Setelah menyaksikan seri pertama IBL di Jakarta dan pulang dengan perasaan campur aduk, kini saya bertandang ke Surabaya demi mengemban tugas, dengan harapan dapat memetik asa yang sudah saya pupuk sejak hari itu; bahwa IBL tidak seburuk yang saya bayangkan.
Pertandingan pertama yang saya saksikan pada Seri VI Surabaya adalah pertandingan antara Pelita Jaya Bakrie dengan Satya Wacana Salatiga, di mana tim asal Jakarta tersebut menang 72–67 walau mendapat perlawanan sengit. Pelita Jaya dipimpin oleh Dior Lowhorn yang mencetak 29 poin dan 16 rebound. Angka ini hanya didekati oleh Adhi Pratama dan Reggie Mononimbar yang masing-masing mencetak 12 dan 11 poin.
Sementara Satya Wacana dimotori oleh Christoper Sterling yang mencetak 23 poin dan 6 rebound, Montrell Wiliams dobel-dobel 21 poin dan 10 rebound, dan Daniel Hurtt 12 poin dan 8 rebound. Ada poin menarik yang saya perhatikan dari pertandingan ini. Pemain Satya Wacana lainnya, yang memang semuanya berkebangsaan Indonesia, mencetak total 10 poin saja. Dominasi pemain asing sangat terasa pada pertandingan ini.
Mari kita lihat pertandingan kedua pada hari itu, di mana Satria Muda Pertamina bertemu dengan Amartha Hangtuah. Satria Muda menang tipis 83–79 dengan Elijah Foster mencetak 31 poin dan 13 rebound. Garda utama andalan, Gary Jacobs Jr., juga menorehkan 26 poin dan 9 rebound. Dari sisi Hangtuah, ada Emilio Parks dengan 33 poin dan 9 rebound dan Laquavius Cotton dengan 19 poin dan 9 rebound.
Pencapaian pemain Indonesia pada pertandingan ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Ada Stevan Neno dari Hangtuah yang mencetak 14 poin pada gim tersebut. Rivaldo Pangesthio dari Satria Muda pun memiliki torehan yang cukup baik, di mana ia mencetak 9 poin lewat 4 tembakan masuk dari 5 percobaan, dan net rating yang paling tinggi kedua dalam pertandingan tersebut dengan nilai +10, di bawah Foster yang memiliki nilai +11.
Satu lagi pertandingan yang menurut saya menarik adalah perhelatan dramatis pada hari ketiga Seri VI antara NSH Jakarta yang menang tipis 68–67, setelah sempat tertinggal 17 poin, melawan Bank BPD DIY Bima Perkasa. Penampilan luar biasa Mike Glover menjadi sorotan utama di mana ia mencetak angka yang fantastis, 42 poin dan 16 rebound.
Namun, ironisnya, pemain berkebangsaan Indonesia dari NSH Jakarta hampir tidak mencetak satu poin pun di paruh pertama pertandingan, sampai akhirnya Andre Rorimpandey mencetak tripoin pertamanya satu setengah menit menjelang kuarter kedua berakhir.
Sepanjang pertandingan pun, tak jarang terdengar celetukan bernada ejekan rekan-rekan saya yang hadir menyaksikan pertandingan. “Ah, ini mah Mike Glover main sendiri!” Pada pertandingan NSH Jakarta melawan Bank BPD DIY Bima Perkasa, dominasi Glover di bawah ring memang sangat terasa.
Glover mungkin merupakan pemain dengan badan terbesar pada pertandingan itu. Badannya gempal, setiap gerakannya terlihat lambat tetapi sangat kuat. Acap kali saya menangkap Glover lari-lari kecil pada saat transisi dan menyerahkan pertahanan kepada rekan tim lainnya yang malah sebaliknya, lari secepat mungkin agar mereka bisa berada dalam posisi bertahan terbaik. “Jangankan di NBA, di Euro League pun belum tentu sukses Glover ini,” gumam saya dalam hati.
Namun, torehan 42 poin itulah yang menjadi kunci kemenangan NSH. Semua terasa mudah. Jika shot clock sudah memasuki 10 detik terakhir dan NSH belum bisa mendapatkan celah untuk menembak, cukup oper bola ke Glover dan dia yang akan selesaikan. Ia akan menabrak dua, bahkan tiga lawan yang menjaganya dengan gerakan langkah yang kuat, lompat, dan kemudian menembak bola dengan sentuhan yang ringan atau langsung ditombok. Seisi DBL Arena pun bergemuruh ketika momen itu terjadi, karena mereka tahu apa yang akan terjadi dan itulah yang diharapkan. Pertandingan bola basket penuh aksi.
Ini adalah fenomena yang seharusnya kita sayangkan. Terdapat kesenjangan kemampuan yang cukup tinggi antara pemain asing dengan pemain lokal. Memenangkan pertandingan akan terasa jauh lebih mudah ketika sebuah tim memiliki pemain asing yang cukup kuat untuk beradu badan di bawah ring, cukup gesit untuk menggocek pemain yang menjaganya, atau cukup tinggi dalam melompat untuk mendapatkan bola rebound. Membuat IBL menjadi liga yang bulesentris dan tidak menarik.
Namun, bukan berarti pihak IBL sendiri tidak melakukan antisipasi atas kekecewaan ini. Mereka sudah membatasi pemain asing yang bertanding di liga dengan hanya memperbolehkan tiga pemain asing untuk setiap tim dengan maksimal tinggi 200 sentimeter. Selama pertandingan berlangsung, klub juga hanya diperbolehkan untuk memainkan dua pemain asing di lapangan secara bersamaan. Peraturan ini baru berlaku pada perhelatan IBL musim ini.
Tetapi saya tidak bisa serta-merta menyalahkan IBL dan kebijakannya dalam perihal ini, karena jika kita melihat pertandingan secara langsung, secara skema pun tidak mendukung pemain lokal untuk menunjukkan performa terbaiknya. Dari lima pertandingan yang saya saksikan, terdapat beberapa skema di mana pelatih terkesan menginstruksikan pemain untuk memberikan bola kepada pemain terbaik mereka—yang notabene pemain asing—untuk menyelesaikan skema serangan.
Terdapat pula beberapa kesempatan yang sebenarnya pemain lokal memiliki kesempatan untuk mencetak skor, tetapi terlihat bingung dan tidak percaya diri sehingga akhirnya memutuskan untuk menyerahkan bola kepada pemain asing. Terbukanya jalur untuk penetrasi ke ring, kesempatan terbuka lebar menembak di jarak menengah, dan celah untuk memotong yang tidak dieksploitasi dengan baik juga menjadi alasan mengapa beberapa pemain sulit mencetak angka dari peluang terbuka.
Di tengah keluh kesah ini, sebenarnya masih ada secercah harapan atas kualitas pemain dalam negeri. Pertandingan sengit Hangtuah melawan Prawira Bandung menjadi testamen bahwa talenta lokal belum habis. Abraham Wenas menjadi kondektur serangan Hangutuah, di mana ia menorehkan 13 poin dan 3 asis. Pergerakan luar bola Wenas pun terlihat dinamis dengan mencetak beberapa poin dari gerakan memotong dan tampil baik dalam bertahan dengan mendapatkan dua steal. Diftha Pratama dari Prawira mencetak 17 poin, yang beberapa di antaranya datang dari 5 tripoin yang ia cetak dari 6 kesempatan. Garda utama Arif Hidayat pun unjuk gigi dengan 13 poin dan 8 asis.
Walaupun supremasi pemain asing masih terasa kenal dalam skena basket dalam negeri, pihak penyelenggara sudah melakukan yang terbaik melalui regulasi yang diberlakukan. Diperlukan lebih dari sekadar peraturan untuk menghilangkan kesenjangan talenta yang saat ini cukup kentara. Pelatihan skema yang berfokus pada pergerakan luar bola, mengandalkan situasi mismatch pada pemain yang lebih besar yang lambat, dan latihan dalam penyelesaian bola dari berbagai situasi, bisa jadi solusi untuk meningkatkan kemampuan pemain lokal yang kadang terlihat seperti menembak batu bata (shooting bricks).
Foto: Hari Purwanto