*Artikel ini pertama kali diunggah di Mainbasket.com pada 1 Mei 2020

 

Selepas penayangan empat episode The Last Dance, ingatan yang begitu hangat seperti menyeruak, lalu muncul dalam nama sebuah manga olahraga terpenting dalam sejarah: Slam Dunk. 

Bagi penggemar basket segenerasi saya­—yang sering dibilang sebagai generasi Y—Slam Dunk adalah suplemen penting untuk berbasket ria, selain lewat tayangan NBA dan kompetisi basket lokal. Singkatnya, Slam Dunk berkisah tentang Hanamichi Sakuragi, seorang murid kelas 1 SMA yang menekuni basket untuk membuktikan cintanya pada gadis idamannya. Ia bergabung di SMA Shohoku yang kemudian kita ikuti perjalanannya dari pertandingan ke pertandingan.

Berbeda dengan manga olahraga se-zaman dan setelahnya yang hiperbolis, penuh jurus-jurus, dan over the top, Slam Dunk adalah anomali karena menampilkan bola basket secara humanis, realistik, tapi tetap memiliki momen-momen dramatis-heroik seperti kebanyakan manga remaja. Untuk itu kita harus berterima kasih pada sang mangaka, Takehiko Inoue, yang begitu cermat dalam mengemas cerita.

Pembagian fragmen di dalam Slam Dunk dapat diikuti dalam pertandingan-pertandingan yang dilakoni Shohoku, mulai dari pertandingan ujicoba, kualifikasi di tingkat Kanagawa, hingga tingkat nasional.

-. Shohoku versus Ryonan (pertandingan ujicoba)

-. Shohoku versus Shoyo (perempat final prefektur kanagawa)

-. Shohoku versus Kainan (babak empat besar prefektur kanagawa)

-. Shohoku versus Ryonan (babak empat besar prefektur kanagawa)

-. Shohoku versus Toyotama (turnamen nasional)

-. Shohoku versus Sannoh (turnamen nasional)

Tentulah pertandingan terakhir Shohoku Vs. Sannoh jadi yang paling megah, karena menjadi penutup, bahkan punya porsi sampai 6 volume manga. Namun, sejujurnya kalau Anda punya waktu membaca ulang Shohoku melawan Kainan seusai menonton The Last Dance, bisa jadi adrenalin Anda akan terpacu seperti ketika saya melakukan pembacaan ulang pada pertandingan ini. 

Pertandingan Fiksional yang Realistik

Rukawa mencetak 25 poin di babak pertama lalu kehabisan stamina di babak dua. Akagi mengalami cedera yang mengusik mentalnya padahal ini pertandingan yang ia nantikan selama tiga tahun. Sakuragi yang muncul jadi pahlawan berakhir jadi pecundang. Ketiga pemadangan tadi adalah cuplikan penting dari pertandingan ini. Tiga tokoh pilar Shohoku mengalami transformasi psikologis sebagai manusia dan sebagai pebasket melalui pertandingan ini.

Pertandingan ini terasa sangat kompleks, bukan hanya dari dimensi pertandingan yang penuh naik-turun emosi, tapi dari cara Takehiko Inoue mengemas referensi-referensi NBA, menjadikannya sebagai tanda-tanda yang krusial.

Kita bisa melihat sosok Dennis Rodman dalam Hanamichi, Michael Jordan dalam diri Rukawa, Patrick Ewing dalam diri Akagi, hingga Magic Johnson dalam diri Shinichi Maki. Belum lagi Kainan yang LA Lakers-sentris dan Shohoku yang sangat Chicago Bulls.

Mungkin saat pertama membaca/menonton saya tak terlalu menyadari keterhubungan ini, dan menganggap pertandingan ini ala kadarnya saja. Namun, kini dengan melihat representasi NBA di dalam masing-masing tim dan pemainnya, pertandingan ini terasa berbeda.

Salah satu pertandingan NBA yang bisa kita rujuk adalah Final NBA 1991 yang mempertemukan Chicago Bulls dengan LA Lakers. Saat itu, dinasti Bulls baru saja membuka gerbang kejayaan, sementara Lakers ada di pengujung dinastinya. Sama halnya dengan Shohoku versus Kainan, yang akhirnya bertemu dan menjadi penanda hadirnya kekuatan baru bernama Shohoku.

Perjalanan Rukawa di pertandingan ini juga begitu penting. Dalam empat episode awal The Last Dance kita melihat sosok Michael Jordan muda yang cemerlang secara individu sebagai pebasket, tapi barulah ketika ia menyatu dengan sistem, ia menemukan kesuksesan sesungguhnya. Sama halnya dengan Rukawa ketika melawan Kainan.

Performanya yang bak kesetanan di babak pertama mungkin jadi potongan favorit saya dari Slam Dunk. Shohoku yang ketinggalan cukup jauh berhasil mengejar skor lewat aksi spektakuler Rukawa yang mencetak 25 poin di babak pertama. Meskipun pada akhirnya, ia kehabisan gas di babak kedua dan cuma mampu bikin 6 poin saja. Saya menebak, Takehiko Inoue coba menghadirkan suasana serupa aksi spektakuler Jordan di playoff 1986 saat melawan Boston Celtics ketika mencetak 63 poin namun tetap kalah.

Bagian lain yang juga menarik  dari pertandingan ini adalah relasi Sakurgi dan Akagi. Pertandingan ini jadi momentum kedewasaan Sakuragi, yang mengambil peran Akagi sebagai jangkar pertahanan di babak pertama saat Akagi cedera pergelangan kaki.

Takehiko Inoue membuat Sakuragi mengalami momen "akil baligh" sebagai pebasket kala melawan Kainan. Pada awal pertandingan, Sakuragi yang biasa mengandalkan atletisitas untuk mengalahkan lawan, dibuat tak berkutik ketika Coach Takato dari Kainan memaksanya untuk menjaga pemain yang 30 sentimeter lebih pendek darinya. Pelajaran pertama: talenta fisik bisa dikalahkan pengalaman.

Sampai tibalah pada momen Sakuragi harus membuat tembakan gratis, namun dia belum tahu cara menembak yang betul. Lagi-lagi, Takehiko Inoue secara brilian memasukkan referensi dari NBA, yakni tembakan gratis ala Rick Barry sebagai pose Sakuragi menembak. Pose yang terlihat sangat unik—namun efektif ini—sangat cocok dengan karakteristik Sakuragi sebagai pebasket pemula.

Tentunya, turnover Sakuragi di detik terakhir pertandingan yang membuat Shohoku kalah menjadi titik puncak transisinya dari pebasket pemula jadi pebasket sungguhan. 

Sekilas Tentang Kainan yang Misterius 

Dibandingkan beberapa tim lain di Slam Dunk, Kainan merupakan tim yang misterius. Secara histrois mereka 17 kali berturut-turut menjadi yang terbaik di Kanagawa (menggambarkan dinasti Lakers di era 80-an). Sampai tiba di generasi Shinichi Johnson, maksud saya Maki, yang tiga tahun berturut-turut jadi MVP di Kanagawa. Bahkan di tahun terakhir Maki, mereka berhasil juara 2 Nasional. Saya curiga mereka kalah dari Meihou Kougyou yang dimotori Hiroshi Morishige—Shaquille O'nealnya Slam Dunk—karena berbeda bagan.

Secara naratif, Kainan digambarkan begitu hebat, tapi yang membuat saya bingung ketika melihat line-up mereka yang tidak terlalu mengesankan. Kebanyakan tim lain punya 2-3 bintang yang menjadi poros tim, ini yang membuat Kainan jukstaposisi dengan Shohoku yang kelima pemain starter yang ada di level "All-Star".

Kiyota Nobunaga mungkin seorang ruki yang eksplosif, tapi ia tidak terlalu tinggi, tidak memperlihatkan bakat lain yang spektakuler. Shoichiro Jin penembak jitu yang punya konsistensi shooting berkat latihan keras, tapi sepertinya terlihat rapuh dibandingkan pemain lain. Bagaimana mungkin Kainan bisa seberhasil itu?

Nah, karena ini sebatas fiksi, saya jadi berandai-andai. Pertandingan melawan Shohoku ini jadi gambaran penting karakteristik Kainan yang berbeda dengan tim lain. Sejatinya, Kainan memiliki komposisi yang merata, pemain-pemain dengan level yang sama baiknya dari bench hingga ke pemain utama—terlihat dari Miyamasu si pemain bench bertinggi 160 sentimeter yang menjaga Sakuragi. Pembedanya adalah Shinichi Maki, yang menjadi jangkar sekaligus mengekskalasi kemampuan Kainan ke level tertinggi.

Lucunya, ketika membaca ulang pertandingan ini, saya malah tidak lagi mengidentifikasi Maki sebagai Magic Johnson, ia lebih mirip LeBron James. Ini bukan lagi persoalan bagaimana Takehiko Inoue mereplikasi pebasket NBA era 80/90an ke dalam manga, tapi tentang bagaimana komposisi fiksi di masa lampau bisa terwujud nyata di masa depan, lewat sosok yang dahulu sama sekali tidak terbayangkan.

Di pertandingan ini, Shinichi Maki memang menjadi garda utama, tapi ia tidak ditampilkan hanya sebagai pengumpan bola. Ia agresif menyerbu ke bawah ring, menginisiasi kontak tubuh dengan Akagi dan Sakuragi, sampai mendapat tembakan gratis. Barulah ketika Jin dioptimalisasi sebagai pencetak poin utama dari area tiga angka, Maki menjadi pengumpan.

Dibandingkan Magic Johnson, bukankah karakteristik ini lebih mirip dengan LeBron James? Ia agresif menyerbu ke bawah ring, punya kecepatan, tenaga, hingga karakteristik operan ke luar yang serupa. Belum lagi beberapa momen pertahanan lewat blok yang dilakukan Maki, sebelas duabelas dengan momen blok yang biasa dilakukan LeBron.

Ini sebatas pengandaian, kecuali Takehiko Inoue benar-benar seorang peramal. 

Menuju Babak Kedua Slam Dunk 

Pasca pertandingan yang berada di volume 15—terbit pertama Oktober 1993—manga ini masuk pertengahan babak. Kulminasi babak pertama yang terjadi saat lawan Kainan menunjukkan bahwa Shohoku masih benar-benar hijau dan masih terlalu jomplang mengandalkan bakat saja.

Setelahnya, Rukawa memperbaiki ritme sehingga tak kehabisan energi lagi. Akagi, gara-gara cedera di pertandingan ini, sampai menyimpan beban psikologis bahkan hingga ke pertandingan melawan Sannoh. Pertandingan lawan Kainan jadi kali pertama ia harus bergantung pada rekan lainnya.

Ya, kalau untuk Sakuragi, ia berubah total. Dari rambut yang dibuat botak, hingga keseriusannya untuk latihan menembak. Ia terasa jadi sosok yang berbeda dengan rambut barunya. Ini juga bagian yang unik.

Kita tahu, Hanamichi Sakuragi dan Dennis Rodman berbagai garis takdir. Oktober 1993 pun menjadi esensial, Rodman pindah dari Detroit Pistons ke San Antonio Spurs dan mulai melakoni hidup secara ekstentrik, sementara Sakuragi mengalami perubahan mental pasca kekalahan dari Kainan di volume 15. Keduanya sama-sama mendapat "pencerahan" di Oktober 1993. Hehehehe.

Nah, saya sih berharap, ketika episode-episode berikutnya dari The Last Dance tayang, akan lebih banyak lagi memori tentang Slam Dunk yang bisa digali melalui pertandingan-pertandingan lain. Slam Dunk mungkin cuma kisah fiksional yang singkat, tapi di dalamnya ada realitas genetik dari NBA yang kita cintai. (*)

Komentar