bintang biru mengkilap di samping celana. Jordan tidak mengenakan celana putih atau motif kamuflase CLS Knights, dua seragam tim yang akan bertanding malam itu.

Semakin jauh menuju lapangan, tampak kemudian sepatunya. Jordan Clarkson mengenakan sepatu kasual putih. Bukan sepatu basket. Saat itu, saya tahu harapan saya untuk melihat aksi Clarkson terlalu tinggi.

Foto: Nike

Populer

Lima Tiket Tersisa ke Perempat Final NBA Cup 2024
Tanggapan JJ Redick Dengan Penurunan Performa LeBron James
Rekor Baru Wizards, Tim ke-16 yang Tidak Menang Dalam Sebulan
Cedera Stephen Curry Bisa Berbahaya Bagi Warriors
Jaylen Brown Beri Pujian untuk Pemain Muda Celtics
Pertahanan Solid Wolves Buat Lakers Tak Berdaya
Paige Bueckers Jadi Pemain NIL Pertama yang Punya Sepatu Nike PE
Devin Booker Dapatkan Perpanjangan Kontrak Supermaksimal Senilai AS$214 Juta
Khris Middleton dan Brook Lopez Bertahan, Malcolm Brogdon Merapat ke Pacers
Larry Bird Menganggap NBA All-Star Hanyalah Lelucon