Yuni Anggraeni, senter Sahabat Semarang, sudah mengabdi kepada tim selama belasan tahun. Ia telah melewati berbagai hal, baik dalam suka maupun duka. Salah satunya ketika melewati masa cedera yang membuat kariernya sempat tersendat.

Untungnya, cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) pada lutut kanannya tidak membuatnya putus asa. Yuni berhasil bangkit dan terus berusaha membaik. Apalagi Sahabat juga menemaninya selama proses penyembuhan.

Yuni sendiri telah kembali ke lapangan sejak tahun lalu. Kini, ia bahkan bisa menjadi ujung tombak Sahabat kembali. Mereka ingin meraih sukses bersama-sama di Piala Srikandi 2020.

Pada suatu kesempatan, Yuni kemudian membagi pengalamannya bersama Mainbasket di Seri II Jakarta. Kami berbincang-bincang tentang Sahabat, tim nasional Indonesia, dan cederanya. Perbincangan tidak lama, tetapi cukup untuk menguak apa yang dirasakan Yuni belakangan ini.

Sudah dua seri. Seperti apa penampilan Sahabat?

Pada seri pertama, kami kurang maksimal. Pada seri kedua, mulai ada peningkatan. Kami akan memperbaiki semuanya dengan senggang waktu yang ada. Masih ada dua seri lagi.

Selain kamu, ada Dyah Lestari. Kalian bagaikan twin tower Sahabat. Seperti apa rasanya bermain dengan Tari?

Senang, sih. Maksudnya, kami punya chemisty yang cukup bagus. Saat saya membutuhkan orang yang bisa menangkap bola saya, Tari orangnya. Sense of ball-nya dia bagus.

Sahabat punya banyak pemain muda. Sebagai pemain senior, ada kesulitan dalam membimbing mereka?

Kalau kesulitan pasti ada. Apalagi saya senior sendirian. Buat bantu mereka, tuh, agak susah. Cuma kami selalu berusaha untuk back up satu sama lain. Buat cari jalan tengah dari segala masalahnya.

Sekarang ada Mas Deny Sartika di Sahabat. Seperti apa perannya di tim ini?

Cukup membantu. Dia, kan, dulunya pemain. Jadi, ada sudut pandang lain dari Mas Deny. Dia dulu pemain, sekarang jadi contoh.

Yuni punya pengalaman yang banyak bersama Sahabat. Sudah berapa lama kira-kira?

Jalan 11 tahun.

Apa yang membuat Yuni loyal?

Tidak tahu pastinya. Sempat ada tawaran-tawaran dari tim lain sebelum cedera. Setelah cedera juga masih ada. Cuma saya merasa akan lebih berkesan kalau saya bisa bermain sama Sahabat sampai akhir.

Kalau saya pindah ke tim lain, secara materi, mungkin bisa lebih baik. Namun, rasanya akan lebih membanggakan kalau juara bareng Sahabat.

Sahabat ini isinya pemain-pemain binaan. Dari kecil naik, naik, naik sampai ke tim utama. Dari kecil bareng-bareng.

Targetnya juara, ya?

Aamiin. Target selalu juara. Tinggal bagaimana kami saja mewujudkannya.

O, ya, soal cedera, waktu itu cedera ACL?

Hmm, ya ACL. Di lutut kanan.

Waktu itu absen berapa lama?

Sekitar setahun. Waktu itu ada kuliah juga. Harus bolak-balik Jakarta-Semarang. Soalnya terapi di Jakarta, kuliah di Semarang.

Sekarang juga lagi KKN. Harus pergi keluar kota. Jadi, agak terabaikan kariernya.

Apa yang membuat kamu bangkit? Ada, loh, beberapa pemain yang performanya justru turun setelah cedera?

Karena kemauan. Saya mau saja. Saya mau bangkit.

Orang bilang, dan saya juga lihat, beberapa orang memang menurun setelah ACL. Tapi, ada juga yang setelah cedera malah melejit. Saya lihat itu. Saya mau seperti itu. Termotivasi.

Akibat ACL absen Piala Srikandi satu musim, ya?

Iya, skip satu tahun. Waktu itu Srikandi Cup 2017 kalau tidak salah.

Lupa, deh. Tahun lalu main. Itu setelah ACL.

Sempat iri dengan pemain-pemain yang saat itu main sementara kamu tidak bisa?

Ada, sih, tapi saya juga berusaha untuk terus berkontribusi. Saya share berbagai hal dari luar lapangan. Saya lakukan pendekatan interpersonal. Biar tahu maunya anak-anak seperti apa. Bahkan, kalau ada apa—apa, dari Coach biasanya ke saya dulu, baru ke anak-anak.

Kenapa?

Selain sebagai senior di lapangan, saya juga jadi kakak dari mereka. Mereka juga sering ngomong ke saya dulu, baru ke Coach (Xaverius) Wiwid.

Penyambung lidah, ya?

Semacam itu. Perantaralah. Mereka yang kecil-kecil, tuh, tidak berani speak up. Sering lewat saya dulu, baru ke Coach.

Tahun lalu, setelah ACL, akhirnya bisa kembali ke timnas. Seperti apa rasanya?

Senang saja. Setelah ACL, sebenarnya saya cuma ingin main lagi. Tidak berharap bermain di timnas. Waktu seleksi juga tidak begitu memikirkan untuk masuk tim. “Kayaknya tidak masuk, nih.” Sudah tercoret satu, satu, satu. Ternyata tidak tercoret juga. Masuk.

Dilatih Lori Chizik dari Kanada. Apa pendapatmu?

Coach Lori dari Kanada, tapi tinggalnya di Australia.

Sebenarnya bukan sekali ini dilatih pelatih asing. Dulu pernah tahun 2011. Waktu itu pelatihnya laki-laki, sekarang perempuan. Rasanya lebih keibuan. Pendekatannya beda sama yang laki-laki. Lebih banyak sharing personal juga.

Kemarin dapat (medali) perunggu di SEA Games 2018. Sebenarnya bisa lebih tidak, sih?

Sebenarnya bisa lebih. Cuma kami kecolongan di gim pertama.

Dua tim, Thailand sama Filipina, waktu itu pakai naturalisasi. Kami tidak sama sekali. Pelatihnya saja yang asing, tapi pemainnya lokal. Kami sama Malaysia itu pure.

Kamu sudah ikut beberapa SEA Games. Apa yang paling berkesan? Tahun 2015?

Semuanya berkesan. Waktu 2015 itu masih junior, masih banyak seniornya, jadi lebih banyak belajar. Bisa dapat perak pertama kali. Senang.

Masuk 2017, sudah kena ACL, jadi begitu ikut lagi tahun kemarin berkesan sekali. Sering skip latihan karena ada hal lain. Sampai seminggu, ‘gitu. Makanya, setiap event punya kesannya masing-masing.

Oke, kalau begitu, ada harapan apa ke depannya?

Buat siapa?

Untuk dirimu sendiri dan untuk Sahabat.  

Kalau buat saya pribadi, saya berharap bisa membawa Sahabat jadi juara Srikandi. Buat Sahabat, semoga bisa lebih baik. Semoga tetap ada. Semoga tetap bisa membina bibit-bibit yang unggul seperti selama ini.

Semoga bisa nyusul kamu ke timnas?

Nah, iya itu juga! Aamiin.

Baik. Itu sudah pertanyaan terakhir. Terima kasih sudah mau wawancara dengan Mainbasket.

Sama-sama. Terima kasih juga.

Foto: Achmad Rohman Ramadhan

Komentar