Gerak Rudy Gobert di akhir sesi konferensi pers itu membuat saya terhenyak, ia menyentuh semua microphone dan perekam yang ada di atas meja. Mungkin ia hanya bercanda, tak ada niat buruk, hanya sikap satir atas wacana NBA tentang pengosongan arena dalam rangka mencegah penularan COVID-19.

Mungkin, karena saya bekerja pada situasi yang tiap hari bersentuhan dengan penyakit, mungkin saya saja yang terlalu sensitif. Akan tetapi, gerakan beliau saat itu pada konteks situasi saat ini sangat mengganggu saya. Apalagi kemudian Gobert didiagnosis menderita COVID-19, saya cuma berharap para wartawan pemilik perekam yang disentuh itu tetap sehat.

Ketika NBA memutuskan untuk menghentikan seluruh pertandingan saat ini (dan entah sampai kapan), saya lalu teringat dengan kepulangan dini BBM CLS Knights Indonesia sebagai akibat larangan pemerintah Thailand terhadap segala bentuk keramaian. Saya juga teringat dengan pemindahan lokasi seri IBL Jakarta sebagai akibat larangan yang sama dari pemerintah DKI Jakarta. Dari kejadian-kejadian di atas, saya belum melihat langkah nyata dari penyelenggara IBL dalam menyikapi penyakit pandemik ini. Maka mohon izin saya menyampaikan sedikit uneg-uneg saya yang saya harapkan untuk dijadikan pertimbangan.

Mengapa COVID-19 terdengar sangat menakutkan? Padahal data sejauh ini menyatakan 80-95% penderitanya hanya sakit ringan dan sembuh, yang sakit parah hingga memerlukan perawatan intensif sebesar 5%.

Yang pertama, memang kebanyakan oknum media membesar-besarkan penyakit ini hingga melebihi proporsinya, maka para pembaca/penonton oknum media tersebut menjadi sangat takut. Yang kedua, memang penyakit ini adalah mimpi buruk seorang tenaga kesehatan. COVID-19 sangat mudah menular, maka walaupun keparahannya tak sebesar SARS tahun 2003, tapi dengan semakin banyaknya orang yang terjangkit maka semakin banyak pula yang butuh perawatan intensif.

Ya "hanya" 5% yang jatuh dalam sakit yang berat, tapi seorang penderita COVID-19 bisa menulari 2-5 orang yang bersentuhan dengan droplet darinya, orang yang ditulari pun akan bermultiplikasi bila ia tidak mengurung diri setelahnya. Maka langkah yang logis adalah mencegah segala bentuk kontak yang memungkinkan penularan itu terjadi agar virus ini padam dengan sendirinya, salah satunya adalah dengan meniadakan keramaian. Siapa yang berani menjamin di antara 2000-5000 penonton semuanya bebas dari COVID-19? Karena pengukuran suhu saja tidak cukup untuk menyatakan seseorang terbebas dari dugaan.

Lalu solusinya bagaimana menyikapi masalah ini? Ada beberapa hal yang terpikirkan oleh saya, namun semoga ada solusi yang lebih baik. Yang pertama, bertindak ekstrim seperti halnya yang dilakukan di seluruh dunia (termasuk Filipina), menghentikan musim kompetisi tahun ini. Yang kedua, mengadakan pemeriksaan ke seluruh elemen tim-tim IBL dan elemen penyelenggara IBL, lalu apabila benar terbukti tidak terjangkit COVID-19 maka adakan pertandingan tanpa penonton di arena. Pada akhirnya, this is more than just a game.

Foto: Hariyanto

 

 

Komentar