Dalam episode 3 dan 4 “The Last Dance” yang baru mengudara Senin, 27 April 2020, waktu Indonesia, Detroit Pistons menjadi salah satu pokok pembahasan. Pistons yang notabene adalah juara NBA 1989 dan 1990 menjadi sandungan terbesar Michael Jordan dalam meraih gelar juara. Di tahun tersebut, MJ sudah masuk dalam daftar pemain terbaik NBA secara individu, sejajar dengan Larry Bird dan Magic Johnson. Akan tetapi, gelar juara yang tak kunjung ia dapat menjadi pembeda besar MJ dari dua seniornya.

Di dua tahun juara Pistons tersebut, MJ dan Bulls adalah lawan mereka di seri final Wilayah Timur. Dalam dua tahun yang sama, Pistons berhasil mengandaskan Bulls dengan skor (4-2) dan (4-3). Pistons dan Bulls juga bertemu di semifinal Wilayah Timur playoff 1988 dan hasilnya pun serupa, Pistons menang (4-1). MJ bisa dibilang babak-belur di tiga pertemuan ini, secara harfiah. Ia dihantam, didorong, hingga dibanting secara bergantian oleh para pemain Pistons.

Perlakuan yang diberikan pemain Pistons tersebut lantas diberi nama “Jordan Rules.” Secara garis besar, “Jordan Rules” adalah aturan-aturan dalam menghentikan serangan dan produktivitas MJ. Mulai dari mengarahkan arah terobosan MJ, melakukan penjagaan dobel (double team), hingga tak memberikan peluang-peluang melakukan tembakan mudah masuk dalam aturan ini.

Namun, pertanyaan sebenarnya adalah, apakah benar “Jordan Rules” adalah hal utama yang membuat MJ dan Bulls gagal melewati adangan Pistons di tiga musim tersebut?

Musim 1997-1998 adalah musim pertama di mana MJ mendapatkan gelar MVP musim reguler. Di samping itu, ia juga mendapatkan gelar pemain bertahan terbaik dan MVP untuk laga All Star. Hal ini membuat Pistons memusatkan perhatian mereka pada MJ saat bertemu di semifinal Wilayah Timur. Apalagi, di putaran pertama playoff melawan Cleveland Cavaliers, MJ menorehkan catatan 45,2 poin dengan efisiensi tembakan (eFG%) mencapai 56 persen.

Penerapan “Jordan Rules” benar-benar apik di keseluruhan seri ini. Pertama, MJ tercatat sebagai pemain dengan percobaan tembakan gratis terbanyak dari kedua tim. Dalam lima pertemuan, ia mencoba 38 kali tembakan gratis dengan 30 di antaranya menemui sasaran (79 persen).

Percobaan ini sebenarnya bisa dibilang sedikit mengingat betapa bengisnya penampilan Pistons dalam melaksanakan “Jordan Rules.” Namun, perlu diingat, wasit-wasit NBA di era tersebut masih memberikan banyak kelonggaran untuk permainan kontak fisik. Jauh berbeda dari sekarang.

Kedua, keberhasilan “Jordan Rules”  terlihat dengan jelas seiring penurunan angka statistik MJ. Dengan menit bermain yang hampir sama dari gim putaran pertama, MJ hanya mampu mencetak 27,4 poin per gim dengan efisiensi tembakan (eFG%) 49 persen. Lalu, secara produktivitas poin, MJ juga menurun drastis dari 1,26 poin per penguasaan bola melawan Cavaliers menjadi hanya 1,06 poin melawan Pistons.

Di musim selanjutnya, MJ masih sangat kesulitan menemukan celah menembus pertahanan spartan Pistons. Serupa dengan ulasan di atas, MJ tampil perkasa di seri playoff sebelum bertemu Pistons di final Wilayah Timur. Melawan Cavaliers di putaran pertama dan New York Knicks di semifinal, MJ menorehkan rataan 39,8 dan 35,7 poin per gim. Efisiensi tembakannya pun tak main-main, 53 persen dan 57 persen.

Lantas saat bertemu Pistons, alumnus University of North Carolina ini “hanya” mencetak 29,7 poin per gim dengan eFG% 47 persen. Dalam enam gim, MJ tercatat melakukan 79 tembakan gratis atau rata-rata 13 tembakan gratis per gim. Sebagai pembanding, pemain dengan percobaan tembakan gratis terbanyak kedua adalah Isiah Thomas dengan 41 tembakan gratis (6,8 percobaan per gim).

Di dua tahun yang saya bahas di atas, MJ dan Bulls masih ditangani oleh Doug Collins. Dalam film dokumenter sendiri, Doug mendaku bahwa ia sangat senang memberikan bola atau serangan kepada MJ dengan mengandalkan strategi isolasi (Isolation). Hasilnya pun terlihat dari USG% yang sangat tinggi. USG% MJ terus mengecil saat berhadapan dengan Pistons karena mereka terus membatasi ruang geraknya.

Era Phil Jackson

Di musim 1989-1990, Phil Jackson naik pangkat dari asisten menjadi Kepala Pelatih Bulls menggantikan mantan bosnya, Doug. Phil yang mengagumi cara kerja Tex Winter dengan strategi serangan triangle pun berusaha menerapkan sistem ini di timnya. Pun begitu, MJ mendaku tidak cukup senang dengan pola ini karena kebebasnnya mengeksekusi bola berkurang.

Di playoff 1990, final Wilayah Timur melawan Pistons, Bulls hanya berjarak satu gim dengan partai final NBA. Sayangnya, Scottie Pippen, senjata ancaman kedua dari Bulls justru sakit kepala di gim terakhir. Sepanjang seri ini, MJ mencatatkan USG% 32,3 persen, lebih rendah dari musim sebelumnya 33,2 persen.

Akan tetapi, catatan penting di pertemuan tahun 1990 adalah peran para pemain pendukung MJ yang semakin besar. Di dua pertemuan sebelumnya, MJ hanya memiliki satu pemain (per musim) dengan USG% setidaknya 20 persen. Sementara di edisi kali ini, ada dua pemain lain yang memiliki USG% di atas 20 persen, Scottie dan B.J. Armstrong. Di sini, konsep triangle sebagai pemecah kebuntuan “Jordan Rules” melawan Pistons mulai terlihat. Sekali lagi, Bulls hanya berjarak satu sakit kepala Scottie untuk lolos ke playoff.

Di musim 1991, di mana semua pemain sudah dalam kondisi amarah dan motivasi yang memuncak untuk mengandaskan Pistons, “Jordan Rules”  tampak tak lagi berpengaruh. Untuk kali pertama di empat pertemuan dengan Pistons, MJ memiliki tiga rekan satu tim yang menorehkan rataan dua digit poin per gim dalam diri Scottie (22,0), Horace Grant (13,5), dan Bill Cartwright (10,5).

Pergerakan dinamis konsep triangle membuat Pistons pun kesulitan untuk menjaga MJ. Ia menorehkan eFG% tertinggi dari semua perjumpaan dengan Pistons di playoff dengan 56 persen. Catatan ini sudah jauh di atas rata-rata liga kala itu yang hanya 49 persen. “Jordan Rules” ditaklukkan, MJ dan Bulls bermain dengan indah, gelar juara pun akhirnya diraih.

“Jordan Rules”  di mata saya adalah sebuah strategi terbaik untuk menghentikan MJ dan Bulls di edisi 1988 – 1990. Saat itu, MJ dan Bulls belum menyadari betapa pentingnya mengembangkan pemain-pemain pendukungnya. Dengan konsep triangle yang sangat dinamis dan kehadiran pemain pendukung yang pas, maka Bulls menjadi satu paket ancaman yang komplet untuk Pistons. Seperti yang diungkapkan di film, Pistons bukanlah tim dengan talenta terbaik, tapi mereka adalah tim dengan semangat pantang menyerah paling gila. Saat MJ dan Bulls memiliki semangat yang sama di musim 1991, Pistons bukan lagi ancaman.

Foto: NBA

 

Komentar