Artikel ini adalah lanjutan dari tiga artikel sebelumnya:

Bolaharam: Mempertanyakan Kembali Fungsi Pemain Tinggi di Dalam Tim

Bolaharam: Fungsi Pemain Tinggi di Dalam Tim

Bolaharam: Memahami Hal yang Lebih Penting daripada Sekadar Tinggi Badan

Untuk para pelatih dan siapapun yang katanya mencintai basket dan ingin berkontribusi memajukan kualitas basket di tempat Anda, sudahkah Anda mulai membaca atau berusaha mencari buku-buku yang penulis rekomendasikan sebelumnya? “Basketball on Paper” (Dean Oliver), “Basketball Analytics” (Stephen Shea), dan “SprawlBall” (Kirk Goldsberry)? Bila belum, maka segeralah mencoba mencari dan membacanya demi menambah wawasan Anda dalam mendukung kemajuan tim Anda.

Bila memang tidak berniat membacanya sama sekali, maka penulis hanya bisa mendoakan agar suatu hari Anda memiliki niat untuk membaca atau agar terjadi mukjizat yang dapat menambah wawasan tanpa perlu membaca. Padahal, kalau Anda membaca salah satunya saja, maka Anda akan mendapatkan bahan argumentasi yang sangat baik terhadap pernyataan penulis mengenai tinggi badan yang kurang penting. Namun, bahan argumentasi tersebut akan terbantah dengan sendirinya oleh buku yang tahun terbitnya lebih terkini dari daftar tersebut.

Oleh karena itu, penulis mengajak Anda semua yang tidak ingin semakin tertinggal dalam hal wawasan basket untuk membaca buku-buku tersebut. Niscaya, Anda semakin berpengetahuan, dapat mendukung kemajuan tim Anda dengan pengetahuan tersebut, dan diskusi pun akan jauh lebih menarik.

Pada artikel ini penulis akan membahas suatu hal paling dasar yang lebih penting daripada mempermasalahkan tinggi badan, yaitu mengidentifikasi masalah sebenarnya berdasarkan data (statistik).

Tim basket Indonesia berulang kali gagal meraih medali emas di SEA Games selama bertahun-tahun. Apakah masalahnya? Jawaban paling mudah adalah kalah tinggi badan. Tidak perlu banyak belajar dan tidak perlu usaha yang merepotkan untuk mendapatkan jawaban tersebut.

Selain itu, "solusinya" pun mudah. Tinggal cari pemain yang tingginya dua meter atau lebih dari luar negeri. Kalau ternyata masih belum berhasil setelah mendapatkan satu atau dua pemain yang tinggi, maka masalahnya adalah, jumlah pemain yang tingginya dua meter masih kurang banyak.

Atas dasar apakah jawaban kalah tinggi badan tersebut? Asumsi penghambat kemajuan.

Jawaban yang lebih "kelihatan cerdas" lagi adalah kurang chemistry atau kurang basketball IQ. Berdasarkan apakah jawaban tersebut? Tentu saja berdasarkan sepengamatan saya atau menurut saya sebagai pakar basket atau pengamat basket atau ahli basket atau bahkan pelatih basket. Bukan berdasarkan data.

Tidak masalah bila asumsi mengenai masalah tinggi badan dan chemistry dianut oleh para penggemar basket. Karena tidak ada pengaruhnya pada kemajuan sebuah tim. Lain halnya bila asumsi-asumsi tersebut dianut oleh para pelatih, pemilik tim, atlet, dan tokoh-tokoh yang berperan dalam mendukung kemajuan sebuah tim.

Kita butuh bukti berupa data untuk merumuskan masalah sebenarnya di dalam sebuah tim. Bila hanya berdasarkan asumsi, maka arah perencanaan selanjutnya berpeluang meleset dari sasaran yang semestinya, seperti yang mungkin terjadi di sekitar Anda.

Pengaruh tinggi badan, chemistry, dan basketball IQ pun sebenarnya bisa dibuktikan korelasinya terhadap kesuksesan dari statistik basket. Akan tetapi, tentu saja tidak bisa terlihat begitu saja dari statistik tradisional (box score), melainkan berdasarkan analisis statistik lanjutan (advance stats) dan membutuhkan pengumpulan data (tracking) tambahan pada suatu kompetisi. Kita akan bahas topik ini di kesempatan lain.

Pada tahun 2019, para pembaca setia Mainbasket tentu telah melihat hasil evaluasi timnas basket Indonesia ketika berlaga di William Jones Cup 2019 hingga SEA Games 2019. Bila Anda perhatikan, pada evaluasi tersebut terdapat hasil analisis berdasarkan advance stats beserta empat faktor kesuksesan, dan bukan sekadar statistik tradisional (PTS, AST, REB, dst). Selain itu, terdapat pula informasi mengenai Shot Chart (peta tembakan) setiap atlet Indonesia. Sepengetahuan penulis, hanya Mainbasket yang pernah menyediakan artikel lengkap seperti demikian di Indonesia.

Artikel Terkait:

Analisis Tim Nasional Basket Indonesia di William Jones Cup 2019 (1/2)

Analisis Tim Nasional Basket Indonesia di William Jones Cup 2019 (2/2)

Untuk di wilayah Asia Tenggara pun, penulis yakin (asumsi) kelengkapan informasi mengenai timnas di artikel tersebut adalah salah satu yang terbaik. Silakan Anda informasikan di kolom komentar media sosial Mainbasket bila ada artikel serupa atau bahkan lebih baik di wilayah Asia Tenggara.

Untuk mendapatkan satu set data timnas Indonesia hingga bisa dipresentasikan kepada para pembaca setia Mainbasket di artikel evaluasi timnas, maka penulis harus mengeluarkan biaya lebih dari 10 juta rupiah. Harga tersebut relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan penulis untuk berlangganan mendapatkan data yang lengkap di Amerika Serikat. Artinya adalah, data atau informasi adalah sesuatu yang sangat berharga bagi penulis dan masyarakat negara maju untuk mengungkap atau mengetahui fakta sebenarnya dari suatu masalah.

Sebagai contoh, pada artikel evaluasi timnas Indonesia terungkap bahwa masalah utama timnas Indonesia pada pertengahan tahun (William Jones Cup 2019) adalah efektivitas tembakan, turnover dan rebound. Anda tidak hanya mengetahui catatan tradisionalnya saja, tapi Anda bisa melihat persentasenya (REB%, eFG%, TOV%) dan atlet siapa saja yang secara spesifik menjadi beban dari faktor-faktor kesuksesan tersebut. Anda juga telah mengetahui bahwa ternyata faktor eFG% dan TOV% memiliki beban terbesar terhadap kegagalan timnas dan didukung oleh perbandingannya dengan negara-negara lain dalam hal empat faktor kesuksesan dan efisiensi serangan.

Kemudian Anda mengetahui bagaimana progres timnas Indonesia yang ternyata mengalami peningkatan dalam hal eFG% di SEA Games 2019, tapi gagal meraih medali karena masalah kronis kesalahan sendiri (turnover). Bila Anda telah membaca artikel-artikel evaluasi sejak William Jones Cup 2019 hingga uji coba di Serbia, maka Anda sudah mengetahui bahwa masalah turnover telah teridentifikasi berdasarkan besarnya persentase turnover (bukan sekadar jumlah TOV) di kalangan para fasilitator sejak sekitar empat bulan sebelum SEA Games 2019.

Dengan demikian, skala prioritas untuk mengantisipasi turnover berada di urutan kedua setelah menaikkan eFG% ketika tidak terjadi perubahan yang bermakna setelah beberapa kali menjalani proses uji coba. Namun, pada akhirnya tetap saja tidak terdapat perubahan secara keseluruhan ketika menjalani SEA Games 2019, walau ada beberapa pemain yang sedikit mengalami perubahan positif.

Perhitungan persentase turnover jauh lebih unggul dibandingkan sekadar jumlah turnover tradisional. Pasalnya, persentase turnover dihitung berdasarkan sejumlah kesempatan mencetak angka (play) dan bukan sekadar dari jumlah pertandingan. Perhitungan tersebut lebih akurat untuk melihat seberapa besar kemungkinan terjadinya turnover dari sejumlah kesempatan mencetak angka (play) yang didapatkan setiap pemain di lapangan.

Informasi mengenai perhitungan persentase turnover dan play dapat ditemukan di buku “Basketball on Paper”. Selain itu, dengan membaca buku tersebut, maka Anda akan dapat mengetahui perbedaan penguasaan (possession), kesempatan mencetak angka (play), dan upaya tembakan (FGA), yang ketiganya sering membingungkan orang awam.

Apabila serius ditelusuri lebih lanjut, maka penyebab sebenarnya dari turnover itu sendiri dapat diidentifikasi lebih spesifik. Apakah karena masalah fundamental (kurangnya kontrol bola dan operan yang tidak akurat)? Masalah koordinasi antarpemain?  Atau masalahnya adalah sistem serangan yang dapat diantisipasi lawan (dengan koordinasi yang sudah tereksekusi dengan baik).

Sudah seharusnya identifikasi masalah-masalah yang lebih spesifik tersebut adalah tugas dari para asisten pelatih atau pembantu asisten pelatih atau petugas statistik yang berada di dalam suatu tim kalau memang berniat memajukan kualitas timnya.

Sudahkah anda mencoba menjawab sendiri pertanyaan di bawah ini?

Sebelum kita bahas jawabannya penulis akan menuliskan asumsi cerita fiksi nasib pemain setinggi dua meter kalau di Indonesia:

Para pelatih cenderung akan menyuruh pemain setinggi dua meter tersebut untuk fokus latihan post up berhubung rata-rata tinggi lawan yang hanya sebesar 182 sentimeter. Ketika pemain yang setinggi dua meter tersebut melakukan post up, maka para pemain lainnya menunggu di luar untuk bersiap menembak dari jauh ketika pemain setinggi dua meter tersebut dikepung oleh dua pemain lawan.

Pemain yang paling tinggi fokus latihan post up di bawah jaring, sementara para spesialis penembak fokus latihan menembak 3P. Mereka yang masuk golongan ini tidak perlu rutin latihan melantun karena untuk urusan melantun cukup diserahkan kepada para pembawa bola yang pada umumnya bertubuh paling pendek. Selain itu, pemain yang setinggi dua meter tersebut tidak pernah dianjurkan untuk latihan menembak 3P.

Pemain setinggi dua meter ini akhirnya lulus kuliah di usia 22 tahun dan berangkat ke Amerika Serikat untuk mencoba mendaftarkan diri di kompetisi amatir dan semi profesional. Dia sangat terkejut ketika berada di Amerika Serikat karena ternyata banyak para pemain setinggi dua meter yang bisa melantun dengan sangat baik dan bisa menembak 3P.

Bahkan, dia tidak bisa mengikuti pergerakan para pemain sepantaran yang berperan sebagai pembawa bola ataupun penembak jarak jauh karena selama di Indonesia hanya bertugas melakukan pertahanan di sekitar area kunci.

Penulis menutup kisah fiksi ini dengan pernyataan yang mirip seperti beberapa artikel sebelumnya: “Punya pemain setinggi dua meter adalah tidak penting karena tidak memiliki wawasan untuk mengembangkan pemain setinggi dua meter.”

Andai saja Giannis Antetokounmpo dan Anthony Davis lahir dan besar di Indonesia, maka penulis yakin bahwa perkembangan mereka akan menjadi seperti Kristian Liem dan Vincent Kosasih (bukan mengkecilkan mereka berdua) dan tidak akan memiliki shot chart seperti di bawah ini:

Efisiensi Jenis Play di NBA pada Periode 2015-20

Dari grafik di atas menunjukkan bahwa Cut, Transition, PnR Roll Man, dan Spot Up adalah empat besar dengan efisiensi yang tertinggi pada periode 2015-20. Sementara Post Up dan Isolation adalah yang paling rendah. Pengumpulan data ini mulai dilakukan di NBA sejak tahun 2015.

Informasi yang sangat berharga ini dimanfaatkan oleh tim-tim yang menggunakan analisis statistik statistik untuk meningkatkan performa tim, yang salah satunya adalah Golden State Warriors (GSW). Masyarakat berasumsi bahwa Warriors adalah sekadar tim yang pada awalnya memang memiliki ciri permainan yang mengandalkan Cut.

Justru sebaliknya, Warriors adalah salah satu tim modern di era 2010-an yang menggunakan pendekatan statistik pada tahun-tahun sebelumnya dan mengetahui bahwa Cut adalah permainan dengan efisiensi yang tinggi. Peningkatan produktivitas Cut di tim Warriors baru mulai terlihat dengan drastis pada tahun 2014 dan Warriors semakin mengoptimalkan serangan tersebut sehingga menjadi tim paling produktif dalam hal Cut pada sepanjang periode 2015-19.

Di bawah ini adalah grafik enam tim dengan persentase kemenangan di atas 68 persen dari masing-masing wilayah:

Hal yang paling menarik dari grafik di atas adalah tim Los Angeles Lakers. Sebelum kedatangan LeBron (periode 2015-18), Lakers adalah tim dengan efisiensi permainan Cut yang sangat rendah dan bahkan pernah berada di peringkat paling dasar (2016-17).

Kedatangan LeBron James mengubah segalanya. Lakers menjelma menjadi tim dengan efisiensi permainan Cut tertinggi kedua sejak tahun pertama LeBron di Lakers hingga saat ini. LeBron melakukan perubahan di dalam Lakers sesuai dengan hasil analisis yang ditampilkan pada tahun-tahun sebelumnya.

Analisis statistik bukanlah hal baru bagi LeBron yang dikenal sebagai sosok yang suka membaca. Ketika masih di Miami Heat, LeBron sering berdiskusi dengan Shane Battier, yang telah menguasai analisis basket, yang bahkan disebut LeBron sebagai pemain basket paling cerdas.

"Raja Basket" layak disebut sebagai raja basket karena selain memiliki kemampuan fisik dan keterampilan yang terbaik, tapi juga memiliki wawasan untuk menerapkan permainan yang paling efisien berdasarkan data dan bukan sekadar mengandalkan asumsi dan “menurut saya sebagai Raja Basket.”

Mengapa penulis mengatakan bahwa LeBron yang melakukan perubahan permainan di Lakers dan bukan pelatihnya saat ini, Frank Vogel? Karena karakteristik perubahan tersebut mulai muncul saat tahun pertama LeBron di Lakers (2018).

Jadi berdasarkan data tersebut, maka empat hal yang harus diprioritaskan pada contoh kasus tim yang sedang akan melakukan persiapan selama enam bulan adalah: Cut, Transition, PnR, dan Spot Up. Sementara yang lain-lainnya dapat dilakukan kemudian setelah memantapkan yang diprioritaskan (bukan berarti tidak dilatih sama sekali).

Apakah permainan yang paling efisien di IBL Indonesia? Asumsi jawaban mudah versi penulis adalah permainan yang memasrahkan diri atau memberi kebebasan sebebas-bebasnya pada pemain impor. Silakan mencari tahu sendiri bagi yang ingin meraih kesuksesan berdasarkan data di liga lokal. Sementara penulis tidak terlalu peduli siapa yang sukses menjadi jagoan di kampung sendiri, melainkan siapa yang mau berubah untuk meraih kesuksesan di luar kampung.

Hal yang lebih penting berikutnya dari sekadar tinggi badan, bersambung di artikel “Bolaharam” selanjutnya. Jangan lupa baca buku yang penulis rekomendasikan. Raja Basket saja mau belajar, banyak membaca buku, dan menggunakan data. Masa yang prestasinya mentok cuma bisa menang ngeyelnya saja?

Bersambung …

Foto: Mei Linda

 

Komentar