Nama saya Nico Donnda, saya menulis di sini karena dipaksa sama beberapa teman untuk membahas rubrik Bolaharam Mainbasket yang judulnya“Bolaharam: Memahami Hal yang Lebih Penting daripada Sekadar Tinggi Badan.”
Sebelum memulai, saya bukanlah seorang penulis, saya belum terlatih sebagai penulis, dan semua tulisan di sini murni hasil self observation tanpa mengutip referensi dari manapun. Maafkan juga nanti jika ada istilah yang kurang familiar karena memang mungkin saya kutip bukan dari istilah-istilah basket, mungkin ya.
Saya berkarir sebagai pemain profesional selama 15 tahun (mencoba sedikit mengintimidasi latar belakang penulis yang lumayan seram di paragraf pertama itu). Selama 15 tahun main basket saya tidak pernah juara sama sekali. Dari sana saya dapat banyak ilmu terutama tentang indikator-indikator yang membuat tim gagal juara.
Pada paragraf kedua artikel “Bolaharam: Memahami Hal yang Lebih Penting daripada Sekadar Tinggi Badan,” Saya tidak punya sanggahan tentang isi tulisan tersebut, bahkan saya setuju, sangat setuju. Paradigma basket Indonesia yang harus berubah, pola pikir kuno yang sudah tidak signifikan lagi harus dibuang, paling tidak setelah Shaquille O’neal pensiun.
Masuk ke paragraf ketiga, saya juga setuju, sangat-sangat setuju. Penulis memulai argumennya dari hal ini dan kalau boleh saya ganti bahasanya biar lebih gampang dicerna jadi seperti ini: "Pemain dengan tinggi badan lebih dari 190 sentimeter berusia 24-30 tahun ciptaan pelatih-pelatih Indonesia tidak akan menang lawan tinggi rata-rata 185 sentimeter atlet amatir (asumsi saya 17-22 tahun karena mereka masih menggunakan garis tripoin terpendek) ciptaan pelatih-pelatih Amerika Serikat."
Terus terang, saya sekali lagi setuju dengan kesimpulan penulis. Setujunya saya disebabkan saya pernah latih tanding ke Filipina lawan pemain-pemain yang sedang audisi masuk ke La Salle University. Ya, benar sekali, mereka semua pemain AUDISI (cetak tebal dan kapital!) yang mana baru lulus SMA (sekitar 17-18 tahun umurnya) plus beberapa freshman (pemain tahun pertama) mereka. Lawan mereka kita tidak bisa menang lebih dari lima poin kalau saya tidak salah ingat. Itu baru level Filipina.
Namun, yang sedikit saya ingin sanggah adalah judul yang memukau itu harus diawali dengan argumen yang tidak cukup seru menurut saya. Judul yang terkesan global itu harus dimulai dengan argumen yang punya indikator terlalu lokal. Memahami keterbelakangan metode pelatihan lokal kita yang memang sangat kurang ini tidak membuat argumen judul di atas jadi kuat. Sekali lagi, bukan saya tidak setuju, cuma saya butuh indikator yang lebih kuat saja.
Jadi, agar terlihat keren dan tidak cuma menyanggah, saya mau coba membantu memperkuat judul artikel ini saja. Ada kesan yang tertinggal jika membaca tulisan itu seolah kita tidak butuh pemain tinggi, seolah dengan rata-rata tinggi badan 187 sentimeter kita sudah bisa menggebrak dunia.
Permasalahan tinggi badan tadi kalau boleh saya geser setdikit plotnya bisa jadi seperti: "Pemain dengan rata-rata tinggi badan 185 sentimeter ciptaan pelatih-pelatih Amerika Serikat melawan pemain dengan rata-rata tinggi lebih dari 190 sentimeter ciptaan pelatih-pelatih Amerika Serikat juga, siapa yang akan menang? Jika sudah apple to apple seperti ini kita jadi terlatih juga untuk mencari indikator apa saja yang akhirnya menjadi pembeda."
Ngomong-ngomong, tinggi badan saya 186 sentimeter dan berat saya 87 kilogram waktu masih aktif bermain. Kalau boleh menyombongkan diri, saya dulu bisa bermain di empat posisi. Saat menyerang, saya menguasai peran point guard posisi yang selalu saya idam-idamkan dan pernah saya jalani di beberapa kesempatan. Saya juga bermain sebagai shooting guard (waktu mendekati masa pensiun), small forward, posisi yang sedang menjadi tren kala itu dengan tinggi badan yang saya miliki, dan terakhir power forward saya mainkan kebanyakan saat bertahan. Saya pribadi selalu menganggap diri saya sebagai false four.
Skillset (paket ketangkasan) ini saya kembangkan mengacu kepada bola basket Amerika Serikat yang mana pemain dengan tinggi 186 sentimeter harus bermain sebagai point guard. Saat itu, saya sempat membayangkan seandainya saya punya 11 rekan satu tim yang memiliki skillset serupa dengan saya, saya yakin saya bisa juara Kobatama kala itu
Saat kita bahas tinggi badan, beberapa orang awam mungkin cuma bahas jarak antara kepala dan telapak kaki. Akan tetapi, ternyata Tuhan punya mempunyai standar penciptaan tinggi yang lebih dari itu. Tuhan juga memberikan lebar badan yang berlebih dan wingspan (bentang tangan) yang berlebih. Paling tidak itu yang kita lihat dari orang yang tinggi badannya berlebih.
Khayalan 11 rekan setim saya tersebut ternyata cuma terbukti di level nasional saja. Pada 2009 (seingat saya) SEABA di Medan saya harus mengejar James Yap (186 sentimeter) “berkeliling lapangan”. James dengan cerdas mengeksekusi play untuk dirinya dengan memanfaatkan tembok (screen) yang baik dari Mick Pennisi (211 sentimeter).
Tinggi badan tidak penting? Logika dasar, James Yap tidak akan punya persentase sebaik itu kalau tangan saya bisa dekat ke wajahnya untuk mengganggu tembakan-tembakannya. Sebaliknya, saya bisa mengurangi persentase tembakan Pennisi di tripoin jika yang menjadi tembok cuma setinggi James Yap. Pennisi ini adalah senter yang terkenal juga memiliki akurasi tripoin yang baik.
Zaman sudah berubah, era bigman sudah dikandaskan oleh Michael Jordan, era shooting guard perimeter ala Jordan lalu dikandaskan oleh shooting guard outside macam Stephen Curry.
Kebanyakan senter di NBA sekarang dibayar mahal hanya untuk screen dan rebound saja. Finishing lewat post up terlalu makan waktu, menghabiskan badan, dan terlalu monoton. Seperti salah satu tim IBL tahun lalu yang terlalu menggantungkan “hidup dan mati” mereka pada permainan pos dan akhirnya kalah dengan tim yang mengandalkan pergerakan bola dinamis era sekarang.
Di sisi lain, saya rasa tidak semudah itu juga kita mengambil contoh Ja Morant yang dipilih lebih dulu dibanding RJ Barret. Menurut saya, masih banyak alasan dari manejemen Memphis Grizzlies mengenai hal itu yang berdampak dengan kebutuhan tim. Mungkin saja Morant dipilih karena Grizzlies sudah melepas Mike Conley ke Utah Jazz.
Pemain tinggi penting? Penting, tapi...
Tergantung bagaimana IQ (kecerdasan bermain) basketnya, bagaimana cover ground-nya, kemampuan dia berpindah tempat di lapangan, bagaimana kemampuan menangkap bolanya (sedikit yang tahu bahwa bigman dengan tangan yang besar belum tentu penangkap bola yang baik), bagaimana hands eye feet coordination pemain tersebut. Lalu bagaimana mentalnya? Apakah ia willing screener? Siap menerima kontak? Dan masih banyak tapi-tapi lainnya yang bisa dipertanyakan.
Era basket zaman sekarang dengan tren empat pemain kecil ini yang membuat permintaan atas bigman semakin berkurang. Wajar saja kalo beberapa bigman di kawasan Chicago banyak yang gagal masuk NBA, apa mereka bisa menjawab sedikit dari tapi-tapi yang saya bahas tadi?
Konsep supply and demand, akhirnya mereka akan menjadi pemain impor ke negara-negara yang kekurangan pemain tinggi, dan ternyata mereka juga masih PENTING meskipun bukan paling penting.
Coba kita sedikit mengkhayal lagi, kita melakukan naturalisasi 12 pemain Amerika Serikat yang diambil dari divisi-divisi besar NCAA seperti Pac10, Big East, Big Ten, ACC yang tingginya 185 semua, apa kita bisa berbicara banyak di dunia lawan tim yang punya tinggi badan bervariasi pada umumnya?
Kalo tinggi badan tidak penting, Jepang dan China tidak bakal sibuk mengembangkan rekayasa genetika seperti yang mereka lakukan sekarang ini.
Foto: FIBA