Keberhasilan tim putra SMA Bukit Sion Jakarta menjadi juara untuk kedua kalinya secara beruntun mencatatkan sejarah sendiri sejak Honda DBL pertama kali digelar di Jakarta 2011 lalu. Buksi (sebutan SMA Bukit Sion) menjadi satu-satunya tim yang mampu juara back to back sebanyak dua kali. Sebelum gelar di tahun 2018 dan 2019, Buksi juga pernah mencatatkan back to back pada 2014 dan 2015.
Di balik back to back kedua ini, ada satu nama yang rasanya layak mendapat apresiasi yaitu Kepala Pelatih mereka, Jap Ricky Lesmana. Pelatih yang akrab disapa Ricky ini berhasil membangun tim yang seolah memiliki semangat juang tiada henti. Baik tim utama atau cadangan, Buksi selalu bermain dengan gaya dan semangat yang sama.
Ricky juga akhirnya berhasil lolos dari ujian SMAN 71 Jakarta di partai puncak Honda DBL DKI Jakarta Series 2019. Sempat beberapa kali tertinggal, Ricky berhasil membuat beberapa keputusan yang tepat di akhir gim hingga akhirnya Buksi berhasil membalik keadaan. Salah satunya adalah dengan terus memainkan MVP, Nicholas Davin Godjali.
Saya pun akhirnya berbincang dengan Ricky. Perbincangan saya berlangsung usai partai semifinal, tapi saya sempat juga berbincang santai dengannya seusai Buksi meraih juara. Satu hal yang pasti, Ricky memiliki gaya berbicara yang penuh semangat dan berapi-api, kapanpun kami berbincang.
Halo Coach Ricky, selamat atas keberhasilan lolos ke final. Bagaimana pendapat Anda tentang gim melawan SMAN 28 Jakarta?
Awal-awal para pemain terlalu terburu-buru dan ingin main sendiri. Hal itu bikin anak-anak jaganya jadi ga bagus dan kita sempat ketinggalan. Setelahnya, anak-anak akhirnya mulai sadar dan mau mendengarkan kami (tim pelatih). Pergerakan tanpa bola yang baik ditambah tembakan jarak jauh yang bagus jadi kunci kemenangan kami.
Bicara tentang Buksi yang terus-terusan mendominasi di Honda DBL DKI Jakarta, kuncinya apa sih?
Kuncinya regenerasi dan latihan yang konsisten. Mendekati Championship Series, kami latihan setiap hari selama tiga minggu. Kami juga mengikuti beberapa turnamen lain di jeda tersebut. Kami sempat bertanding melawan PPOP (Ragunan) dan dibantai lebih dari 30 poin. Namun, dari kekalahan itu, kami bisa melakukan evaluasi untuk bertanding di Honda DBL.
Dengan tim yang nyaris selalu menang besar di Honda DBL, bagaimana caranya menjaga mental para pemain supaya tidak jemawa?
Itu dia, itu adalah hal yang paling susah. Itu juga yang sering membuat saya marah-marah di lapangan, mereka tidak boleh meremehkan lawan. Kalau mereka tidak mau mendengarkan saya, ya saya ganti mereka supaya mereka bisa memikirkan hal itu dengan lebih baik. Setiap hari saya bilang ke mereka,”Jangan pernah merasa sudah cukup bagus.” Jika pemain sudah merasa seperti itu, maka mereka tidak akan berkembang.
Honda DBL ini punya aturan respect the game. Tim Anda, adalah tim yang terbiasa menang besar dan pastinya bertemu dengan aturan ini. Bagaimana Anda menilai aturan ini?
Aturan ini menurut saya sudah oke. Di technical meeting sebelum Honda DBL mulai, kami sudah membahas tentang kesulitan untuk menjaga tripoin lawan. Namun, ternyata diperbolehkan untuk contest shot, jadi ya sudah tidak ada masalah di sana. Saya paham maksud aturan ini supaya tidak ada selisih poin yang terlalu jauh. Namun, kalau memang jarak kualitas kedua tim terlalu jauh, ya memang respect the game tidak bisa membantu.
Ada juga yang beranggapan, dengan respect the game, potensi tim yang unggul akan terkejar semakin besar. Menurut saya, pemikiran ini non-sense. Kalau memang benar bisa terkejar, berarti memang tim itu saja yang tidak bisa menjaga permainan mereka.
Tahun lalu, Anda berangkat ke Amerika Serikat menjadi bagian dari tim Honda DBL All Star. Apa yang bisa Anda dapat dari sana?
Banyak ya yang bisa dapat. Tetapi, satu hal yang saya lihat di Amerika Serikat adalah penekanan mereka terhadap fundamental basket. Semua hal, saat menyerang, bertahan, fundamental harus baik. Mungkin secara prioritas, Amerika Serikat memang lebih ke menyerang dan kondisi fisik para pemain. Hal ini yang saya coba terapkan di Buksi tahun ini.
Coach Ricky, banyak orang di luar sana yang melihat Anda sebagai pelatih yang suka marah-marah di lapangan. Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Saya sendiri tidak ambil pusing tentang hal itu. Saya marah-marah karena ada maksudnya, maksud yang baik untuk para pemain saya. Saya sudah melatih hal itu di latihan dan para pemain gagal melakukannya di lapangan. Tetapi, selama mereka melakukan semuanya dengan benar, saya pasti akan puji mereka dan mendorong mereka untuk lebih baik lagi.
Saya tidak peduli omongan orang, karena saya marah-marah tapi saya bawa hasil, saya bisa berprestasi. Saya pribadi juga tidak pernah main tangan ke anak-anak, jadi semua ada maksudnya. Saya rasa, pada dasarnya semua pelatih pasti pernah marah. Ambil contoh pelatih Stapac musim lalu, juga marah-marah di lapangan tapi berujung menjadi juara.
Terakhir, bagaimana Anda melihat perkembangan basket di Jakarta dan apa harapan Anda untuk masa depan?
Basket di Jakarta kalau saya ngomong jujur bisa dibilang menurun. Saya berharap, para pelatih muda yang ada di Jakarta bisa terus belajar dan mendidik para pemain bisa lebih bagus lagi. Saya dan para pelatih SMA ini harus sadar bahwa basket di usia dini ini yang akan membentuk tim yang kuat di usia senior.
Jika kita tidak mengembangkan diri, maka akan sudah untuk kita mengejar juara Asia, atau bahkan Asia Tenggara saja. Pesan saya lainnya untuk para pelatih pemain muda supaya tidak gampang meninggikan hati para pemainnya. Jika hati pemain sudah tinggi sejak dini, mereka tidak akan sadar mereka masih banyak kekurangan dan mereka tidak akan berkembang.
Foto: Dika Kawengian, Mohamad Taufiq Hidayatullah