IBL Seri III Jakarta telah usai. Dua tim asal Ibukota, NSH dan Pelita Jaya Bakrie, meraih hasil maksimal dengan 100 persen kemenangan. Bank BPD DIY Bima Perkasa menampilkan dua wajah yang berbeda. Dalam tulisan ini, Penulis akan sekaligus memperkenalkan secara singkat tentang global offense berdasarkan kasus performa Katon Adjie Baskoro dan Cassiopeia Thomas Manuputty.
Performa Pelita Jaya dan NSH
Pelita Jaya menjadi tim terbaik di Seri III dengan selisih efisien bersih 17 angka. Efisiensi bertahan menjadi salah satu kekuatan mereka. Pelita Jaya rata-rata kemasukkan 0,91 angka pada setiap penguasaan lawan. Mereka berada di peringkat dua untuk efisiensi bertahan. Area dua angka menjadi kunci kukuhnya pertahanan Pelita Jaya dengan kemasukkan 35 dari total 84 upaya tembakan, terbaik di Seri III.
Meski memiliki eFG% tertinggi di Seri III, Pelita Jaya tidak menjadi tim dengan efisiensi serangan tertinggi. Tingginya persentase turnover menjadi penyebab belum maksimalnya efisiensi serangan Pelita Jaya. Mereka melakukan 36 kesalahan dari 185 kesempatan menghasilkan produktivitas angka. Bahkan, Pelita Jaya menjadi satu-satunya tim yang meraih kemenangan, tetapi memiliki persentase turnover yang lebih tinggi dibandingkan lawan.
NSH menjadi tim yang mengejutkan di Seri III. Mereka meraih dua kemenangan, termasuk melawan Indonesia Patriots. Meningkatnya performa efisiensi serangan menjadi kunci impresifnya performa NSH. Selain faktor eFG%, persentase turnover menjadi faktor pendukung performa efisiensi serangan.
Pada laga melawan Indonesia Patriots, NSH memiliki eFG% yang sama dengan Indonesia Patriots. Namun, rendahnya persentase turnover membuat efisiensi serangan NSH menjadi maksimal. NSH menghasilkan persentase turnover 9 persen, unggul 6 persen dibanding persentase turnover Indonesia Patriots. Secara keseluruhan, NSH berada di peringkat tiga dengan persentase turnover terendah.
Untuk Seri IV Yogyakarta, NSH harus memperbaiki performa bertahan. Mereka kemasukkan 1,09 angka pada setiap penguasaan lawan, tertinggi kedua di Seri III. Area yang menjadi kelemahan NSH adalah area dua angka. Berdasarkan upaya tembakan dua angka lawan, NSH berada di peringkat satu, tetapi efektivitas tembakan yang dimiliki lawan di atas rata-rata Seri III.
Dua Wajah Bima Perkasa
Bima Perkasa gagal meraih satu kemenangan di Seri III. Berdasarkan efisiensi serangan, mereka berada di peringkat kedua, di bawah NSH sebagai tim dengan peningkatan efisiensi serangan tertinggi dibanding Seri II Bandung. Bahkan pada Seri III, 3 dari 4 faktor kemenangan menunjukkan hasil yang impresif. Namun, ketika melihat performa sebaliknya akan terlihat masalah Bima Perkasa, yaitu rapuhnya pertahanan.
Bima Perkasa kesulitan menahan efektivitas tembakan lawan. Tim asal Yogyakarta itu kemasukkan 70 dari 150 upaya tembakan dengan efekivitas tembakan 47 persen, tertinggi di Seri III. Area dua angka menjadi titik lemah pertahanan Bima Perkasa. Lawan memiliki efektivitas tembakan 57 persen dari total 87 upaya tembakan.
Area lima kaki menjadi kontribusi tertinggi efektivitas tembakan lawan di area dua angka. Pada laga perdana Seri III, Indonesia Patriots menghasilkan efektivitas tembakan 57,5 persen dari 40 upaya tembakan. Pada laga selanjutnya, melawan Satya Wacana, performa bertahan Bima Perkasa di area lima kaki tidak berubah ke arah positif, bahkan menunjukkan peningkatan efektivitas tembakan. Satya Wacana memiliki efektivitas tembakan 61,3 persen dari 31 upaya tembakan.
Bima Perkasa harus mengubah performa efisiensi bertahan jika tidak ingin malu di hadapan pendukung sendiri di Seri 4.
Global Offense
Pada Senin, 20 Januari 2020, Penulis bertemu dengan salah satu rekan dari luar kota. Rekan Penulis bercerita tentang cara pandang mengukur performa pemain hanya berdasarkan produktivitas angka tanpa mempertimbangkan hal lain.
Menurut Penulis, cara pandang tersebut sudah menjadi de facto di sebagian kalangan pecinta olahraga bola basket atau dalam buku karangan Ben Taylor berjudul “Thinking Basketball” disebut dengan kondisi Scoring Blindness. Baik buruknya performa berdasarkan produktivitas angka. Namun, penulis memiliki cara pandang yang lain, yaitu pengukuran performa secara global dengan menggunakan efisiensi serangan.
Penulis beranggapan, ketika menilai performa pemain hanya berdasarkan produktivitas angka, tidak adil karena akan menghilangkan kesalahan-kesalahan yang bisa saja diperbuat dan tidak melihat kontribusi yang diberikan untuk rekan yang lainnya. Dengan menggunakan efisiensi serangan, maka penilaian pemain tidak hanya berdasarkan produktivitas angka. Namun, ditambahan asis dan offensive rebound. Hal tersebut dapat terlihat di Seri III ketika membandingkan performa Katon dan Cassiopeia.
Kedua pemain tersebut menampilkan performa yang impresif di Seri III. Mereka sama-sama menghasilkan produktivitas angka di atas rata-rata liga. Jika hanya melihat produktivitas angka, maka Cassiopeia jelas lebih baik dibandingkan Katon. Ia menghasilkan rata-rata 12,5 angka per laga, sedangkan Katon menghasilkan rata-rata 9,5 angka per laga.
Namun, ketika menambahkan satu variabel lagi dalam statistik lanjutan, yaitu efisiensi serangan, maka Penulis akan memilih Katon dibandingkan Cassiopeia (tanpa mengecilkan performanya). Katon memiliki efisiensi serangan yang lebih tinggi dibandingkan Cassiopeia karena peran Katon bukan hanya menjadi pengumpul angka bagi Pelita Jaya, tetapi juga memberikan dampak yang lebih terhadap tim. Hal tersebut diperlihatkan dalam statistik Points Produced dibandingkan dengan Points (untuk penjelasan Points Produced, silahkan dilihat di buku karangan Dean Oliver yang berjudul “Basketball On Paper”)
Penilaian secara global dalam hal serangan bukan sekedar produktivitas angka. Akan lebih adil jika menilai performa serangan pemain berdasarkan dampak yang diberikan terhadap tim dan diri sendiri.
Foto: Hari Purwanto