Hari Buruh Internasional di peringati setiap 1 Mei. Dalam prosesnya, beberapa negara memang memperingati hari ini dengan sangat spesial. Seperti di Indonesia, Hari Buruh Internasional telah dijadikan hari libur nasional.
Peringatan Hari Buruh Internasional di Indonesia sendiri identik dengan aksi demonstrasi dari serikat buruh ke beberapa instansi pemerintahan. Bisa saja ke kantor gubernur, walikota, DPR, atau ke istana negara sebagai simbol dari bangsa Indonesia.
Namun, satu hal yang sering saya pikirkan adalah kenapa yang mayoritas berdemo adalah serikat buruh/pekerja dari sektor industri saja. Hanya segelintir saja pendemo yang datang dari sektor lain seperti perbankan, ritel, transportasi, teknologi, dan sebagainya. Mengapa demikian? Apakah yang dianggap buruh adalah orang-orang yang bekerja di sektor industri saja?
Setelah menelaah beberapa sumber, sektor ekonomi Indonesia secara umum dibagi menjadi tiga, primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer diisi oleh mereka-mereka yang bekerja mengolah sumber daya alam dan menyediaknnya untuk masyarakat atau mengubah sumber daya alam menjadi bahan baku untuk sektor sekunder. Orang-orang yang bekerja di industri pertanian, kehutanan, dan perikanan masuk di sektor ini.
Sementara sektor sekunder adalah mereka yang mengolah bahan baku dari sektor primer untuk menjadi barang yang memiliki nilai lebih tinggi. Industri manufaktur mulai dari makanan, mobil, logam, hingga peralatan rumah tangga masuk ke sektor ini. Untuk sektor tersier, fokusnya lebih ke jasa unutk konsumen. Perbankan, transportasi, pensiun, hingga pariwisata masuk sektor ini.
Lantas, jika kita ulang ke pertanyaan awalnya, mengapa hanya pihak sektor sekunder yang terlibat di demonstrasi Hari Buruh Internasional? Apakah hanya mereka yang bergerak di sektor sekunder yang memiliki label “buruh”?
Menilik ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “buruh” memiliki makna orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Jadi sebenarnya, selama kita masih bekerja untuk orang lain dan dibayar/digaji orang lain, kita adalah buruh dan sah-sah aja untuk mengikuti peryaaan Hari Buruh Internasional.
Stigma masyarakat mungkin bisa dibilang menjadi penyebab hal utama di sini. Entah mengapa, saat kita menyebut buruh, yang muncul di kepala kita adalah mereka-mereka yang bekerja di pabrik, menggunakan seragam, sepatu safety, dan topi, hingga yang ikut berdemo di Hari Buruh Internasional, sisanya bukan. Sisanya adalah “karyawan,” atau “pegawai.”
Menariknya, di sektor sekunder, “karyawan” sendiri memiliki makna yang berbeda. Sebagai orang yang pernah menghabiskan 28 bulan bekerja di sebuah pabrik otomotif di Karawang, Jawa Barat, saya awalnya cukup kebingungan mengetahui bahwa “karyawan” bukanlah kata untuk semua orang yang bekerja di sana.
“Karyawan” lebih identik dengan mereka yang sudah berstatus sebagai pegawai tetap. Sementara yang masih berstatus kontrak, lebih sering menyebut dirinya “operator.” Memang, secara penyebaran, mayoritas operator masih berstatus kontrak dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), tapi sebenarnya mereka juga sah menyebut diri mereka karyawan.
Di sisi lain, jika bicara mengenai mereka-mereka yang identik dengan kata “buruh,” pikiran selalu mengarah ke pekerjaan yang membosankan. Tidak salah juga, bekerja dengan menggunakan seragam dari kepala sampai kaki memang terlihat kaku dan membosankan. Namun, kenyataanya memang tak selalu demikian.
Selama bekerja di pabrik, saya menemukan upaya-upaya kongkret dari serikat pekerja atau perusahaan agar pekerjaan ini tak menjadi pekerjaan yang membosankan. Kehadiran sarana – prasarana menjadi salah satu cara untuk menghilangkan stigma tersebut. Di pabrik tempat saya bekerja dulu, ada kolam air mancur di tengah jalur produksi. Lalu, di area istirahat, ada juga kolam ikan yang dikelilingi banyak tanaman.
Di luar fasilitas relaksasi secara jiwa yang umumnya dinikmati dengan mata seperti di atas, banyak pabrik juga menyediakan fasilitas kebugaran. Saya memang belum pernah tahu sih kalau ada pabrik yang menyediakan fasilitas full gym untuk karyawannya, tapi banyak sekali pabrik yang sudah menyediakan fasilitas olahraga seperti lapangan bola, futsal, lari, voli, hingga basket.
Ya, lapangan basket menjadi salah satu fasilitas yang sering muncul di pabrik-pabrik di Indonesia. Meski kadang fungsinya juga bisa diganggu untuk meletakkan barang-barang jika area penyimpanan sudah tak mencukupi, lapangan basket tetap ada.
Bahkan,saya awalnya cukup kaget bahwa ada turnamen basket antarpabrik. Saya sempat ikut bermain di dua gelaran turnamen antarpabrik yang digelar salah satu pabrikan mobil Indonesia. Total peserta di basket saja mencapai hampir 200 tim. Memang, waktu itu gelarannya bersifat 3X3, tapi saya pernah tahu juga beberapa turnamen yang bersifat 5v5.
Satu hal yang kembali mengejutkan saya adalah keseriusan mereka menghadapi turnamen yang judulnya bertajuk persahabatan. Di pabrik saya sendiri, kami diberi waktu latihan sekitar seminggu dua kali di hari kerja sekitar sebulan sebelum turnamen. Kami yang bermain mendapatkan kompensasi jam kerja hanya untuk berlatih saja hahaha. Kami juga dapat insentif untuk beli sepatu basket lho. Di beberapa pabrik lainnya bahkan menghadirkan sosok pelatih basket, sangat serius.
Level keseriusan pabrik-pabrik tersebut semakin membuat saya tercengang saat tiba hari turnamen. Di sana, saya melihat banyak talenta yang sulit dipercaya untuk kerja di pabrik. Mainnya terlalu fluid untuk seorang yang berlatih usai menghabiskan delapan jam di pabrik, apalagi ada yang punya tato satu lengan penuh (setahu saya, banyak pabrik yang masih melarang tato utamanya di area yang tidak tertutup seragam).
Usut punya usut, ternyata mereka adalah pemain cabutan atau yang biasa kita kenal dengan sebutan “tarkam.” Namun, mereka semua punya tanda pengenal sebagai karyawan di pabrik tersebut. Di cabang olahraga voli, bahkan ada pemain aktif level pro yang turut ambil bagian (meski bukan dari tim perusahaan gas).
Setelah menyebrang ke Mainbasket, saya baru tahu bahwa beberapa orang yang saya lihat di turnamen tersebut adalah mereka-mereka yang nyaris masuk ke profesional. Bahkan, beberapa di antaranya secara rutin main untuk klub-klub basket regional di divisi-divisi. Turnamennya di bilangan Sunter, Jakarta Utara (buat pemain-pemain yang baca hehe).
Oh iya, bahkan saya sempat mendapat informasi ada pabrik yang punya tim lengkap 5v5 di sektor putra dan putri! Hebatnya, di pabrik ini, kabarnya mereka benar-benar bekerja, bukan cabutan. Mereka masuk melalui semacam “jalur prestasi” untuk mendapatkan status karyawan tetap atau jabatan tertentu (setahu saya).
Ya kurang lebih begitulah cerita basket di lingkungan buruh sektor sekunder. Menarik, tapi jujur masih banyak hal yang mungkin belum saya ketahui. Oh iya, untuk total hadiah, sebenarnya sama seperti seluruh turnamen atau liga basket di Indonesia, tidak cukup besar. Tapi entah mengapa, daya persaingannya cukup ketat.
Dewasa ini, saya melihat turnamen tersebut sebagai bukti lain bahwa basket adalah hak segala bangsa. Semua bisa bermain basket dan mungkin saja basket sebenarnya tak berjarak sejauh itu dari sepak bola untuk urusan “olahraga rakyat.” Apalagi dengan kehadiran sepatu DBL Ardiles yang menghadirkan sepatu basket dengan harga terjangkau, saya rasa basket lebih dekat lagi dengan predikat “olahraga rakyat.”
Di sisi lain, rasanya sudah waktunya mengikis sitgma bahwa buruh adalah orang-orang yang bekerja di sektor sekunder saja. Mengapa demikian? Jika semua sektor mampu dan mau bergabung dalam satu payung buruh yang sama, maka kesejahteraan masyarakat mungkin bisa lebih meningkat. Saya membayangkan, sinergi dari semua lini dengan visi yang sama akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Ya, semoga, kesejahteraan ada untuk seluruh masyarakat di waktu yang akan datang. Hidup buruh!
Foto: NBA