Saya menonton Antoni Erga pertama kali lewat Piala Presiden Bola Basket 2019. Antoni—begitu ia menyebut namanya—merupakan pemain Satya Wacana Salatiga. Ia seorang ruki yang dipilih tim asal Jawa Tengah itu lewat slot pemain rekomendasi alias binaan.

Antoni tampil dalam 4 pertandingan dengan rata-rata 9,7 poin, 5 rebound, 1,7 asis, dan 1,7 steal. Ia mendapat kesempatan untuk tampil dari bangku cadangan. Kepala Pelatih Efri Meldi memberinya kepercayaan.

Usut punya usut, Antoni punya kisah menarik di balik karier bola basketnya yang sekarang. Saya menghampirinya dengan pertanyaan-pertanyaan. Kemudian, dengan sendirinya, kisah Antoni tumpah dalam percakapan selama lebih dari 15 menit.  

Kamu selalu tampil di setiap pertandingan Satya Wacana di Piala Presiden. Seperti apa kamu menilai penampilanmu itu?

Masih rada jelek, sih. Cuma yang lumayan konsisten itu tripoin saya saja. Di dua poin masih kurang. Mungkin karena dari kemarin-kemarin saya latihan tripoin terus. Sudah berapa kali tembak.

Saya tahu pola Kak Meldi. Saya harus lari, siap tembak. Saya siapkan itu sebelum Piala Presiden.

Saya sudah kenal Kak Meldi sejak dua tahun lalu. Cuma baru main di IBL saja.

Selama dua tahun belajar apa saja?

Dulu dia tidak pernah turun melatih junior. Pas saya datang, dia tidak melatih junior. Dia masih fokus sama tim IBL. Untungnya, saya punya Ko Jojo (Yo Sua) dan Ko Acun (Budi Sucipto).

Mereka selalu mengingatkan saya buat kerja keras. Terkadang kasih tahu soal skill. Kak Meldi cuma beberapa. Dia dulu fokus ke tim IBL. Baru ke tim LIMA.

Dulu saya pernah dibawa Ko Jojo ke LIMA. Untungnya, di sana ada Ko Jojo dan Ko Acun. Mereka yang selalu mengingatkan saya, membantu perkembangan saya. Mereka kasih  tahu apa saja yang mesti dikembangkan.

Sekarang sudah masuk IBL. Kak Meldi langsung menangani kamu. Waktu pertama kali masuk ke tim pro ini, apa yang dia harapkan?

Dia tahu saya. Saya orangnya pekerja keras. Dia tahu saya orangnya hustle. Dia tahu juga kalau saya main pasti kasih full. Semua yang saya punya pasti saya kasih. Dia berharap saya bisa angkat tim ini, bantu tim ini untuk mencapai target. Saya mau Satya Wacana ke playoff. Kemarin katanya targetnya juara. Saya, sih, tidak takut, yang penting usaha. Hasil itu nanti saja, yang penting kerja kerasnya.

Kamu sendiri punya harapan apa di musim pertama? Rookie of the Year?

Saya orangnya suka keluar dari zona nyaman. Suka menantang diri sendiri. ROTY memang target saya.

Kalau melihat pesaingnya, kira-kira bisa?

Kalau dilihat, semua bisa main, bukan saya sendiri. Persaingan bakal ketat. Mereka bisa main. Saya konsisten saja. Terus kerja keras dan fokus. Setelah ini, mungkin, saya akan meminta Kak Meldi untuk melatih saya lagi. Saya akan minta video ke dia biar bisa belajar lagi. Membenahi kekurangan dari gim di Piala Presiden ini. Semoga itu bisa membantu saya menjadi Rookie of the Year.

Dengar-dengar kamu punya pengalaman hidup yang menarik. Coba ceritakan!

Dari mana, nih? Dari awal di Bangka Belitung?

Iya, dari kehidupanmu sebelum di sini. Seperti apa?

Saya sebenarnya tinggal sama Mama, sama Kakak. Bapak saya sudah tidak ada sejak saya berumur dua bulan. Kami sudah lama hidup susah. Makan sedikit saja dibagi-bagi.

Waktu sekolah sempat kesulitan. Beruntungnya, untuk SMP dan SD saya sekolah di negeri. Biayanya agak murah. Cuma ada bantuan juga. Waktu SMP dapat bantuan untuk melanjutkan sekolah.

Saya baru kenal basket waktu SMA. Itu saja tidak mudah. Saya tidak bisa main basket.

Baru kenal basket waktu SMA banget?

Dari SMP sudah kenal, tapi tidak main. Saya main bola. Main apa saja.

Dulu saya sebenarnya tidak fokus ke olahraga. Saya menghabiskan waktu buat main game. Begitu SMA, di Bakti, SMA Bakti Pangkal Pinang, saya tidak dapat beasiswa.

Kakak saya menyarankan untuk ikut ekskul (ekstrakurikuler). Ya sudah, saya ikut. Lalu, pelatihnya bilang, “Di sini kita bisa dapat apa saja. Pertama, beasiswa. Kedua, O2SN. Ketiga, Popda.” Tapi, waktu itu, posisi saya masih belum bisa main. Badannya kurus. Kurus banget. Jauh dari sekarang. Lebih kurus dari ini. Badannya kecil juga. Cuma pelatih saya percaya. Dia bilang, “Kamu bisa, tapi memang tidak mudah.”

Sejak itu, mindset saya terbuka. Padahal waktu SMA saya mau bekerja. Sudah cari kerja malah. Soalnya kakak saya berhenti kerja dari SMP. Dia cari duit sendiri. Cari bantuan ke mana-mana.

Saya masuk SMA, mama saya pinjam duit sana-sini. Saya ingin bantu dengan bekerja. Lunasi hutang. Tapi, pelatih saya, Ko Aon itu, berhasil membuka mindset saya. Saya kejar beasiswa.

Selama satu tahun, saya kerja keras. Saya bertemu Mama saja cuma jam delapan malam. Setelah itu paginya baru bertemu lagi. Soalnya pagi saya sekolah, pulang sekolah les, terus jam enam ada latihan sampai malam. Dari jam 4 sampai jam 7. Dikasih makan sama Ko Aon, pulang jam 8. Habis itu mandi, tidur, bangun lagi. Begitu saja terus.

Terus begitu setiap hari?

Iya, begitu saja. Saya tidak menyangka, selama bekerja keras, apa saja saya dapat. O2SN, Popda, beasiswa. Cuma memang tidak selalu menang. Saya kalah juga. Baru tahun kedua dikasih menang.

Tahun kedua, saya dapat rezeki. Saya membawa Bangka Belitung ke Kejurnas KU-16 di Yogyakarta. Final kalah sama DKI (Jakarta). Saya kalah dan juara dua, tapi itu sejarah buat Bangka.

Saya dibilang jago, tidak jago. Waktu itu timnya merata. Yang membedakan cuma kerja keras. Saya sayang sama Kakak, sama orang tua, makanya selama itu kerja keras saja.

Pada tahun kedua itu, saya baru dapat beasiswa dari Bakti. Saya bisa bantu orang tua saya.

Habis lulus apa lagi?

Habis lulus saya tidak langsung ke Satya Wacana. Saya, kan, punya piagam KU-16. Sertifikat nasional itu membantu saya ke UEU (Universitas Esa Unggul). Cuma saya memutuskan kerja dulu.

Saya kerja mengurus produk, urusan gudang, kayak PT begitu. Isinya ada Fruitea, Aqua, Teh Botol—segala macam. Saya tukang angkat-angkat barang. Sehari 1000.

Cuma malamnya saya terus latihan. Waktu itu saya bergabung dengan Merpati dan ASF. Menumpang saja.

Nah, yang pegang ASF itu bos saya. Saya bilang, “Bos, saya mau kerja. Tidak usah pakai lama. Apa saja kerjaannya, yang penting dapat uang.” Dari situ, saya bantu Mama bayar hutang.

Kemudian, saya ditelepon sama UEU. Sama mbak-nya, siapa lupa namanya. Katanya dari UEU kirim e-mail terus, menghubungi terus. Cuma saya tidak punya hape android. Saya tidak bisa cek e-mail kalau tidak tahu.

Akhirnya ada telepon masuk, saya lagi kerja, ngobrol sana-sini akhirnya batal. Tidak jadi kuliah di sana.

Untungnya, saya punya bos di Bangka. Orang dalamlah kalau kita sebut. Bos Bangka itu yang bantu saya masuk ke sini, ke Satya Wacana. Kalau tanpa bantuan, tanpa rekomendasi, tidak mungkin masuk ke sini. Badan kurus, kecil, siapa yang mau?

Setelah itu?

Saya sampai di sini, tapi tidak hidup begitu saja. Saya punya target, saya punya tujuan. Saya juga punya teman-teman yang percaya. Ada Ko Jojo, Ko Acun, Kak Meldi. Selalu membimbing saya sampai hari ini.

Dulu saya belajar di Bangka modal nekad saja. Usaha saja, yang penting kerja keras. Ternyata sampai di sini tidak terpakai ilmunya. Sudah lebih hebat-hebat di sini. Yang saya punya cuma kerja keras. Saya niat adu nasib, ubah nasib di sini.

Soalnya kalau minta uang ke Mama tidak mungkin. Minta ke Kakak tidak suka penuh. Minta 500 dikasih setengah.

Setelah di Satya Wacana, kamu ngapain?

Saya belajar dari senior-senior saya. Sama Cio (Cassiopeia Manuputty) pun saya belajar. Saya tidak bisa bawa bola sampai ke setengah lapangan. Cio bisa. Saya belajar dari dia.

Dulu ada pertandingan ekshibisi antara senior dan junior. Saya belajar dari situ.

Saya juga sempat belajar sama asing, sama Gibbs—Madarious Gibbs. Dia kasih semuanya. Dia bahkan kasih saya sepatu. Dia support. Dia membuka mindset lagi. Saya jadi tahu seperti apa latihannya orang-orang Amerika.

Sampai sekarang, saya sering chat sama Gibbs. Kalau di sini saya belajar dari Ko Jojo, Ko Acun, sama Kak Meldi. Saya lebih banyak belajar dari senior.

Saya belajar banyak hal. Secara emosional, saya mulai terlatih. Bagaimana caranya menjaga sikap di lapangan dan lain-lain. Kak Meldi sering menekankan itu.

Omong-omong, kamu punya cita-cita apa?

Dulu saya ingin jadi pengusaha, sekarang dipikir-dipikir: Kenapa tidak di basket saja? Saya ingin basket jadi pekerjaan. Belajar basket. Nonton basket. Semuanya basket.

Saya punya target ke timnas. Tidak ada yang tidak mungkin. Saya masih muda, baru 19 tahun. Masih banyak ruang buat belajar. Saya ingin mengikuti jejak Abraham (Damar) juga. Punya sepatu sendiri. Punya prestasi. Siapa tahu dari sana bisa menginspirasi orang-orang Bangka.

Kamu kuliah apa?

SI, Sistem Informasi.

Kenapa ambil SI?

Begitu dapat beasiswa, saya punya dua pilihan: PJKR sama FTI. Saya lihat, dari semua, sepertinya Sistem Informasi yang bakal terpakai. Dan yang lumayan tidak sulit, Sistem Informasi.

Saya tahu bakal kesulitan bagi waktu antara kuliah dan basket. Makanya ambil Sistem Informasi.

Saya sudah janji, hidup saya di basket. Saya usahakan itu dulu. Saya tidak terlalu mementingkan pendidikan. Cuma pendidikan itu membantu saya mengenal dasar-dasarnya. Itu saja.

Umur atlet tidak selalu panjang. Sudah ada persiapan buat ke depan?

Belum. Saya masih muda. Itu masih jauh.

Untuk sekarang, saya harus jaga badan untuk jangka panjang. Saya masih ingin main basket. Semoga tidak ada cedera. Saya berusaha meminimalisasi risiko.

Dan untungnya, saya punya relasi banyak. Punya bos-bos yang mau jadi sponsor. Mungkin dari situ bisa bantu kerja atau apa. Yang penting sekarang main basket dulu.

Oke, kalau begitu kita akhiri wawancara ini. Terima kasih sudah mau ngobrol. Sampai jumpa di regular season!

Iya, Kak, terima kasih juga. Sampai ketemu lagi.

Foto: Dika Kawengian

Komentar