Saya bertemu Samuel Thesia pertama kali pada 2016. Saat itu, ia masih bermain untuk Papua di Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat. Sam sukses mengantarkan timnya merengkuh medali perunggu, mengalahkan Jawa Tengah yang saat itu memiliki amunisi yang lebih baik.

Setahun berselang, kami berjumpa kembali di gelaran Jawa Pos-Honda Pro Tournament di Surabaya.Saya senang bertemu dengannya. Sebab, ia masih bermain bola basket meski tidak bisa lagi membela Papua di ajang PON berikutnya. Sam sudah terlalu tua untuk bermain di sana.

Pada 2019 ini, rupanya kami berkesempatan untuk berjumpa sekali lagi. Kami bertemu di Honda DBL Camp 2019. Kebetulan Sam terpilih sebagai salah satu pelatih yang berhak belajar di kamp latihan di Surabaya.

Saya pun mewawancarai Sam. Kami membahas banyak hal. Apa yang ditulis di sini bahkan tidak semuanya. Sebab, saya menyisakan beberapa hal untuk dimunculkan di platform lain.    

Sudah dapat apa saja?

Basic, dasar bermain basket. Belajar teknik. Dapat pelajaran tentang defense.

Ada kelas nutrisi. Itu yang saya suka. Menurut saya, itu juga yang paling penting, karena akhirnya bisa dapat gambaran nutrisi seperti apa yang bagus untuk atlet.

Sempat dapat materi fisik. Kebetulan Papua punya medan yang cocok untuk latihan fisik. Kita tahu di Papua banyak gunung, jalan tidak merata, naik-turun-naik-turun. Itu menjadi salah satu keuntungan kami. Kami bisa melatih fisik di sana.

Saya senang belajar di sini. Banyak mendapat pelajaran yang bisa saya bawa pulang.

Apa yang paling menarik sejauh ini?

Selama belajar di sini banyak, banyak, banyak dapat pengalaman. Banyak sesuatu yang belum pernah saya tahu. Semuanya menarik. Semuanya patut dijalankan ketika saya pulang ke Papua, untuk dibagikan kepada adik-adik.

Ceritakan soal DBL di Papua!

DBL di Papua, semua tim yang ikut, semua tim yang berpartisipasi, punya visi-misi yang sama. Mereka ingin menjuarai event tersebut. Antusiasme setiap tim sudah mulai kentara sebelum event itu dimulai. Sampai seminggu sebelumnya mereka sudah menunjukkan kesiapan. Adik-adik ini semangat untuk mengikut pertandigan, bahkan ketika pertandingan bergulir.

Hingga sampai ke puncaknya, semua menunjukkan permainan yang luar biasa. Ini bukan gambaran akhir kami. Menurut saya, ini justru proses. Harus dikembangkan karena potensi-potensi Papua adalah potensi Indonesia. Potensi muda itu harus diutamakan.

Banyak prestasi olahraga internasional terjadi di kelompok umur, bukan hanya yang senior. Dari wilayah timur seperti Papua, ada saja potensi yang muncul. Nah, itu harus dikembangkan.

Melalui DBL, potensi-potensi ini terpantau. Mereka menjadi semacam wadah agar potensi-potensi pemain kami terlihat. Supaya, khususnya pemain muda, tidak berputar di situ saja.

Secara tidak langsung, dengan DBL, mereka bisa mengasah diri untuk jadi lebih hebat lagi. Permainan mereka meningkat lewat kompetisi.

Pemainmu ada di sini?

Kebetulan pemain yang saya latih terpilih di DBL First Team, di posisi point guard, sama dengan saya. Banyak ilmu dan pengalaman yang saya bagikan, karena adik tersebut berposisi sama dengan saya.

Saya bagikan semuanya, dari pengalaman ikut DBL tahun pertama. Waktu itu 2010. Saya ikut DBL tahun itu. Dua kali First Team.

Oh, sempat ikut DBL kau, Sam?

Iya, dua kali. Saya pernah mengikuti DBL dan masuk First Team di 2010 dan 2011. Maka, hal-hal itu yang saya coba bagikan. Saya beri gambaran dan motviasi, karena saya pernah ada di posisi seperti begitu. Saya pernah berjuang sama seperti mereka saat ini.

Senang dan bangga. Saya pikir anak ini masih harus belajar. Masih harus dapat banyak, banyak jam terbang.

Sejauh ini, sih, dia cukup berhasil. Latihan satu-dua tahun, perkembangannya bagus. Saya apresiasi itu. Padahal saingannya banyak, tapi dia bisa masuk First Team. Pemain di posisi yang sama, point guard, banyak sekali. Saya tidak menyangka dia bisa terpilih. Berarti, selama ini saya melatih dia berhasil. Dia latihan di sekolah, datang ke saya minta dilatih sendiri, akhirnya begini. Saya bangga. Saya pikir ini hasil jerih payah dia selama ini.

Ini mungkin pencapaian awal dia. Masih banyak sesuatu yang positif yang harus dia capai di depan.

Sorry, siapa namanya?

Paul Hanaseba.

Sudah berapa lama Sam melatih adik-adik?

Setelah PON 2016. Begitu pulang, disuruh sama Coach untuk coba latih tim. “Latih itu tim. Kau sudah banyak pengalaman.” Setidaknya saya harus berbagi.

Selama ini saya dilatih sebagai pemain, sekarang malah harus coba mengatur. Saya tidak pernah ada di posisi itu. Saya bingung, tapi lewat situ saya justru bisa benar-benar mengabdikan diri untuk Papua.

Dulu saat PON saya pernah bilang, saya akan pulang dan berjanji membina adik-adik. Sekarang saya punya kesempatan itu. Itu merupakan prestasi buat saya. Saya berhasil meluruskan keinginan saya.

Selama beberapa tahun terakhir, ada banyak hal yang saya bagikan kepada adik-adik. Mereka sangat menerima dengan baik. Mereka melakukan apa saja yang saya ajarkan. Itu berdampak positif untuk kami.

Mulai di klub atau sekolah?

Di klub dulu di SSC, Sports Street Club. Setelah itu, baru ada tawaran dari sekolah. Waktu itu dapat tawaran dari SMA Buper. Itu awalnya. Sekarang pindah ke SMAN 4 Jayapura.

Keinginan saya sebenarnya melatih sekolah sendiri di SMAN 2 Jayapura. Cuma, mungkin, belum waktunya. Jadi, berikan pelatihan untuk sekolah lain dulu.

Itu keinginan saya sendiri. Masa saya bisa bawa sekolah lain, tapi sekolah sendiri tidak dibina. Saya ingin bagikan ilmu di sana.

Saat pertama terjun ke kepelatihan rasanya seperti apa?

Wow, sulit! Saya pikir atur-atur pemain itu gampang. Pemikiran saya, mungkin ini sama seperti saya main. Ternyata beda. Digambar lain, yang diperbuat lain. Latihan lain, main di pertandingan lain, hahaha. Jadi, butuh kerja keras sebenarnya.

Boleh kita punya persepsi, punya strategi begini, begini, begini, tapi kembali lagi ke pemain. Di lapangan terserah pemain. Pelatih hanya bisa membimbing. Di dalam lapangan itu tergantung adik-adik.

Banyak hal yang tidak pernah terpikir ketika menjadi pemain, muncul begitu jadi pelatih. Itu yang menjadi kesulitan saya pada awalnya. Problemnya adalah bagaimana mencari jalan keluar dari sana. Tidak semua yang saya siapkan benar-benar terjadi di lapangan.

Saya pikir sangat sulit. Saya baru menjadi pelatih, mengajar adik-adik sampai sini saja. Belum sampai di posisi yang diinginkan. Saya masih perlu bimbingan. Makanya, begitu datang ke sini rasanya menyenangkan.

Coba sekarang ceritakan soal PON! Seberapa besar dampak medali perunggu dalam kariermu, Sam?

Kalau bicara PON, kita bicara pengalaman. Saya pernah bilang, ini adalah pengalaman berharga. Salah satu pengalaman hidup yang sangat, sangat membuat saya menjadi pemain yang dewasa. Namun, yang paling penting, saya dan teman-teman yang bermain di PON mencetak sejarah untuk Papua. Perunggu.

Saya pikir itu jadi pengalaman berharga, jadi pelajaran berharga ke depannya. Saya bisa ceritakan sedikit demi sedikit pengalaman berharga itu kepada adik-adik yang saya bimbing sekarang. Saya bisa mendorong dan memotivasi adik-adik dengan itu.

Waktu itu mengalahkan Jawa Tengah yang dipimpin Efri Meldi. Kebetulan Kak Meldi baru saja meraih gelar Coach of the Year IBL. Sementara di dalam tim itu ada Nuke Tri Saputra yang sekarang bermain di Bima Perkasa Yogyakarta, ada Andre Adriano di Satya Wacana Salatiga, dan Govinda Julian di Pelita Jaya. Seperti apa rasanya melawan pemain sekelas mereka?

Kami disiapkan untuk lebih percaya diri, mengingat lawan punya materi yang bagus. Tim kami semua lokal. Asli Papua dan tidak ada pemain profesional. Pelatihnya juga pelatih lokal.

Pelatih hanya berpesan, sebelum kami melawan Jabar waktu itu, “Kerja sama, percaya diri, dan saling bertanggung jawab. Itu adalah jalan keluar untuk kita juara di sini.”

Meski pun, bisa dibilang, pemain mereka adalah pemain pro, kami tidak perlu takut. Kami harus bermain satu hati, bermain dengan satu jalan, mencoba untuk mengumpulkan kami dalam satu keluarga dan kebersamaan, pasti ada jalan keluarnya. Itu terbukti.

Memang di awal kami terseok-seok. Perlawanan mereka luar biasa. Mereka lebih siap dari kami. Mereka lebih matang dari kami. Namun, kami beruntung. Soal keberuntungan. Kami sangat diuntungkan. Itu jalannya Tuhan. Kami mendapat banyak keuntungan. Di kuarter tiga-empat, ketika kami kalah jauh, kami masih punya kekuatan untuk mengejar. Sampai di menit akhir, kami boleh leading lawan dan berusaha menjauhkan skor.

Itu semua berkat kerja sama tim. Saling percaya diri. Saling bertanggung jawab. Ada dukungan satu tim dan, kembali lagi, soal keberuntungan.

Di Bandung, semua orang menyukai Sam. Setiap Sam melantun bola, mereka berteriak memberikan dukungan. Itu jadi motivasi sendiri buat Sam?

Wow! Saya pikir itu memang menjadi motivasi. Saya tidak menyangka mereka menyukai saya. Orang senang dengan saya, orang senang dengan gaya bermain saya, saya berterima kasih. Orang yang menilai.

Saya berusaha menjadi orang yang baik, mendukung tim dengan baik. Jadi orang yang bisa menjaga hubungan satu sama lain.

Memang saya sendiri sempat terkejut. “Wow! Kenapa ini? Kenapa semuanya mendukung saya?” Cuma saya tidak mau sombong. Saya tidak mau jadi yang paling hebat. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Papua, untuk teman-teman dan keluarga saya. Saya pikir itu apresiasi mereka. Mereka senang kepada kami, sementara kami senang karena diterima di Jawa Barat saat itu. Semua menanggapi dengan positif. Saya sendiri sangat menyukai warga Jawa Barat, khususnya Bandung, karena tanpa dukungan mereka saudara-saudara di Papua tidak bisa sejauh itu.

Selanjutnya ada harapan apa lagi untuk DBL?

Dari adanya DBL dan DBL Camp, saya harap bisa membantu anak-anak muda, terutama pelajar untuk berkarier menuju profesional. Saya pikir, SMA adalah awal.

Memang tidak semuanya bisa jadi pemain profesional, tapi semua bisa jadi profesional di bidangnya masing-masing. DBL mengajarkan itu kepada kami. Kami harap kami bisa menjadi apa yang dicita-citakan, jadi orang yang lebih baik, khususnya bagi pemain.

Lewat DBL Camp seperti ini saja, kami banyak hal-hal baru yang belum tentu di daerah lain, termasuk Papua, ada. Di Papua selalu susah dapat training camp. Siapa pun yang terpilih untuk mengikuti ini, tolong disikapi dengan baik. DBL sudah susah payah menyediakan wadah. Kita harus menyambutnya.

Coach-coach juga begitu. Banyak pelajaran dan pemahaman yang kami dapat di sini. Itu bisa berdampak baik ke depannya. Ini harus dijalankan.

Bahkan, kalau saya bilang, kenapa hanya satu minggu? Kenapa tidak lebih saja? Ini berdampak baik. Harusnya lebih lama. Tidak dua atau dua setengah minggu? Bisa belajar lebih banyak hal.

Kami dibina dari mulai basic sampai teknik. Offense maupun defense. Positif sekali. Sangat membuat grafik pemain yang tidak tahu apa-apa menjadi tahu banyak. Yang tadinya tidak terlalu baik, ternyata bisa meningkat. Saya sudah merasakannya sendiri dulu. Sekarang ada lebih banyak adik-adik yang merasakannya. Tahun depan harus ada lebih banyak lagi.

Omong-omong kenapa di Papua susah sekali mendapat training camp?

Sangat disayangkan memang. DBL selalu ada. Tiap tahun selalu masuk mengadakan event, tapi itu tingkat SMA. Pembinaan di kelompok umur lainnya mana? Selama ini di Papua, kalau saya mau bilang, tidak ada Perbasi Cup. Perbasi ke mana?

Dari waktu saya masih sekolah sampai sekarang sudah begini, tidak ada event begitu. Yang selalu diadakan hanya antarklub. Itu pun diadakan oleh klub. Ada kelompok umur ada kelompok bebas. Itu selalu dari klub lokal. Mungkin daerah lain juga mengalami. Mungkin saja. Bahkan, mungkin lebih parah.

Saya pikir, Perbasi selama ini tidur. Mereka harusnya meningkatkan pembinaan. Pemain-pemain muda Papua hebat-hebat. Itu harus dikembangkan.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan klub untuk mengadakan event. Harus ada yang bergerak dari Perbasi. Tidak bisa kita mengandalkan event-event lain untuk seleksi.

Selama ini, pemantauan dilakukan di DBL. Dilakukan lewat antarklub. Tidak ada yang lain. Seakan-akan tim basket di Papua berdiri tanpa Perbasi. Ini sangat disayangkan, terutama menjelang PON. Ini, kan, kita sedang mendekati PON tahun depan. Papua tuan rumah.

Saya pikir, pekerjaan rumah yang paling besar itu ada pada saat menjelang PON seperti ini. Kami pernah mendapat perunggu pada 2016. Itu harus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Setelah PON 2016, seharusnya ada pergerakan yang cepat untuk menyiapkan atlet untuk PON tahun depan di Papua.

Kenapa saya menyinggung soal ini? Karena hampir dua-tiga tahun terakhir tidak ada pengumpulan pemain untuk seleksi PON. Padahal kami ini pernah mendapat perunggu. Seolah-olah usaha kami dulu tidak menjadi motivasi. Seolah-olah usaha kami dulu gampang saja. Padahal ada proses yang berat untuk mendapat perunggu. Sedangkan cabor-cabor lain sudah melakukan TC dan lain-lain.

Basket yang notabene memiliki prestasi di PON kemarin malah belum disiapkan. Beberapa cabor yang berprestasi malah disiapkan belakangan. Sementara cabor-cabor yang baru sudah disiapkan.

Selama tiga tahun setelah selesai PON, Perbasi ke mana? Itu yang saya tanyakan. Saya berani bicara begini karena sangat menyayangkan itu. Kami meraih hasil positif, tiba-tiba keadaan seperti itu. Mengapa Perbasi tidak melihat itu sebagai tolok ukur membangun sebuah tim yang lebih baik, yang lebih siap dari kami. Siapa tahu mereka bisa mendapat hasil yang lebih baik.

Saya pernah berbincang dengan teman-teman saya yang kemarin bertanding di PON. “Eh, ini seperti usaha kita di PON kemarin sia-sia.” Seperti gampang saja. Kami ambil perunggu, terus pulang. Tidak ada prosesnya.

Itu baru keluhan dari pemain, belum dari pelatih dan pengamat bola basket di Papua. Baru pemain. Cuma kalau dilihat lagi, saya pikir kami punya pendapat yang sama semua. Kalau nanti tidak berprestasi, jangan sampai menyalahkan atlet. Atlet hanya bermain. Yang punya tugas untuk membina, mengumpulkan pemain untuk menjadi sebuah tim, yaitu Perbasi.

Kalau begini, mereka tidak melihat proses kami yang dulu berjuang. Itu tidak mudah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kenapa saya berani bicara begini? Karena orang yang duduk di atas bukan orang yang mengerti bola basket. Itu pekerjaan rumah yang besar untuk kami. Semuanya.

Terus, apa yang akan kamu lakukan, Sam?

Kami selalu berbagi. Kami punya pengalaman, bagikan itu kepada adik-adik. Kami beri gambaran supaya mereka tahu seperti apa perjuangannya, tahu seperti apa yang harus dilakukan supaya bisa lebih baik. Bahkan, bukan sekadar tahu, mereka harus bisa lebih baik.

Saya selalu mengingat kepada adik-adik, jangan cepat puas karena jalan masih panjang. Jangan pernah puas satu-dua progress yang sudah dilewati. Jangan merasa saya sudah bisa. Tetap latihan.

Kalau mau dibilang, semakin lama kita latihan, maka semakin harus lebih baik. Harus terus menggenjot program latihan. Tidak bisa di situ-situ saja. Terus berlatih dan jangan cepat bosan. Harus haus akan ilmu dan pengalaman.

Kadang pemain-pemain muda ini begini, “Ah, saya sudah MVP, tidak perlu latihan.” Cepat puas adik-adik ini. Jangan begitu. Dekat pertandingan baru latihan. Nah, tidak boleh itu.

Itu hal-hal yang kami harus ubah. Itu tugas kami sebagai pelatih, membimbing mereka untuk tidak pernah cepat puas, memasukkan semua ilmu agar mereka terus berkembang. Soalnya kita tidak tahu akan seperti apa ke depannya. Anda tidak tahu di depan bagaimana. Tiba-tiba di depan Anda cedera, grafik Anda menurun, Anda tidak dipakai. Itu merugikan.

Saya sebagai senior, hahaha, sudah jadi senior, ya? Kami sebagai kakak harus membimbing adik-adik supaya lebih hebat dari kami.

Oke, Sam, semangat terus. Kita sudahi dulu obrolannya. Nanti kita ngobrol lagi. Senang bisa bertemu di sini!

Oke, sama-sama.   

Foto: Alexander Anggriawan

Komentar