Potensi Tersembunyi dari Ujung Timur Indonesia
Setelah membaca artikel yang dimuat dalam laman dbl.id, pada tanggal 14 Juni 2020, berjudul “Gen Raksasa Filemon Basik-Basik Ternyata Didapat dari Keluarga Besarnya”, muncul sejumlah fakta yang memicu ketertarikan saya. Untuk secara ringkas memberikan gambaran tentang siapa mereka sebenarnya. Serta potensi apa yang mereka miliki. Khususnya di bidang olahraga.
Mungkin sebagian orang yang pernah ke Papua tahu. Bahwa seseorang yang bermarga Basik-Basik, pasti berasal dari bagian selatan Papua. Lebih tepatnya dari wilayah administratif Kabupaten Merauke. Mereka berasal dari etnis bernama Marind-Anim.
Basik-Basik adalah nama klan. Dari perlambang totem hewan tertentu yang masuk dalam “keluarga” besar Anim-Ha, atau “Manusia sejati”, sebutan lain untuk orang Marind-Anim. Etnis Marind-Anim adalah suku bangsa ras Melanesia yang menguasai dataran luas sabana berawa di bagian selatan pulau Papua. Mereka umumnya memiliki postur dan perawakan yang berbeda bila dibandingkan dengan beberapa suku di sekitarnya.
Gambaran pemuda etnis Marind-Anim tempo dulu. Dengan profil fisik mereka yang mirip dengan orang Maasai. Salah satu suku bangsa di Afrika Timur. (Sumber: Wirz, Paul, Die Marind-Anim von Hollandisch, Sued-Neu Guinea: Friederichsen, 1922-1925)
Profil dan karakteristik orang Marind-Anim ini memiliki kemiripan dengan orang Maasai. Salah satu suku bangsa di Afrika Timur yang mendiami wilayah Kenya dan Tanzania. Menurut beberapa sumber yang saya baca, NBA pun sangat serius melakukan pencarian bakat (talent scout) ke beberapa pedalaman Afrika beberapa tahun belakangan ini. Guna mencari talenta muda dengan gen postur tinggi menjulang.
Pada medio 2011 silam, saya berkunjung guna keperluan penelitian ke beberapa kampung di pedalaman Merauke. Walaupun saya sendiriberdarah Papua, saya juga dibuat takjub dengan postur orang-orang dari klan Marind-Animini. Termasuk anak-anak keturunan klan ini, yang kebetulan berpapasan dengan saya di jalan menuju kampung mereka. Tepatnya di Kampung Wasur, yang masuk wilayah Taman Nasional Wasur, Merauke.
Sebagian besar postur anak-anak yang masih seumuran SMP telah menyamai saya. Bahkan, tak sedikit yang bahkan melampaui tinggi badan saya. Padahal, tinggi badan saya sendiri 178 sentimeter. Tergolong sudah diatas rata-rata tinggi orang Indonesia pada umumnya.
Diliputi rasa ingin tahu, saya pun bertanya mengenai nama dan usia mereka. ”Nama saya Melkianus Gebze, kakak. Umur kami ada yang 14 tahun dan ada yang 15 tahun, yang paling tua umurnya 16 tahun,” jawab mereka. Tersenyum ramah anak-anak itu pun berlalu.
Sambil memandangi mereka pergi, saya lantas bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mengapa potensi besar yang ada di daerah-daerah seperti ini cenderung terabaikan? Dimana para pemangku kepentingan (stake holder) pembinaan olahraga kita? Apalah para pemandu bakat dari berbagai cabang olahraga pernah berkunjung ke kampung ini?
Cabang olahraga bola basket, misalnya. Seharusnya menjadi trademark sebuah kelompok etnis, yang memang telah memiliki warisan genetik tinggi badan di atas rata-rata. Seperti halnya anak-anak Marind-Anim ini.
Apakah karena mereka berasal dari wilayah terpencil? Atau mungkin pemerintah daerah setempat yang memang tidak pernah memiliki visi yang jelas terhadap potensi sumber daya manusia yang sebenarnya merupakan modal dasar pembangunan mereka. Khususnya melalui bidang olahraga. Ataukah, basket masih menjadi olahraga mewah dan hanya dimonopoli anak perkotaan. Sehingga tidak dapat terjangkau oleh anak-anak kampung terpencil seperti Melkianus Gebze. Laiknya sepakbola yang bisa dimainkan bertelanjang kaki dengan bola dan lapangan yang cukup seadanya. Lagi-lagi sejumlah pertanyaan yang sulit terjawab, apalagi oleh saya yang awam tentang dunia olahraga, termasuk basket tentunya.
Faktanya, orang Marind-Anim pada masa lalu pernah menjadi duta olahraga Papua maupun nasional. Sebut saja Timotius Sokai Ndiken. Dengan tubuh menjulang hampir dua meter dan dalam usia muda menginjak 18 tahun, telah mampu melempar lembing sejauh 62 meter. Timotius Ndiken pernah mewakili Indonesia pada enam edisi SEA Games berturut-turut. Sejak tahun 1985 di Bangkok, hingga 1995 di Chiang Mai.
Timotius Sokai Ndiken yang kini berprofesi sebagai guru. (Sumber: pkkmerauke)
Putra dari klan Marind-Anim ini memecahkan beberapa rekor, termasuk nomor dasa lomba SEA Games 1993 Singapura. Cabang yang sebenarnya di luar spesialisasinya sendiri yaitu lempar lembing.
Timotius Ndiken tidak sendiri. Ada sejumlah atlet berdarah Marind-Anim dengan perawakan di atas rata-rata. Tinggi menjulang dan kekar. Seperti Geraldus dan Herman Balagaize bersaudara, Vincentius Gebze, atau Fredy Mahuze yang pernah mengharumkan nama Papua dan Indonesia di kancah atletik, baik nasional maupun internasional.
Ironisnya, fakta terbaru berbicara lain. Dari data yang saya dapatkan dalam sebuah jurnal (Profil Atlet KONI Papua, Tahun 2020), ternyata dari ribuan atlet kontingen PON Papua yang diundur pelaksanaannya 2021 mendatang. Hanya memiliki keterwakilan 6,41 persen orang Marind-Anim dari keseluruhan atlet yang akan membela kontingen Provinsi Papua.
Secara umum kelompok-kelompok etnis di Papua banyak diteliti dan ditulis oleh para Antropolog Belanda. Di antaranya adalah Kleiweg de Zwaan dan peneliti T.H.J. Bijlmer. Dalam temuan mereka dinyatakan, terdapat perbedaan secara antropometri fisik antara penduduk yang tinggal atau mendiami kawasan pesisir, dengan penduduk yang mendiami kawasan lembah dan pegunungan (Lihat tulisan Koentjaraningrat dan Harsja W. Bactiar, Penduduk Irian Barat, 1963).
Menurut perspektif Antropometri, suku-suku di Papua memiliki keberagaman karakteristik. Termasuk profil fisik yang menonjol pada suku-suku yang mendiami pesisir dan perairan rawa-rawa. Seperti orang Marind-Anim, Asmat hingga Komoro yang sebagian besar tersebar di wilayah selatan Papua.
Begitu pula dengan karakteristik penduduk di Teluk Humbolt dan sekitarnya (Enggros, Tobati, Sentani). Serta suku-suku yang berdiam di sepanjang Pantai Utara, hingga orang-orang yang mendiami Mamberamo hulu di bagian pedalaman barat wilayah Tabi. Secara fisik, mereka berperawakan tinggi besar dan atletis. Sangat potensial dipoles untuk berbagai bidang olahraga.
Dalam sebuah penelitian lainnya di Distrik Senggo, Kabupaten Mappi pada tahun 2009. Saya juga pernah berjumpa warga lokal dari suku Asmat yang terlihat seperti raksasa. Dengan tinggi lebih dari dua meter. Berperawakan besar dan kekar.
Hakekatnya, basket maupun voli merupakan jenis olahraga yang membutuhkan postur tinggi. Termasuk tungkai kaki dan bentangan tangan yang cukup panjang. Untuk atlet bola voli ada tiga nama atlet nasional keturunan Marind-Anim yang pernah saya dengar, yaitu Engelbertha Kaize, Yokbeth Kapasiang, serta Devota Rahawarin seorang keturunan Maluku yang ber-ibu Marind-Anim.
Lea Kahol saat mendapatkan medali perunggu basket SEA Games 2019, Manila. (Sumber: Facebook Lea Kahol)
Saya bersyukur, dari cabor basket mulai muncul nama-nama asal Papua yang menjadi andalan timnas. Baik putra maupun putri. Mulai dari Lea Elvensia Wolobubo Kahol. Pebasket putri asal Merauke, yang memiliki tinggi badan 178 sentimeter. Dari nama marganya, Kahol, jelas sekali bahwa dia adalah keturunan Marind-Anim. Saya juga pernah mendengar Jacklien Ibo, pebasket wanita beretnis Sentani yang pernah bermain untuk timnas dan berkarir bersama klub profesional di WNBL Indonesia.
Henry Cornelis Lakay (jersei putih) ketika tampil di IBL 2020 bersama tim Satya Wacana Salatiga. (Sumber: Hariyanto)
Juga muncul beberapa talenta muda berbakat putra Papua lainnya yang diorbitkan namanya melalui Honda Developmental Basketball League (DBL). Hingga mendapat pelatihan basket khusus (kamp) di Surabaya. Dan berkesempatan pergi ke Amerika Serikat, pusatnya basket.
Seperti Henry Cornelis Lakai yang tingginya 196 sentimeter (Satya Wacana Salatiga) dan Melki Sedek Basik Basik (Bank BPD DIY Bima Perkasa) yang tingginya 195 sentimeter. Keduanya berkiprah di liga profesional Indonesia (IBL). Lalu juga ada beberapa atlet muda asal Merauke lainnya, seperti Anthoni Putra Aipassa (tinggi 199 sentimeter), bermarga Maluku dari ayah, namun saya yakini memiliki gen Marind-Anim dari nenek moyangnya melalui garis ibu. Ada juga Armando Fredrik Jagiwar Kaize (196 sentimeter) yang jelas sekali dari marganya adalah keturunan Marind-Anim. Dan terakhir, ada Filemon Basik-Basik. Dengan tinggi 195 sentimeter berusia 15 tahun, yang baru saja diterima di SMAN 1 Kurik, Merauke.
Melkisedek Basik Basik, pemain asli Merauke yang kini membela Bank BPD DIY Bima Perkasa di IBL. (Sumber: Facebook Melkisedek)
Selain mengapresiasi upaya pihak swasta dalam memajukan keolahragaan Indonesia, peran serta pemerintah baik pusat dan daerah tentu wajib hukumnya. Sebagai stake holder utama yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan pembinaan sejak tingkat junior,sekolah, maupun menggairahkan kembali PPLP (Pusat Pendidikan Latihan Pelajar). Sehingga menempatkan pendekatan keolahragaan berbasis etnis sebagai sektor utama (leadingsector)dan urgenitas dalam memajukan keolahragaan nasional, khususnya di Papua.
Dari sekelumit fakta yang ada,orang Papua atau lebih khususnya orang Marind-Anim, seyogyanya dapat menjadi ladang subur bagi penyemaian bibit-bibit baru pebasket nasional, atau olahraga lainnya yang menyaratkan kekuatan fisik, kelincahan atau postur yang memadai. Pendekatan olahraga berbasis etnis bisa menjadi solusi atas dahaga prestasi bangsa ini yang tidak pernah kunjung tiba.
Anthoni Putra Aipassa, pemuda Marind-Anim masa kini yang mewarisi genetik nenek-moyangnya. (Sumber: DBL Indonesia)
Dengan karunia Tuhan melalui genetik “raksasa” dan atletis yang mereka warisi turun-temurun, pastinya dapat menjadi modal utama kemajuan olahraga di Indonesia. Dengan pembinaan terencana, berkesinambungan dan kerja sama semua pihak, kiranya suatu saat nanti, kita dapat menyaksikan para “Namek” (pangilan akrab untuk seorang pemuda) Marind-Anim dengan perkasa mengibarkan sang Merah Putih di kancah internasional. (*)
*Penulis adalah staf pengajar Antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.