Sebuah pementasan drama berjudul “Waiting for Godot” yang ditulis oleh Samuel Beckett (pemenang nobel sastra tahun 1969) dan dipentaskan pertama kali di Paris tahun 1953 sangat menarik. Dua juta eksemplar naskahnya berhasil terjual. Tokoh utamanya, Vladimir dan Estragon, dua teman seperjuangan yang sering berdebat dan pada akhirnya setiap debat mereka akan pada suatu kesimpulan bahwa mereka akan menunggu seorang tokoh yang mereka sebut “Godot” yang akan hadir untuk menyelesaikannya.
Tahun 1953 juga menjadi kelahiran seorang legenda NBA. Bukan pemain atau pelatih, tapi seorang wasit yang sudah 23 tahun berturut-turut menjadi salah satu peraih The White Jacket, sebuah penghargaan tertinggi bagi wasit-wasit yang memimpin laga final NBA. Dia bernama Danny Crawford, wasit yang memimpin salah satu laga final bagi pemain seperti Michael Jordan, Kobe Bryant, Lebron James, dan Stephen Curry. Gim 1 Final NBA 2016-2017 menjadi laga terakhir bagi Danny Crawford.
Apakah kita peduli siapa wasit final NBA? Sebagian besar dari kita (atau bahkan semua) tidak peduli. Seandainya dianalogikan dengan profesi lain, sedikit banyak prinsip nasib wasit akan mirip seorang intelijen. “Jika Berhasil Tidak Dipuji, Jika Gagal Dicaci Maki, Jika Hilang Tidak Dicari, Jika Mati Tidak Ada yang Mengakui”, begitu bunyi slogan Badan Intelijen Negara. Artikel mainbasket.com yang masih berbentuk blog wordpress tanggal 20 Desember 2010 berjudul “Catatan Hingga Akhir Seri 3 Solo: Wasit Goblok atau Kita yang Goblok?” akan memaksa kita untuk senyum-senyum sendiri membacanya.
Musim 2017-2018 menjadi musim yang sangat mudah diingat bagi pecinta basket pembenci wasit. Pada tanggal 1 Juni 2018, Gim 1 Final NBA Cavaliers melawan Warriors, Lebron James melawan Kevin Durant, 37 detik tersisa, Warriors tertinggal 2 poin. Durant melakukan terobosan, menabrak James dan wasit meniup peluit pelanggaran pemain penyerang (offensive foul) untuk Durant. Tak lama kemudian wasit secara kontroversial mengubah keputusan pelanggaran Durant menjadi pelanggaran oleh LeBron. Cavaliers akhirnya kalah.
Dua bulan sebelum laga final NBA, hal tak kalah kontroversial terjadi di semifinal IBL. Tanggal 8 April 2018, Stapac melawan Pelita Jaya, laga tersisa 11 detik. Terjadi perebutan bola antara para pemain Stapac dan pemain Pelita Jaya, Ponsianus Nyoman Indrawan (Komink). Dari siaran ulang terlihat Komink yang menyentuh bola terakhir, tapi wasit saat itu menunjuk bola untuk Pelita. Para pemain Stapac protes, wasit bergeming dan tetap pada keputusannya.
Beberapa hari kemudian Direktur IBL, Hasan Ghozali menyatakan bahwa wasit tersebut telah melakukan kesalahan dan akan diberikan sanksi tidak dapat memimpin laga sampai final 2017-2018 dan beberapa seri 2018-2019. Belum diputuskan. Menariknya, wasit yang dikabarkan akan disanksi IBL itu justru menjadi wasit di partai pembuka IBL musim 2018-2019. Siapa peduli?
Cerita “pengerdilan” wasit IBL semakin menjadi-jadi ketika IBL memutuskan bahwa final IBL 2017-2018 akan dipimpin wasit asing. Seolah menasbihkan bahwa wasit kita tidak berkompeten. Mengutip dari akurat.co, dalam sebuah konferensi pers Youbel Sondakh (pelatih SM) menanggapi pemilihan wasit asing untuk final IBL saat itu dengan sangat bijak. “Saya bakal kontrol apa yang bisa saya kontrol. Liga pasti sudah memikirkan yang terbaik agar laga bisa berjalan dengan baik. Saya lebih fokus kontrol tim saya sendiri. Kalau menang ya menang saja, tidak ada alasan wasit."
Akhirnya wasit asing yang dinanti datang. Reynaldo Yante, wasit FIBA asal Filipina (saat itu berusia 46 tahun) yang tahun 2015 pernah terkena sanksi larangan memimpin laga di Liga Profesional Filipina karena salah mengambil keputusan dalam sebuah laga. Siapa yang menemani Yante memimpin 3 laga final IBL 2017-2018? Harja Jaladri (3 laga), Haryanto Prasetyo (2 laga), dan Yosef Norida (1 laga). Mark Davis, wasit yang memimpin laga-laga NBA selama 20 tahun mengatakan bahwa wasit adalah “third team on the court”. Tim. Bukan orang.
Apakah Lebron James lebih baik dari Zaza Pachulia? Mereka berdua adalah NBA draft 2003. Tanpa melihat permainan mereka, kita bisa tahu lewat statistik mereka dalam 16 tahun terakhir. Bagaimana menilai performa seorang wasit? Ini yang menarik. Sama seperti pemain yang memiliki fundamental bermain basket, wasit juga diharuskan memiliki fundamental memimpin laga, bagaimana posisi ketika Lead, Center, atau Trailling dan bagaimana penyesuaiannya, serta hal-hal teknis lain seperti pre-game routine. Sama dengan fundamental basket, hal itu dilihat secara kualitatif. Lalu bagaimana dengan pengukuran kuantitatif?
Sejak 2015, guna memberikan transparansi, NBA menyampaikan Last Two Minutes (L2M) Report yang memberikan penjelasan mengenai keputusan-keputusan wasit dalam 2 menit terakhir laga ketika kedua tim hanya memiliki selisih 3 poin atau kurang. Artikel dari Kevin Sigler (2018), profesor ekonomi dari Universitas North Caroline Wilmington di thesportsjournal berjudul “NBA Referee Missed Calls: Reasons and Solutions” menemukan beberapa hal yang menarik mengenai keputusan wasit-wasit NBA dalam L2M report tahun 2015 sampai dengan Juni 2018. Selama kurun waktu itu, NBA mengulas 8,2% dari kejadian yang ada di lapangan.
Dalam L2M report dijelaskan bahwa ada 3 jenis tiupan (call), Correct Call (CC) atau keputusan benar, Incorrect Call (IC) atau keputusan tiupan yang salah, dan Incorrect Non-Call (INC) atau keputusan tidak tiup yang salah. Data kemudian menunjukkan hal yang menarik. Dari 6.139 correct call ternyata keputusan tepat yang diambil tertinggi adalah pelanggaran personal 99,7%, kesalahan 24 detik 97,1%, dan goaltending 91,2%. Sedangkan yang paling tinggi seorang wasit melakukan kesalahan adalah ketika terjadi travelling (hanya tepat 20,6%), 3 second violation (hanya tepat 4,1%), dan defense 3 second (hanya tepat 0,7%).
Jika dilihat di sisi keputusan tiup yang salah, pelanggaran yang mengakibatkan tembakan bebas mencapai angka 46%, dilanjutkan dengan kesalahan pelanggaran 30,8%, dan offensive foul 6,3%. Untuk keputusan tidak tiup yang salah, pelanggaran yang mengakibatkan tembakan bebas mencapai 20,1%, kesalahan tidak tiup offensive foul 18,4%, dan keputusan tidak memberikan personal foul sebesar 17,9%.
Dari keseluruhan tiupan yang diulas oleh NBA, 74,3% merupakan keputusan tepat, dan 25,7% keputusan yang tidak tepat. Ini artinya dalam kurun waktu 2 menit terakhir ketika skor kedua tim selisih 3 atau kurang, setiap 4 kejadian, wasit melakukan 1 kesalahan. Kesimpulan klasik: wasit NBA juga manusia.
Fakta lain disebutkan bahwa dari 55 wasit yang diteliti tersebut, yang paling sering melakukan keputusan tiup yang salah adalah wasit berusia 30-39 tahun, sedangkan 8 wasit berusia 60 tahun ke atas memiliki rata-rata keputusan tidak tiup yang salah paling tinggi (1,437 per gim).
Sebelum membahas mengenai wasit IBL, penulis akan memberikan gambaran bagaimana jalannya laga IBL sejak musim 2011-2012 sampai dengan 2019-2020. Hal ini untuk melihat apakah tepat menggunakan L2M report untuk IBL atau ada opsi lain.
Total selama musim reguler 2011-2020 terdapat 1.312 laga. Dari seluruh laga, rata-rata selisih per laga 16,1 poin dan tercipta 136 poin. Sedangkan jika dibandingkan NBA yang dikonversi menjadi 40 menit, tim NBA mencetak 173 poin per laga dalam kurun waktu 2011-2020. Dalam urusan mencetak poin, IBL tertinggal 37 poin per laga atau 21 persen lebih rendah. Yang menarik, kemampuan mencetak poin NBA mengalami kenaikan 15,7% selama 9 tahun, sedangkan IBL naik 20,4% dalam 9 tahun terakhir.
Dari 1.312 laga hanya 24 laga yang berkesudahan dengan selisih 1 poin. Selisih paling besar ketika CLS mengalahkan Pacific Caesar di musim 2015-2016 dengan skor 116-45 (selisih 71 poin). Pacific Caesar juga menjadi tim yang mencetak poin paling sedikit dalam 1 laga dalam kurun waktu 9 musim terakhir (26 poin) ketika dikalahkan Garuda di musim 2012-2013. Sedangkan total poin paling tinggi dalam 1 laga terjadi musim 2019-2020 antara Satya Wacana dengan Hangtuah yang berakhir 109-115 (total 224 poin) dan total poin paling rendah dalam 1 laga ketika Bima Sakti melawan JNE Bandung Utama musim 2015-2016 dengan skor 41-31 (72 poin).
Seberapa seru laga IBL? Jika dilihat dari selisih poin, pada musim 2011-2012 selisih per laga mencapai 21,7 poin dan terus turun menjadi selisih 11,8 poin per laga musim 2019-2020 ini, kecuali pada tahun 2015-2016 yang naik menjadi 18,6 per laga. Musim paling seru juga terjadi tahun 2019-2020 ini, 33,3% laga berakhir dengan selisih 1-5 poin, artinya dalam setiap 3 laga, ada 1 laga yang merupakan laga ketat. Hal ini berbanding terbalik ketika musim 2011-2012 26 persen laga berkesudahan dengan selisih lebih dari 30. Artinya dalam 10 laga di musim 2011-2012, 3 di antaranya akan berakhir dengan selisih lebih dari 30 poin.
Dalam sebuah jurnal “Game-Related Statistics Which Discriminate Between Winning and Losing Teams in Asian and European Men’s Basketball Championships”, Haruhiko Madarame (2017) menemukan bahwa laga-laga basket di Asia 52% berjalan tidak seimbang, sedangkan di Eropa hanya 24% laga berjalan tidak seimbang. Penelitian tersebut jika dibandingkan dengan IBL akan terlihat adanya sedikit kesamaan. Secara keseluruhan, 491 laga (38%) berakhir dengan selisih 1-10 poin dan 821 laga lainnya berakhir dengan selisih 11-71 poin. Laga-laga IBL 49 persen terjadi selisih 11-30 poin yang artinya setiap kita melihat laga IBL, setengahnya akan berakhir dengan selisih 11-30 poin. Apakah kehadiran pemain asing menjadi bagian dari semakin serunya laga IBL? Perlu kita dalami lebih lanjut.
Pada IBL musim 2018-2019 lalu ada yang menarik dari penghargaan yang diberikan saat final. Molten sebagai sponsor memberikan penghargaan Referee of The Year kepada Harja Jaladri. Bagaimana penilaian seorang (bukan tim) menjadi wasit terbaik? Siapa peduli?
Wasit IBL memiliki rata-rata usia 32,4 tahun pada tahun 2013 dan semakin meningkat menjadi 35,6 tahun pada musim 2019-2020. Dalam 3 tahun terakhir terdapat 35 wasit yang bertugas di musim reguler IBL. Dari 35 wasit, 12 di antaranya sudah 3 tahun secara berturut-turut memimpin IBL. Total 12 wasit tersebut rata-rata berusia 36,8 tahun dan memimpin 58,6% dari porsi seluruh wasit dalam 245 laga IBL 3 musim terakhir. Ada 14 wasit lainnya hanya merasakan 1 musim memimpin laga IBL dengan rata-rata per orang memimpin 7 laga. Budi Marfan menjadi wasit dengan laga terbanyak (45 laga) dalam 3 musim terakhir IBL, sedangkan R Juan SY (wasit yang baru debut di musim 2019-2020) baru memimpin 2 laga IBL.
Dalam 3 musim terakhir IBL, 58 dari 245 atau 24% laga berlangsung ketat (selisih 1-5 poin). Haryanto Sutaryo menjadi wasit yang memimpin laga ketat paling banyak (14 laga), diikuti dengan Arnaz Anggoro (13 laga), Sedyo Wibowo (12 laga), dan Harja Jaladri (12 laga). Tapi jika dilihat persentasenya, Wasit Swara Yoga menjadi wasit dengan persentase laga ketat paling banyak. Selama 8 kali memimpin pertandingan, 5 kali (63%) laga yang dipimpin Swara Yoga berakhir dengan selisih 1-5 poin, selanjutnya ada Akbar Mubalek 50% laga ketat (5 dari 10), dan Deni Triyanto 50% (2 dari 4 laga).
Menariknya, Wasit Rendy yang sudah memimpin 28 laga dalam 2 musim IBL, hanya mengalami 2 kali laga ketat (7%), dan Rahmat Iqbal yang menjadi salah satu dari 11 wasit yang selalu memimpin laga di 3 musim terakhir IBL juga memimpin laga ketat hanya 9% (3 dari 34 laga). Dari 35 wasit, hanya 4 wasit yang belum pernah memimpin laga ketat di 3 musim terakhir IBL, R Juan SY, Ali Subekti, Nur Hidayati, dan Offie Hartanto.
Hal ini sangat sensitif untuk dibahas sehingga penulis juga sangat kesulitan mendapatkan informasi yang valid. Penulis mendapatkan informasi bahwa honor per laga di IBL 2019-2020 tidak mencapai 1 juta Rupiah per laga. Namun demikian, penulis akan menggunakan asumsi bahwa wasit mendapatkan honor per laga 1 juta (maksimum). (*Informasi ini sudah Mainbasket konfirmasi langsung ke penulis)
Sebagian besar honor wasit basket di dunia memang tidak dinyatakan secara detail, namun memiliki range tertentu. Wasit NBA mendapatkan honor berdasarkan pengalaman dan performanya, dengan nilai paling rendah USD150.000 (setara Rp2,25 miliar) dan paling tinggi USD550.000 (setara Rp8,25 miliar) per musim. Sedangkan jika melihat wasit di EuroLeague pada tahun 2017 mendapatkan 44.000 Poundsterling per musim atau setara dengan Rp790,7 juta. Wasit di PBA Filipina pada tahun 2015 mendapatkan honor 20.000-40.000 Peso per bulan atau setara Rp5,8-Rp11,5 juta tergantung pengalaman dan performa. Selain itu, wasit Filipina juga mendapatkan honor per laga antara Rp144-Rp576 ribu per laga.
Jika melihat honor di atas, berlangsungnya kompetisi, dan dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto per Kapita pada tahun tersebut (pendapatan rata-rata 1 orang dalam 1 tahun dalam sebuah negara), terlihat bahwa wasit NBA 3,6 kali sampai dengan 13,1 kali lipat dibandingkan rata-rata pendapatan warga Amerika Serikat. Sedangkan wasit Euroleague mendapatkan honor sekitar 2,4 kali jika dibandingkan rata-rata warga Eropa. Wasit Filipina mendapatkan 1,6-3,2 kali dibandingkan pendapatan rata-rata warga Filipina. Wasit IBL? Jika diasumsikan bahwa 1 laga mendapatkan honor Rp1 juta, IBL berlangsung selama 4 bulan, dan merupakan wasit yang banyak memimpin laga (minimal 16 laga semusim - hanya 4 orang wasit IBL yang seperti ini), maka pendapatan wasit IBL berada di bawah pendapatan rata-rata orang Indonesia (0,8 kali atau 20% di bawah rata- rata).
Dalam sebuah liga professional, lebih tepat sekiranya untuk membuat seluruh aspek menjadi profesional. Baik manajemen, pelatih, wasit, maupun seluruh pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penentuan standar evaluasi wasit yang kemudian disampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan bahkan penonton, akan menjadikan liga lebih transparan dan professional. L2M report dengan penyesuaian waktu dan selisih poin akan lebih mencerminkan profesionalnya sebuah liga. Hal tersebut tidak akan membuat wibawa wasit turun, justru akan membuat wasit termotivasi. Jika melihat lebih dalam lagi, akan lebih baik jika seluruh pertandingan resmi di tingkat Kota sampai tingkat nasional harus dilakukan perekaman, minimal 1 kuarter terakhir.
Bagaimana dengan data penyimpanannya? Bill Gates tidak membangun Microsoft sendirian, begitu juga Steve Job tidak membangun Apple sendirian. Sarana penyimpanan digital yang tersedia di dinas yang terkait dengan olahraga dapat dimanfaatkan. Hal ini akan memudahkan evaluasi bagi seluruh wasit di Indonesia. Tidak ada lagi wasit yang hanya jalan kaki memimpin sebuah laga!.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kesejahteraan wasit. Jika kita jumlah rata-rata memimpin laga dalam 1 musim, 70 wasit NBA rata-rata memimpin 57,2 laga. Sementara wasit IBL dalam kurun waktu 3 tahun terakhir rata-rata memimpin 10,8 laga per musim. Rata-rata wasit NBA terbang 75.000 mil atau sekitar
120.000 km per musim (330 km setiap hari). Sedangkan IBL tidak banyak melakukan perjalanan karena menggunakan sistim seri.
Mark Davis dalam Mensjournal menyampaikan bahwa wasit NBA berlari sekitar 6,4 km per laga atau bila dikonversikan 40 menit, menjadi sekitar 5,3 km per laga. Sedangkan pemain NBA yang paling banyak berlari adalah Jrue Holiday yang berlari 4,5 km per laga. Dari majalah Runnersworld memperkirakan pemain basket yang bermain paling sering di lapangan akan berlari rata-rata 4,1 km per game. Dilihat dari kedua informasi di atas, salah satu hal yang dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan bisa dimaksimalkan dengan tidak menggunakan wasit terlalu banyak dalam 1 musim. Seleksi ketat harus dilakukan. NBA sendiri melakukan seleksi wasit lebih dari 3.000 orang sebelum dipilih menjadi 70 wasit.
Terakhir, manajemen, pelatih, dan aspek yang terlibat langsung di lapangan turut mengetahui aturan dan bagaimana cara kerja seorang wasit. Kobe Bryant bahkan dalam suatu wawancara pernah menyampaikan dia membaca buku manual seorang wasit. Dengan demikian Kobe bisa memanfaatkan hal-hal yang menjadi celah wasit dalam memimpin laga. Pengalaman penulis, beberapa pelatih dalam sebuah forum menanyakan sebuah aturan yang sangat dasar, artinya pelatih ini tidak peduli atau mungkin tidak pernah berusaha untuk membaca dan memahami aturan.
Ketika semua bisa saling memahami, “Respect” bukan hanya jargon semata. Ketika semua saling menyalahkan, tidak transparan, dan tidak bisa bersikap bijak, kita akan seperti Vladimir dan Estragon dalam lakon “Waiting for Godot”. Terus berdebat dan membahas sesuatu, berharap Godot akan datang menyelesaikan masalah. Tapi Godot tidak pernah datang sampai drama tersebut berakhir. Atau jangan-jangan kita memang sedang “Menunggu Godot”? (*)
Foto: Hariyanto