Perbincangan melalui siaran langsung Instagram beberapa waktu lalu antara Dwyane Wade dan Carmelo Anthony terus memantik perbincangan. Dalam siaran tersebut, keduanya sempat menyinggung tentang Darko Milicic, pemain Serbia yang terpilih di urutan kedua NBA Draft 2003, satu angkatan dengan mereka. Melo (sapaan akrab Carmelo Anthony) sendiri terpilih di urutan ketiga sedangkan Wade dua peringkat di bawahnya.
Setelah LeBron James (pilihan pertama ) dan Chris Bosh (pilihan keempat) bergabung dengan Wade ke Miami Heat pada 2010, ketiganya berhasil menghasilkan dua cincin juara. Hal ini membuat Melo jadi satu-satunya nama di lima besar NBA Draft 2003 yang hingga kini tidak memiliki cincin juara. Ya, meski Milicic sudah tak lagi di NBA sejak 2013, ia berhasil memiliki satu cincin juara bersama Detroit Pistons, di musim pertamanya. Pistons sendiri adalah tim yang memilih Milicic ketimbang Melo di malam draft.
Selanjutnya, dalam perbincangan Melo dengan Wade, Melo sempat mengungkapkan bahwa mungkin saja ia sudah punya 2 – 3 cincin juara sekarang jika malam itu Pistons memilihnya. Ungkapan Melo tersebut lantas diamini oleh salah satu pemain kunci Pistons saat menjadi juara pada 2004, Chauncey Billups.
Billups, dalam sebuah wawancara terpisah yakin bahwa Pistons akan meraih tiga gelar juara jika memilih Melo kala itu. Namun, ucapan Billups tidak sejalan dengan pemikiran rekan setimnya kala itu, Ben Wallace. Berbincang dengan 120 Watts Podcast, Ben tak sependapat dengan Billups, bahkan ia merasa Pistons tidak mungkin juara jika Melo ada di tim kala itu.
“Jika kami memilih Melo, jujur saya tak berpikir kami bisa meraih satupun gelar juara, bahkan tidak di musim itu. Melo datang ke liga denga mental langsung ingin bermain. Hal itu berpotensi merusak chemistry tim yang sudah terbentuk dengan baik,” buka Ben.
“Sebaliknya, dengan memilih Darko (Milicic) dan ia datang lalu bilang bahwa ia tidak siap bermain di barisan utama, kami jadi lebih baik. Dengan dia bicara seperti itu dan menerima perannya sebagai pemain cadangan membuat kami mampu tumbuh dan membangun tim yang semakin kuat hingga akhirnya menjadi juara.”
“Satu lagi, jika kami memilih Melo, Tayshaun Prince tidak akan tumbuh sebagai pemain yang Anda semua kenal. Kami jadi juara kala itu dengan bantuan salah satu blok terbaik yang pernah saya lihat sepanjang masa (blok Prince kepada Reggie Miller melawan Pacers) dan ia juga bertahan dengan baik. Itu adalah karakter tim yang kami punya,” pungkasnya.
Pernyataan Billups dan Ben sama-sama masuk akalnya. Jika mundur dan berandai-andai, Melo adalah salah satu pemain menyerang terbaik sepanjang masa NBA dan ia sudah memiliki predikat itu sejak di kampus. Jika Pistons memilihnya dan menempatkannya sebagai pemain cadangan, maka barisan cadangan Pistons akan memiliki pencetak angka yang baik.
Pada skuat Pistons 2003-2004, memang tidak ada pemain bagus di barisan cadangan mereka. Jika harus memilih, mungkin Mehmet Okur dan Mike James adalah pilihan terbaik mereka. Itu pun, rataan poin keduanya jika digabung (18,6) tak lebih baik dari rataan poin Melo seorang diri (21,0).
Namun, Pistons meraih gelar juara tahun 2004 bukan karena kemampuan mereka mencetak angka. Kunci utama keberhasilan mereka adalah kolektivitas bertahan yang sangat luar biasa solid dan cukup membuat frustasi semua lawannya. Bertahan adalah kata yang tak pernah dekat dengan seorang Melo.
Oleh karena itu, selama kita berandai-andai, maka kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi saat Pistons memilih Melo kala itu. Kembali ke era sekarang, rasanya, keputusan kala itu sudah yang terbaik untuk semuanya. Pistons juara dan mereka akan selamanya dikenang sebagai tim yang juara dengan kemampuan bertahan mereka. Darko mendapatkan gelar juara dan sekarang tampak hidup tenang di Serbia. Sementara Melo, kini kembali beraksi di liga bersama Portland Trail Blazers. Masih ada peluang untuknya mencari cincin juara, tapi entah nantinya ia berhasil atau tidak, rasanya Melo tetap akan masuk jajaran legenda NBA. (DRMK)
Foto: David P Gilkey, Detroit Free Press