Di tengah anjuran pembatasan sosial di seluruh dunia, Chicago Bulls bisa dibilang menjadi tim basket atau bahkan olahraga yang paling sibuk. Bagaimana tidak, Bulls melakukan perombakan di jajaran manajemen mereka justru saat NBA dan hampir seluruh liga olahraga di dunia menunda kegiatan mereka.
Perubahan pertama di jajaran manajemen Bulls adalah pemecatan kepada manajer umum mereka, Gar Forman, yang sudah mengabdi selama 22 tahun dan 10 tahun terakhir memegang jabatan manajemen Bulls. Tak lama berselang, legenda sekaligus wakil presiden operasional Bulls, John Paxson, juga dicopot dari jabatannya. Pun demikian, keduanya dikabarkan masih akan berada di lingkungan manajemen Bulls dengan peran sebagai penasihat.
Bulls lebih dulu mengganti Paxson. Manajer umum Denver Nuggets, Arturas Karnisovas, mereka ajak bergabung dan menaikkan pangkatnya menjadi wakil presiden operasional. Karnisovas lantas bergerak cepat mencari manajer umum yang akhirnya jatuh kepada salah satu jajaran eksekutif Philadelphia 76ers, Marc Eversley.
Di tengah pandemi ini, dua sosok ini membawa gairah baru untuk para penggemar Bulls. Ditambah dengan mengudaranya film dokumenter “The Last Dance” yang membahas masa kejayaaan Bulls, gariah tinggi sedang ada di kota berangin tersebut. Apalagi, Bulls sendiri sudah tidak lolos ke playoff dalam dua musim terakhir dan mungkin musim ini pun juga sama.
“Menjadi manajer umum di NBA dan bergabung dengan organisasi Bulls bak mimpi yang menjadi kenyataan untuk saya,” ujar Eversley dalam rilis resmi tim. “Saya senang bisa bekerja dnegan Karnisobas yang memiliki level semangat dan komitmen yang sama dengan saya untuk meraih kemenangan. Kami berdua juga datang dari program sukses di organisasi sebelumnya. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk membawa budaya kemenangan itu ke sini.”
Dalam wawancara terpisah dengan NBC Sports, Eversley bahkan dengan penuh semangat menargetkan membawa pulang gelar juara yang terakhir kali didapat Bulls di tarian terakhir Michael Jordan dan Phil Jackson. “Semua akan dimulai dan diakhiri dengan kemenangan. Komitmen kami adalah untuk menjadi istimewa dari hari ke hari. Untuk semua penggemar Bulls, dengar saya, tujuan utama kami adalah untuk membawa gelar juara kembali ke kota Chicago,” lanjutnya.
Ucapan Eversley memang benar adanya. Ia dan Karnisovas datang dari dua organisasi yang kini sedang naik daun. Karnisovas adalah sosok penting dibalik skuat tangguh penuh talenta milik Nuggets. Ia adalah otak dibalik kedatangan Paul Millsap ke Nuggets dan mengembangkan Nuggets menjadi sekarang.
Sementara Eversley sudah menjadi bagian dari manajemen Sixers saat mereka memilih Ben Simmons di urutan pertama NBA Draft 2016. Jabatan terakhirnya sebagai Senior Vice President of Player Personnel berperan penting dalam perubahan skuat Sixers dari tim penuh kekalahan menjadi tim penuh ancaman. Ia pula yang mengatur transaksi pemain seperti J.J. Redick, Jimmy Butler, dan Tobias Harris.
Seiring semangat tinggi Eversley, satu pertanyaan besar sudah menantinya yakni mengenai nasib Kepala Pelatih Bulls, Jim Boylen. Sejak datang menggantikan Fred Hoiberg dua musim lalu, ia hanya mampu meraih 39 kemenangan dan kalah total 84 kali. Belum lagi serangkaian berita buruk mengenai kondisi ruang ganti dan pilihan strategi permainan yang tak lazim membuat banyak penggemar menanti Boylen tak lagi menangani tim.
Meski dijejali banyak fakta di atas, Eversley tak ingin gegabah. Masih dalam wawancara yang sama, ia berkata ia dan tim masih butuh waktu untuk menganalisis keseluruhan kondisi Bulls. Ia akan melakukan evaluasi secara menyeluruh sebelum menentukan langkah-langkah kongkret untuk mengejar gelar juara.
“Saya sudah berbincang dengan Boylen minggu lalu, tapi itu belum cukup. Kami akan memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan evaluasi ke seluruh bagian tim, ofisial, pemain, dan pelatih. Kami harus jumpa dalam tatap muka langsung untuk mengambil keputusan seperti ini dan kami tak ingin gegabah,” pungkasnya.
Boylen sendiri memiliki resume yang bagus. Ia tercatat tiga kali meraih gelar juara sebagai asisten pelatih. Dua gelar pertama ia raih saat menjadi bagian dari Houston Rockets pada 1994 dan 1995. Lalu pada 2014, ia menjadi asisten Gregg Popovich untuk membantu San Antonio Spurs mengalahkan Miami Heat. Pun demikian, Bulls adalah tim NBA pertama yang ia tangani sebagai kepala pelatih. Satu-satunya pengalaman menjadi kepala pelatih sebelum Bulls adalah menangani tim kampus University of Utah.
Gairah baru ini sebenarnya tidak hanya bagus untuk Bulls, melainkan keseluruhan NBA. Bulls sebagai salah satu tim dengan gelar juara terbanyak di NBA sudah kehilangan tajinya sejak era Derrick Rose berakhir. Mereka terus kesulitan menemukan pondasi yang tepat untuk membangun tim dan semoga saja kehadiran manajemen baru ini benar-benar membawa mereka ke jalan yang tepat. (DRMK)
Foto: NBA