Kehidupan berubah drastis belakangan ini. Dalam waktu dua bulan setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia, semuanya jadi serbasulit. Orang-orang bahkan takut untuk sekadar keluar rumah.
Covid-19 yang disebabkan virus corona (SARS-CoV-2) rupanya bukan hanya masalah kesehatan. Ia menyerang lini kehidupan lainnya. Ekonomi, misalnya, menjadi lesu—sangat lesu malah. Harga minyak mentah sampai terjun bebas di pasar dunia.
Akibat ekonomi yang lesu ini, kantor-kantor terpaksa merestrukturisasi perusahaannya. Sebab, work from home (bekerja dari rumah) tidak selalu bisa menyelamatkan mereka. Saya melihat teman-teman saya terpaksa kehilangan pekerjaan. Saya sendiri pun begitu, sebenarnya. Tulisan-tulisan setelah ini, mungkin, jadi tulisan-tulisan terakhir saya.
Di luar sana, para pekerja harian benar-benar sial. Tenda pecel lele dekat kontrakan saya di Surabaya dulu tampak sepi. Padahal mereka selalu ramai pada hari-hari yang normal. Penghasilan mereka menurun drastis.
Berita-berita isinya mengerikan. Suatu hari, saya membaca laporan tentang seorang ibu yang meninggal setelah hanya minum air di Tangerang. Ia dan keluarganya tidak punya uang untuk makan.
Sementara itu, ke mana pemerintah? Seperti biasa, mengutip kalimat Andrea Hirata dalam bukunya berjudul Maryamah Karpov, “Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah agak sedikit riskan.” Kita tidak benar-benar tahu apa yang mereka lakukan.
Meski begitu, pada saat-saat seperti ini, kita ternyata masih punya orang-orang baik. Beberapa dari kita melakukan pergerakan untuk membantu yang membutuhkan—gerakan sosial, tepatnya. Teman-teman saya, jurnalis di Jakarta, menggalang bantuan lewat Jurnalis Bergerak. Mainbasket dan DBL Indonesia mengusung program Bersatu Saling Bantu. Mereka ada di sekitar kita. Mereka hadir untuk membantu kita.
Pada Maret 2020 lalu, pemain-pemain bola basket Indonesia juga punya gerakannya sendiri. Mereka melelang memorabilia masing-masing. Entah itu jersei maupun sepatu. Pada umumnya sangat berharga karena punya sejarah yang tidak terkira.
Wendha Wijaya, garda Louvre Surabaya, teman sekaligus idola saya sejak kecil, melelang tiga jersei miliknya. Salah satunya jersei Satria Muda Jakarta yang legendaris. Jersei itu mengingatkan saya pada masa-masa jaya seorang Wendha. Bersama Satria Muda, ia juara lima kali.
Wendha tentu bukan satu-satunya pemain yang melelang memorabilia. Ada banyak mereka yang ikut bergerak. Sebab, gerakan positif itu menular.
Arif Hidayat, garda Prawira Bandung, misalnya, melelang jersei klub lamanya, CLS Knights Indonesia. Jersei itu sangat berharga karena ia menjadi juara ASEAN Basketball League (ABL) 2019 bersamanya. Xaverius Prawiro, bekas pemain Aspac Jakarta dan Pelita Jaya Jakarta, melelang jersei tim nasional Indonesia. Itu merupakan jersei timnas terakhirnya sebelum pensiun (lagi) pada 2019. Kebetulan Xaverius memang sempat pensiun sekali.
Hasil lelang kemudian disumbangkan lewat kitabisa.com/kitalawankitabangkit yang dihimpun Augie Fantinus dengan tagar #BasketIndonesiaLawanCovid19. Augie adalah seorang selebritas sekaligus pecinta bola basket. Ia sempat menjadi manajer timnas putri Indonesia di SEA Games 2015. Saat itu, Augie berjasa membawa pulang medali perak pertama sejak 1990-an silam.
Di ranah NBA, lebih mewah lagi gerakannya. Dengan sumber daya yang mereka punya, donasinya bukan soal Rp100—200 ribu. Namun, beratus-ratus ribu dolar.
Shams Charania, jurnalis The Athletic, mengabarkan bahwa Al Horford, senter Philadelphia 76ers, mendonasikan AS$500 ribu untuk tanah kelahirannya, Republik Dominika. Ia juga memanfaatkan sumber dayanya untuk membantu mereka yang berada di sebagian wilayah Amerika Serikat, seperti Gainesville, Atlanta, Boston, dan Philadelphia. Kebetulan Horford sempat tinggal dan bermain untuk klub di kota-kota itu.
Pemain NBA tidak selalu memberi bantuan dalam bentuk uang. Russell Westbrook, misalnya, lebih memilih menghimpun 650 komputer untuk anak-anak di Houston. Sebab, tidak semua anak-anak di sana memiliki komputer untuk belajar. Apalagi kelas-kelas tidak berjalan semestinya karena sekolah-sekolah ditutup. Westbrook menyumbangkan komputer itu kepada program kota bertajuk Comp-U-Dopt lewat yayasan Why Not? Foundation.
James Harden, rekan setim Westbrook di Houston Rockets, juga bergerak sendiri. Ia membantu 600 keluarga di Houston untuk bisa membeli kebutuhan pangan yang bisa digunakan selama delapan minggu. Harden ingin memastikan orang-orang di sekitarnya tidak kelaparan selama di rumah saja.
Bagi saya, nama-nama di atas adalah social justice warrior (SJW). Mereka aktivis yang berguna dalam praktik demokrasi. Seperti kata Abraham Lincoln, yang mendefinisikan demokrasi sebagai government of the people, by the people, for the people atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat bergerak untuk sesamanya.
Pada akhirnya, dengan gerakan-gerakan sosial seperti di atas, agenda oligarki merusak kata “social justice warrior” pun gagal. Masyarakat belakangan ini justru jadi aktivis dengan sendirinya. Mereka berbicara tentang keadilan sosial secara sadar atau maupun tidak.
Saat ini, kita tidak tahu Covid-19 akan berakhir kapan. Ini adalah pertarungan yang panjang dan melelahkan. Bukan hanya untuk garda terdepan, tetapi juga mereka yang berada di belakang. Saya berharap gerakan-gerakan sosial bertambah banyak. Sebab, kita membutuhkan lebih banyak orang-orang baik. Semoga dengan itu, kita bisa melewati semua ini dengan selamat, meski sudah babak belur dipukuli realitas.
Foto: Dok. Wendha Wijaya