Widyanta Teja (NSH Jakarta) mengakhiri Piala Presiden 2019 dengan catatan kontribusi yang tergolong cukup baik bila berdasarkan rata-rata kontribusi di di tim NSH secara keseluruhan. Walau demikian, standar rata-rata di di tim tersebut terkesan sangat rendah dan cukup wajar apabila mereka tidak dapat meraih kemenangan dari dua pertandingan yang telah dijalaninya.

Walau berhasil mencetak rata-rata 15 poin, namun efektivitas tembakan (eFG%) Widyanta Teja hanya sebesar 45 persen (5 persen di bawah standar minimal, yaitu 50 persen). Andaikan Widyanta Teja tidak melakukan lima tembakan 3P yang dilakukannya pada sepanjang kompetisi dan berhasil menambahkan satu tembakan 2P, maka efektivitas tembakannya akan berhasil mencapai 50 persen.

Berdasarkan shot chart, terlihat bahwa tembakan 3P merupakan kelemahan terbesar Widyanta Teja sejak terjun di dunia basket profesional. Selain itu, atlet ini masih belum terlihat produktivitas yang cukup meyakinkan di area perimeter dan masih sangat mengandalkan senjata andalan utamanya sejak musim kompetisi sebelumnya, yaitu terobosan jarak dekat dan area lima kaki. Bila Tidak ada perubahan sampai musim kompetisi mendatang, maka sangatlah mudah bagi tim-tim lawan untuk mengantisipasi terobosan-terobosan Widyanta Teja, terlebih lagi dengan persentase lemparan gratis yang hanya sebesar 38 persen (standar untuk OBH adalah 80 persen).

Berdasarkan perbandingan shot chart antara Piala Presiden dengan William Jones Cup 2019, menunjukkan suatu kecenderungan dan kelemahan yang hampir sama di antara keduanya, yaitu minimnya produktivitas di area 3P dan area perimeter. Hal tersebutlah yang mungkin menjadi salah satu alasan utama mengapa Widyanta Teja masih belum mendapatkan kesempatan untuk membela tim nasional Indonesia di SEA Games 2019.

Terdapat dua hal positif yang diperlihatkan atlet ini pada sepanjang kompetisi tersebut, yaitu angka rata-rata kesalahan sendiri (turnover) yang hanya sebesar 0,5 (persentase turnover hanya sebesar 4 persen). Hal tersebut terkesan sangat baik dan tergolong luar biasa untuk standar atlet Indonesia, terlebih lagi dengan perannya sebagai OBH dan memiliki persentase USG yang sebesar 27 persen.

Selain itu, atlet ini memiliki rata-rata rebound sebesar 6,0 yang menunjukkan suatu kontribusi besar pada pertahanan tim, selain dari tugas utamanya di area perimeter dan luar. Cuplikan di bawah ini adalah pembahasan delapan kasus skenario serangan yang berhubungan dengan konsep kesinkronan langkah dengan lantun, yang dilakukan oleh Widyanta Teja ketika berhadapan dengan Pelita Jaya di Piala Presiden 2019.

https://youtu.be/IL1Htg_aju8

Kasus pertama menunjukkan contoh kesinkronan gerakan langkah dan lantun yang sangat baik saat mengubah kecepatan dan berubah arah. Kesinkronan gerakan tersebut dapat mengoptimalkan pembawa bola untuk bergerak lebih leluasa dalam memanfaatkan screen dan mengoptimalkan momentum operan.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198652728953712642?s=20

Kasus kedua menunjukkan contoh kesinkronan langkah yang cukup baik ketika berkontak dengan pemain bertahan (walau penempatan kaki kiri pada lantunan yang pertama sedikit terlambat). Ketika pembawa bola berhadapan dengan pemain bertahan yang melakukan penjagaan ketat, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengoreksi kesinkronan langkah dengan lantun dan bukan menghindari lawan dengan pikiran untuk melindungi bola agar tidak direbut.

Eksekusi terobosan yang dilakukan pada kasus kedua ini juga bukanlah sesuatu hal yang baik karena melakukan langkah lay up dari jarak yang jauh dengan dua pemain bertahan di bawah jaring.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198653670998581250?s=20

Pada skenario tersebut, kami memberikan diagram yang menjadi misi untuk dikembangkan atlet ini. Ketika bahu O1 sudah berhasil melewati X1 sebelum mendekati area siku, maka O1 harus berusaha memotong sisi depan X1 dan bergerak ke wilayah atas di sekitar delapan kaki dari jaring. Di area tersebut O1 harus menurunkan kecepatan dan memutuskan dengan cepat, apakah akan menembak (prioritas utama), mengoper,  atau menerobos lebih dalam (tergantung dari pergerakan X3 dan X4).

Apabila tidak dapat melakukan tembakan atau operan, maka O1 harus menerobos dari sisi luar X4 dan memutari area lima kaki pada sepanjang baseline. Pergerakan O1 tersebut akan membuat penglihatan X1 sampai X5 tertuju ke sana dan berkemungkinan besar membuka banyak jalur operan ke para penembak di area luar.

Diagram ini diambil dari kasus-kasus di NBA yang memperlihatkan bagaimana peran dan kemampuan OBH untuk melantun di antara para pemain bertahan sampai pada titik waktu dan lokasi, di mana tercipta suatu peluang tembakan ataupun jalur operan. Kasus ketiga menunjukkan kesinkronan yang cukup baik dan bagaimana pembawa bola memotong sisi depan pemain bertahan untuk menuju ke area tengah. Masalah terjadi ketka pembawa bola mundur dengan gerakan melompat sebanyak dua kali, yang akhirnya menyebabkan ketidaksinkronan pada terobosan selanjutnya dan melakukan langkah lay up dari jauh. Widyanta Teja dapat mencetak angka dengan cara ini karena koordinasi pertahanan yang tidak baik.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198655202217340928?s=20

Pada skenario ini terlihat bahwa Widyanta Teja memiliki kecepatan yang lebih baik dari pemain bertahan dan terdapat ruang yang cukup besar di wilayah tengah area dalam. Pada titik di mana Widyanta Teja telah sejajar dengan X1 di sekitar siku, maka O1 harus berusaha memotong ke tengah dan menurunkan kecepatan ketika telah berada di tengah untuk memutuskan apakah akan melakukan tembakan atau terobosan atau operan. Apabila tidak dapat melakukan tembakan, maka O1 harus menerobos ke dalam untuk memasukkan bola atau memutari area lima kaki pada sepanjang baseline (sama seperti diagram sebelumnya).

Diagram-diagram yang kita tampilkan diambil dari kasus-kasus di NBA dan menunjukkan kemampuan dari OBH yang dapat bersaing di tingkat dunia. Andaikan setidaknya terdapat tiga OBH di tim nasional yang menguasai kemampuan ini, maka bukan tak mungkin bahwa Indonesia dapat meraih gelar juara di SEA Games. Widyanta Teja adalah salah satu atlet yang kami perkirakan akan menguasai kemampuan ini di masa akan datang.

Kasus keempat menunjukkan kesinkronan yang cukup baik, tapi diakhiri dengan eksekusi akhir yang Tidak baik. Menghentikan lantun dan melakukan langkah lay up dengan pemain bertahan di depan wajah dan melakukan lompatan pada situasi tersebut dengan tujuan untuk melakukan operan (walau niatnya adalah tipuan) merupakan suatu masalah fatal yang harus dihindari oleh OBH.

Kasus kelima menunjukkan kesinkronan dan upaya mendekati jaring dengan lantunan yang cukup baik, tapi sampai sebatas pada lantunan yang terkahir di mana Widyanta Teja meningkatkan kecepatan lantunan sehingga langkah kaki kanan tertinggal. Akibatnya adalah eksekusi lay up dengan lengan kanan dan sisi depan tubuh yang berhadapan dengan lawan. Widyanta Teja tidak akan berhasil mencetak angka, serta tidak akan mendapatkan kesempatan tembakan grats dari pelanggaran apabila berhadapan dengan pemain bertahan yang lebih atletis.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198654677782532097?s=20

Kasus keenam menunjukkan contoh ketidaksinkronan yang dilakukan Widyanta Teja karena langkah yang terlalu panjang dan tidak sesuai dengan durasi fase kontrol. Hal ini adalah contoh kasus yang sangat banyak terjadi di Indonesia dari tingkat anak-anak sampai profesional. Ketidaksinkronan lantunan tersebut mengakibatkan fondasi tubuh yang tidak kokoh dan tidak dapat memberikan tekanan pada lantunan terakhir.

Selain itu, terdapat atlet lain yang melakukan ketidaksinkronan lantunan saat dikepung oleh pemain bertahan. Pada akhirnya, atlet tersebut melakukan gerakan operan yang sangat buruk dan menyebabkan turnover.

Contoh kasus ini adalah kejadian yang sangat umum di kalangan para atlet karena kebiasaan menghindari atau menjauhi pemain bertahan dan pemikiran bahwa,“bola harus sejauh mungkin dari lawan” yang mungkin ditanamkan sejak masa anak-anak. Ingat bahwa ketika dikepung oleh lawan, maka hal utama yang perlu dipikirkan adalah menyinkronkan lantun dengan langkah, dan bukan menghindari atau menjauhi atau kabur dari pemain bertahan.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198655903563763713?s=20

Kasus ketujuh dan kedelapan memiliki cara eksekusi yang relatif sama, tapi dengan skenario yang sedikit berbeda. Tampak bahwa Widyanta Teja cenderung meningkatkan kecepatan ketika berada di wilayah sayap saat melihat jalur terobosan, tanpa memperhitungkan pergerakan dari para pemain bertahan. Dari hal tersebut menimbulkan kesan bahwa Widyanta Teja masih belum mengembangkan kemampuannya dalam memandang lapangan secara keseluruhan sebelum mengambil keputusan dalam sepersekian detik. Hal tersebut juga mungkin dipengaruhi oleh masih belum berkembangnya kemampuan shooting off the dribble di area perimeter atas dan sayap.

https://twitter.com/MySneakersDiary/status/1198661926299033600?s=20

Pada kasus ketujuh, kami menampilkan diagram berdasarkan skenario tersebut dan salah satu opsi yang terbaik untuk seorang atlet yang dikembangkan sebagai OBH. Perhatikan bahwa X1 harus memutari O5 agar dapat menjangkau O1, sementara pergerakan dan pandangan X5 adalah menuju ke area dalam. Hal yang sebaiknya dilakukan O1 adalah mengubah arah ke area atas untuk melakukan tembakan 3P atau setidaknya ke wilayah perimeter atas untuk melakukan ancaman tembakan di sana.

Tapi seperti yang telah kita ketahui bahwa Widyanta Teja memiliki persentase tembakan 3P yang hanya sebesar 20 persen dan hanya pernah satu kali melakukan tembakan 2P di wilayah perimeter (tapi bukan di area perimeter atas). Keterbatasan jangkauan area tembak tersebut yang mungkin membuat Widyanta Teja memaksakan melakukan eksekusi tembakan yang sama, yaitu terobosan ke sekitar area lima kaki dengan persentase keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 56 persen.

Atlet OBH yang paling berbahaya adalah yang memiliki kemampuan tembakan 2P dengan persentase yang tinggi di wilayah perimeter dan dapat melakukan terobosan dengan persentase keberhasilan yang tinggi di sekitar jaring. Dengan demikian, keberadaan OBH di area perimeter dan area dalam akan dapat menarik perhatian lebih banyak pemain bertahan untuk saling berkoordinasi dalam upaya menghentikan OBH tersebut. Akibatnya akan tercipta peluang tembakan dari satu atau bahkan dua rekan di area luar maupun yang memotong ke dalam.

OBH yang hebat tersebutlah yang harus dapat melihat jalur operan pada rekan-rekannya tersebut. Untuk mewujudkan visi dan misi dari OBH tersebut di lapangan, maka harus didukung oleh kesinkronan langkah dengan lantun, serta tubuh yang kokoh untuk mempertahankan kontrol bola. Kesinkronan dan kekokohan tersebut adalah faktor-faktor utama untuk mengeksekusi jalurjalur operan yang hanya tercipta dalam hitungan waktu sepersekian detik.

Semoga bermanfaat untuk anda semua, terutama para pembaca setia Mainbasket.

Analisis data: Didik Haryadi

Foto: Dika Kawengian

 

Komentar