Penggunaan statistik dalam basket mengalami perkembangan pesat utamanya dalam satu dekade terakhir. Statistik yang dulunya dianggap tak penting-penting amat, kini terus dikembangkan hingga sangat detail, bahkan sampai ada software khusus yang memproses data sebuah pertandingan NBA secara langsung.
Dalam perjalanannya, penggunaan statistik di basket tentunya menghadapi tantangan. Film tentang statistik baseball “Moneyball (2011)” menggambarkan kurang lebih bagaimana proses penerimaan statisitik di awal-awal perjalanannya. Banyak yang bilang bahwa angka tidak akan pernah bisa menggambarkan permainan di lapangan yang berasal dari latihan dan ketangkasan pemain. Salah satu dialog di “Moneyball” cukup menggambarkan penerimaan statistik di olahraga, khususnya di film itu adalah baseball.
“You don’t put a team together with a computer. Baseball isn’t just numbers, it’s not science. If it was, anybody could do what we’re doing but they can’t cause they don’t know what we know. They don’t have our experience and our intuition.”
Dialog tersebut keluar dari Grady, salah satu kepala tim pencari bakat Oakland Athletics, tim baseball pertama yang menaruh keyakinan dalam penggunaan statistik untuk membangun tim mereka. Bagi Anda yang belum menonton film ini, “Moneyball” diangkat dari sebuah buku berjudul “Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game,” buku nonfiksi karangan Michael Lewis (2003) yang menceritakan perjalanan Billy Beane, seorang manajer umum yang mengubah persepsi penggunaan statistik. Ya, ini adalah kisah nyata (meski pasti selalu ada dramatisasi dalam sebuah film atau buku).
Selama pandemi ini, pikiran saya sempat tercurahkan dengan film ini. Meski saya sudah menonton lebih dari tiga kali, masa pandemi membuat saya berpikir lebih dalam. Pemikiran itu membuat saya datang dengan konklusi bahwa pernyataan Grady tidak sepenuhnya salah, sementara kepercayaan Billy juga sah-sah saja.
Sebagai orang yang mengambil kuliah jurusan teknik dan sempat kerja di pabrik, saya sedikit banyak percaya dengan frasa “speak by data.” Data membuat semuanya lebih jelas dan bisa digambarkan dengan baik karena terukur. Di sisi lain, saya juga percaya memang ada beberapa hal yang tak perlu atau tidak bisa digambarkan dengan data. Seperti, level enak dari sebuah makanan.
Hal ini yang membuat saya merasa bahwa statistik dalam basket adalah hal penting dan NBA sebagai liga terbaik di dunia juga terus mengembangkan ini. Mengapa penting? Di pikiran saya, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu dengan data saja belum tentu benar, apalagi tanpa data. Menariknya, meski banyak sekali orang yang tak suka dengan statistik di basket, tanpa sadar mereka telah menggunakan statistik di level yang sangat dasar.
Ambil contoh dalam penasbihan siapa pemain basket terbaik sepanjang masa atau GOAT. Para penggemar LeBron James akan bicara bahwa LeBron adalah pemain terbaik karena dari statistik, ia bisa menampilkan bla bla bla. Sementara pendukung Michael Jordan, pemain yang berjaya sebelum milenium baru, akan lebih bicara bahwa MJ adalah pemain yang berbeda. Mentalnya tangguh karena ia mampu membawa timnya meraih enam kemenangan di enam penampilan final. Aha! Tanpa sadar, orang yang menolak fakta statistik tentang LeBron mengucapkan statistik dasar tentang gelar juara MJ. Ya, enam gelar juara dalam enam final, dua data disajikan.
Salah satu rekan saya di Mainbasket pernah berkata, “Kadang-kadang sebel gw ama statistik. Seolah menghilangkan estetika dalam basket. Dulu tuh, kita bilang pemain bagus ya karena bagus di lapangan. Pemain keren soalnya keren mainnya di lapangan. Sekarang ada statistik seolah hal itu hilang.”
Kalimat ini juga semakin sering terngiang di kepala saya selama pandemi ini. Memang perubahan yang diakibatkan statistik sebesar itu? Apa saya (yang sangat suka statistik) terbutakan atas fakta itu karena kesukaan saya? Karena saya merasa basket tetap keren-keren saja, NBA tetap seru saja meski statistik semakin sering digunakan.
Namun, semakin ke sini, ternyata omongan rekan saya ada benarnya juga. Kesimpulan ini muncul setelah saya melihat berita bergabungnya Jamal Crawford ke Brooklyn Nets. Banyak orang yang bilang, bagaimana bisa seorang Jamal Crawford tak memiliki tim sepanjang musim ini? Dia masih punya kemampuan, ketangguhan fisik, dan ketangkasan yang mumpuni untuk menaklukkan NBA. Bahkan, di gim terakhirnya di NBA, ia membuat 51 poin.
Absennya Jamal sepanjang musim ini menurut analisis saya murni disebabkan karena statistik yang didukung oleh usia tak lagi muda. Jamal adalah salah satu pemain cadangan terbaik dalam sejarah NBA, tapi ia tak pernah menjadi pemain yang efektif. Sepanjang kariernya, ia memiliki rataan 14,6 poin per gim. Akan tetapi, Jamal butuh 12,4 tembakan untuk menghasilkan poin tersebut, plus 3,2 tembakan gratis. Gampangnya, efektivitas tembakan Jamal cukup buruk dengan eFG% sepanjang karier hanya 47 persen (rata-rata liga musim lalu 52 persen).
Statistik lain yang memberatkan Jamal adalah offensive dan defensive rating. Sepanjang kariernya, rataan offensive rating Jamal hanya 1,05 poin per penguasaan bola. Sementara defensive ratingnya 1,11 per penguasaan bola. Rata-rata liga untuk offensive rating adalah 1,10, sekali lagi Jamal di bawah rata-rata liga.
Anda akan melihat hal serupa dengan veteran-veteran yang terbuang dari liga tanpa memiliki riwayat cedera atau kasus di luar lapangan. Lance Stephenson, Michael Beasley, Monta Ellis, hingga Carmelo Anthony (meski akhirnya diambil Portland Trail Blazers) juga memiliki hal seperti ini. Bukan karena mereka tidak cocok dalam skema tim atau semacamanya, mereka hanya tak mampu menunjukkan angka yang sesuai untuk bersaing di liga ini.
Fakta lain tentang “kejahatan” statistik saya dapatkan dari buku “Sprawlball” karangan analis statistik NBA, Kirk Goldsberry yang rilis pada 2019 lalu. Buku ini menjelaskan betapa tergantungnya tim-tim NBA sekarang kepada statistik, utamanya yang berhubungan dengan area mencetak poin paling efektif.
Pada musim 2001-2002, peta penyebaran tembakan pemain NBA cukup merata di semua bagian. Ada di area kunci (paint area), lalu area elbow dan middle range, dan tripoin. Namun, di musim 2016-2017, peta penyebaran tembakan hanya berpusat pada dua tempat, area kunci dan tripoin.
Bukan tanpa sebab hal itu terjadi. Perhitungan menunjukkan bahwa setiap tembakan yang dilepaskan pemain menghasilkan rata-rata 1,02 poin. Namun, di area tripoin, setiap tembakan bisa menghasilkan 1,05 – 1,10 poin. Bahkan, di area sudut tripoin (corner), setiap tembakan bisa menghasilkan sampai 1,20 poin.
Di area kunci, nilai setiap tembakan berada di kisaran 0,85 – 0,90 poin. Sementara di area elbow dan middle range, tembakan menghasilkan tak sampai 0,85 poin. Atas hal ini, hukum ekonomi langsung diterapkan. Tim-tim akan berupaya menginstruksikan pemainnya untuk menembak hanya di dua tempat saja, tripoin dan area kunci, karena jelas lebih menghasilkan.
Hal ini berujung pada dihargai tingginya para pemain yang memiliki akurasi tripoin mumpuni. Lebih tinggi lagi, mereka yang mampu menembak tripoin dengan efektif. Atas hal ini, pemain-pemain “keren” seperti Jamal, Lance, dan Monta tersingkir dari liga sementara pemain seperti Jared Dudley dan P.J. Tucker terus berguna untuk tim.
Ya, mungkin pernyataan rekan saya benar, statistik telah merenggut estetika basket utamanya NBA. Namun, bukankah tujuan utama bermain basket adalah untuk menang? Dan untuk menang kita harus mencetak poin lebih banyak dari lawan. Jika Anda terus bertanya-tanya mengapa pemain sekarang sedikit-sedikit tripoin dan kontak di area kunci semakin berkurang, ya ini jawabannya. Setiap tim ingin menang (meski saya kurang yakin kalau New York Knicks ingin menang) dan mereka ingin yang pasti-pasti saja.
Ya, statistik memang mempunyai dua sisi dalam basket. Di satu sisi buruk, mereka bisa membuat pemain-pemain yang menghibur dan tampak keren tersingkir dari liga karena tak efektif. Di sisi lain, statistik akan berguna untuk tim membentuk gambaran pola permainan untuk meraih kemenangan. Menang = publikasi = penonton semakin banyak = uang.
Mengutip kalimat Coach Bambang Asdianto Pribadi (Bing) yang juga mengutip dari Coach Andri Malay dalam Mainbasket Talks #19, “Angka adalah acuan dan pacuan.” Jadi, jika pemain seperti Jamal dkk. tak menjadikan angka mereka sebelumnya menjadi acuan untuk memacu diri semakin baik, maka mereka harus menerima konsekuensi untuk hilang dari peredaran.
Foto: NBA, Moneyball (2011)