Sering kita mendengar istilah chemistry dalam sebuah permainan olahraga beregu. Bahkan, chemistry sering disebut-sebut sebagai salah satu faktor penting untuk sebuah tim meraih kemenangan. Chemistry seringnya diartikan banyak pihak sebagai koneksi atau rasa saling mengerti antarpemain. Chemistry yang baik diyakini datang dari waktu kebersamaan yang lama. Semakin lama bersama, maka semakin baik chemistry antarpemain, begitu katanya.  

Namun, rasanya terlalu naïf mengartikan chemistry hanya sekadar waktu bersama. Dan jika kita menilik ke liga-liga atau turnamen-turnamen basket level atas, kita akan menyadari bahwa mereka tak butuh waktu lama untuk membentuk sebuah tim dan turun berlaga di sebuah liga atau turnamen.

Ambil contoh di NBA, juara tahun 2019, Toronto Raptors, memulai musim 2018-2019 dengan banyak perombakan. Mereka menukar DeMar DeRozan dan Jakob Poetl untuk Kawhi Leonard serta Danny Green. Di tengah musim, mereka kembali menukar Jonas Valanciunas untuk Marc Gasol.

Di hampir seluruh laga playoff mereka, Raptors turun dengan susunan utama Kyle Lowry, Green, Leonard, Ibaka, dan Gasol. Dari lima ini, hanya Lowry yang sudah mengabdi untuk Raptors di atas dua tahun. Sisanya tak lebih dari dua tahun (Ibaka masuk Raptors 2017-2018).

Salah satu fakta lain yang paling menyakiti makna chemistry yang kita kenal adalah gelaran turnamen atarnegara. Ambil contoh yang terdekat adalah Piala Dunia FIBA 2019 yang digelar di Cina. Spanyol yang keluar jadi juara di gelaran tersebut baru memulai pemusatan latihan dengan 16 pemain mereka kurang lebih satu bulan sebelum Piala Dunia dimulai.

Di 12 skuat akhir Spanyol, hanya Barcelona dan Real Madrid yang memiliki perwakilan lebih dari satu pemain. Rudy Fernandez dan Sergio Llull mewakili Real Madrid sedangkan Barcelona diwakili oleh Pau Ribas, Victor Claver, dan Pierre Oriola. Tujuh pemain sisanya datang dari tim yang berbeda dan hampir tidak pernah bermain bersama di satu tim yang sama dalam satu tahun terakhir. Ya, tetap saja Spanyol juara.

Jadi, sebenarnya, chemistry yang dimaksud itu apa?

Perbincangan saya dengan salah satu rekan saya berujung pada hipotesis bahwa makna seharusnya dari chemistry adalah titik di mana semua pemain bermain di level yang sama, baik secara fundamental gerakan, mental, fisik, hingga basketball IQ. Tak melulu butuh waktu lama, jika pemain berada di titik yang sama untuk hal-hal di atas, maka mereka bisa langsung nyetel dalam waktu singkat.

Hal ini juga yang membuat pertukaran pemain di NBA jadi masuk akal. Pemain bisa ditukar hari ini, terbang pindah kota esok hari, dan langsung main di gim dengan tim barunya sehari kemudian. Itu pula sebabnya negara-negara teratas di Piala Dunia 2019 lalu tak butuh waktu pemusatan latihan yang lama.

“Waktu persiapan untuk mengikuti turnamen ini tidak mencukupi.” Alasan seperti ini jadi tidak relevan jika melihat tim-tim di luar sana. Mungkin alasan yang lebih relevan adalah,”Level permainan antarpemain kami masih tidak berada di titik yang sama dan kalah dari level permainan tim lawan.”

Kemungkinan alasan yang kedua ini membuka sedikit pikiran saya. Mungkin, inilah penyebab dari kegagalan negara-negara dari Asia dan Afrika di Piala Dunia lalu. Semuanya tumbang di babak grup, tanpa terkecuali. Negara-negara asal benua Amerika dan Eropa seolah terlalu digdaya dari dua benua lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara kita menyentuh level negara-negara di benua Amerika dan Eropa tersebut? Cara termudah untuk menyamai adalah dengan meniru. Mengenai apa-apa saja yang harus kita tiru akan membutuhkan pembahasan yang lebih dalam lagi. Namun, untuk level tim nasional, rasanya jawabannya memang sudah ada di depan mata, yakni kualitas kompetisi.

Kualitas kompetisi basket tertinggi kita perlu diakui memang sudah cukup menunjukkan peningkatan yang bagus. Para pemain asing yang didatangkan pun terlihat semakin baik dan semakin membantu. Namun, sekali lagi, kompetisi yang cuma berjalan kurang lebih tiga bulan dengan jumlah gim reguler yang hanya belasan akan membuat sulitnya kualitas tersebut terjaga.

NBA dan liga-liga di Eropa memainkan gim dalam jumlah yang sangat masif. Mereka berkompetisi sekitar enam bulan dan memainkan gim dengan jadwal yang padat. Secara terus-menerus, pemain diminta terus menjaga atau bahkan meningkatkan kemampuan mereka dari hari ke hari. Hal ini lah yang membuat chemistry mereka terus terjaga.

Ini bukan artikel yang menyudutkan IBL. Sebaliknya, rasanya IBL tak bisa melakukannya sendiri. Mereka  butuh bantuan lebih banyak pihak untuk mewujudkan kompetisi yang lebih panjang dengan kualitas yang terjaga dan cukup menjanjikan untuk pemain-pemainnya. Apalagi jika ingin terus memupuk mimpi bermain di Piala Dunia 2023.

Sudah waktunya menghilangkan kata chemistry dalam kosakata alasan-alasan kekalahan olahraga beregu, tidak hanya di basket, di semua cabang di Indonesia. Karena chemistry sendiri tidak pernah nyata adanya dengan pengertian yang selama ini ada. Bahkan, rangkaian persiapan jangka panjang yang sering dianggap menjadi solusi, tak pernah menghasilkan prestasi yang diprediksi.

Foto: Hariyanto, FIBA

Komentar