Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah mengabarkan kepada salah satu reporter Mainbasket tentang rencana mereka menunda musim kompetisi 2020. Pesan itu datang siang hari, tetapi pengumuman resminya baru muncul sore hari. Kami sabar menanti selama beberapa jam, sambil memantau terus perkembangan kabar pandemi Covid-19 yang disebabkan virus corona (SARS-CoV-2).

Beberapa hari sebelum IBL menunda kompetisi, saya sebenarnya berada dalam dilema. Melihat perkembangan Covid-19 di seluruh dunia, ingin rasanya ikut mendorong liga bola basket tertinggi di Indonesia untuk menunda musim. Apalagi kompetisi-kompetisi olahraga, termasuk NBA dan FIBA, melakukan itu.

Di sisi lain, saya juga tidak mau kehilangan tontonan. Apalagi penundaan IBL berimbas pada pemasukan saya sebagai seorang karyawan, yang mengandalkan perjalanan dinas untuk mendulang keuntungan. Namun, pelajaran tentang elemen-elemen jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosenstiel membuat saya mesti menggunakan hati nurani. Meminjam kutipan salah satu kontributor Mainbasket, Abdul Jabbar Al Hayyan, pada akhirnya, ini bukan lagi tentang pertandingan semata.

This is more than just a game,” katanya.

Langkah IBL menunda musim tentu jadi sebuah langkah yang melegakan saat itu. Saya sangat mengapresiasi keputusan mereka untuk bertindak cepat. Padahal, pada saat yang bersamaan, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) masih menggelar rapat bersama induk-induk organisasi olahraga se-Indonesia, termasuk Perbasi dan IBL. Imbauan mereka tentang menunda gelaran yang melibatkan banyak orang belum final. IBL sudah lebih dulu melangkah demi menyelamatkan pemain, pelatih, staf, sekaligus penggemar.

Keputusan IBL mendapat sambutan baik. Namun, ada pula yang menganggapnya latah alias ikut-ikutan. Sebab, sebelumnya, selain NBA dan FIBA, kompetisi-kompetisi olahraga besar seperti Serie A Italia (sepak bola) menunda musim karena Covid-19. Sementara Liga 1 (sepak bola) dan Proliga (bola voli) di Indonesia belum menunda kompetisi. Liga 1 baru menunda kompetisi setelah pekan ketiga. Persib Bandung, klub kebanggaan saya, saja masih sempat menang dari PSS Sleman 2-1.

Saya justru bersyukur seandainya IBL memang ikut-ikutan. Dengan begitu, ada banyak orang yang terselamatkan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi apabila IBL tetap menggelar pertandingan Seri VII Malang waktu itu. Penonton-penonton yang datang ke lapangan bisa saja membawa virus dalam tubuh mereka. Kemudian, menyebarkannya ke lebih banyak orang. Pemain, pelatih, dan staf juga bisa terancam. Seperti apa yang terjadi pada Rudy Gobert, Donovan Mitchell, dan Christian Wood di NBA.

Oleh karena itulah, belakangan ini muncul tren yang disebut social distancing. Istilah itu pada dasarnya digunakan sebagai upaya seseorang menjauhi keramaian atau massa. Dalam bahasa yang lebih kompleks, social distancing merupakan serangkaian tindakan pengendalian yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyakit menular.

Tujuan utama social distancing adalah meminimalisasi kontak antara orang yang terjangkit dan tidak terjangkit virus, sehingga menurunkan tingkat penularan, morbiditas, dan kematian. Sebab, ahli-ahli kesehatan mengatakan bahwa Covid-19 bagaikan efek domino. Menyebar lewat droplet yang berasal dari bersin (sneezing) dan batuk (coughing).

Pada masa krisis seperti ini, abai tampaknya bukanlah pilihan. Sebab, itu akan merugikan banyak orang. Cina, tempat di mana virus ini berasal, dulunya begitu. Mereka abai pada penemuan ahli sehingga lamban dalam mengangani penyakit. Saat sadar, Covid-19 telanjur menular ke mana-mana. Istilah yang mengatakan bahwa bencana dimulai dari pemerintah yang mengabaikan ilmuwan pun bukan lagi kata-kata semata.

Italia juga tidak jauh berbeda. Dua minggu sebelum negara ditutup (lockdown), orang-orang masih berkeliaran. Turis ada di kota-kota wisata. Menikmati hari-hari mereka sebelum berubah menjadi kekacauan. Padahal imbauan sudah ada. Kini, Italia menjadi negara kedua—setelah Cina—dengan jumlah terjangkit Covid-19 terbanyak di dunia.

Danilo Gallinari, forwarda Oklahoma City Thunder di NBA, yang sekaligus warga negara Italia, kemudian ingin Amerika Serikat belajar dari pengalaman negaranya. Ia mengatakan bahwa masyarakat Negeri Spageti tidak begitu serius merespon pandemi. Sampai akhirnya semua orang harus menanggung kesulitan bersama-sama, termasuk dirinya sendiri.

“Ini salah warga Italia, dan saya juga merasa bersalah, karena saya orang Italia meski tinggal di Amerika Serikat,” kata Gallinari kepada New York Times dalam sebuah wawancara. “Kami melakukan kesalahan karena tidak menyikapi masalah ini dengan serius di Italia. Sekarang kami jadi negara kedua atau ketiga yang paling banyak terjangkit virus. Saya harap kita tidak melakukan kesalahan yang sama di Amerika Serikat.”

Secara umum, pesan Gallinari bisa juga ditujukan kepada negara lain, termasuk Indonesia. Kita tidak bisa santai-santai saja merespon Covid-19. Meski tingkat kematiannya rendah dibanding SARS dan MERS, penyakit tetaplah penyakit. Menurut data, per 18 Maret pukul 00.00 WIB, sudah ada 7896 orang meninggal di seluruh dunia. Itu bukan sekadar angka-angka. Itu nyawa manusia.

Oleh karena itu, harus ada mata rantai yang diputus. Penyebarannya tidak boleh semakin meluas. Saat ini, orang yang terjangkit Covid-19 hampir mencapai 195 ribu. Dengan jumlah sembuh menembus 80 ribu. 

WHO bahkan telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Dalam persoalan penyakit yang meluas secara global, pertanyaannya tidak bisa lagi berkutat pada seberapa mematikannya sebuah virus. Namun, siapkah sistem kesehatan yang kita punya. Apalagi dengan respon sekaligus gaya komunikasi pemerintah Indonesia yang membuat jengah belakangan ini.

Seandainya jumlah orang terjangkit Covid-19 semakin meningkat, apakah Indonesia punya fasilitas yang memadai? Cina berhasil mengatasinya pelan-pelan karena mereka punya sumber daya, bahkan mulai membantu negara-negara terjangkit virus seperti Italia. Korea Selatan, yang sebelumnya merupakan negara terjangkit kedua, lekas bangkit karena mereka juga punya sumber daya. Yang paling penting, pemerintah mereka terbuka. Sebab, informasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada saat krisis seperti ini. 

Lah, Indonesia? Kalau bukan dianjurkan minum susu kuda liar, ya, diminta enjoy aja. Begitu kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Lagipula, akibat gaya komunikasi pemerintah, masyarakat Indonesia jadi tidak punya kesadaran akan krisis yang memadai—alih-alih membangun lapisan yang tidak mudah panik. Lihat saja orang-orang yang memadati Puncak di Bogor dan Pantai Carita di Pandeglang saat sekolah, kantor, dan beberapa tempat sengaja diliburkan karena upaya minimalisasi Covid-19. Kalau bukan rendahnya kesadaran akan krisis, lalu apa namanya? Padahal, mereka diliburkan atau setidaknya diimbau untuk bekerja dari rumah (work from home) agar melakukan social distancing. Seperti ditulis berulang-ulang pada tulisan ini, menjauhi keramaian berguna untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19.

Di NBA saja Chris Boucher yang melanggar protokol karantina dikritik habis-habisan. Padahal ia hanya pergi belanja untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Forwarda Toronto Raptors itu juga sebelumnya dinyatakan negatif Covid-19. Namun, masih harus mengarantina diri selama 14 hari untuk berjaga-jaga. Ia pun langsung meminta maaf akan kecerobohan yang berpotensi membahayakan orang lain.

Gobert, pemain NBA pertama yang dinyatakan positif Covid-19, sempat bercanda menyentuh mikrofon dan alat rekam media di ruang konferensi pers. Bahkan, menurut laporan Adrian Wojnarowski, ESPN, yang bersumber dari salah satu rekan Gobert di Utah Jazz, sang senter melakukan tindakan ceroboh dengan menyentuh rekan setim berikut barang-barang mereka di ruang ganti. Akibatnya, ia menaruh kekhawatiran pada timnya. Mitchell, bintang muda Jazz, bahkan harus terjangkit virus yang sama.

Selain dua pemain Jazz, Wood ikut terjangkit Covid-19 setelah mengalami gejala flu. Sebelumnya, senter-forwarda Detroit Pistons itu sempat berhadapan dengan Gobert dalam sebuah pertandingan. Kasus tiga pemain NBA ini seharusnya semakin menyadarkan kita bahwa menjaga jarak dengan orang lain itu penting.

Meski begitu, kita juga tidak boleh panik. Ahli-ahli epidemiologi mengatakan bahwa aspek kesiapsiagaan adalah ketenangan. Maka, kita tidak perlu memborong kebutuhan pokok seperti dunia akan kiamat besok. Urusan kiamat biarlah Tuhan yang menentukan. Manusia ikhtiar (usaha) dan tawakal (doa) saja.

Nah, bentuk ikhtiar dan tawakal itu ditunjukkan IBL saat menunda musim. Mereka cepat tanggap akan masalah. Meski harus mengorbankan banyak hal, setidaknya IBL sudah melakukan hal benar. Sebab, salah sedikit saja bisa panjang urusannya.

Foto: Hari Purwanto

Komentar