Steve Richardo, kapten SMA BOPKRI 1, berdiri sebaris bersama anggota First Team Honda DBL D.I. Yogyakarta Series 2019 lainnya. Panitia hendak mengumumkan peraih gelar Most Valuable Player (MVP). Steve berharap dirinya terpilih.

Kebetulan pembawa acara memanggil namanya. Mimpi Steve berubah jadi kenyataan. Ia benar-benar terpilih sebagai pemain terbaik. Steve senang dibuatnya. Apalagi setelah itu ia keluar sebagai juara.

Steve membantu tim sekolahnya mengalahkan SMAN 2 Yogyakarta. Itu merupakan gelar juara kedua sekaligus terakhirnya. Bagi Steve, menjadi juara dan MVP pada tahun yang sama adalah penutup manis masa SMA.

Usai pertandingan, saya menemui Steve di bangku cadangan. Kami berbincang tentang berbagai hal. Pemain kelahiran 18 November 2002 itu menjawab dengan senang hati.

Selamat untuk gelar juara dan MVP tahun ini! Apa pendapatmu soal final malam ini?

Pertandingan final seru. Kami sempat kewalahan di kuarter satu, tapi di kuarter selanjutnya—puji Tuhan—bisa lanjut terus.

Apa yang bikin kalian kewalahan?

Overconfident setiap orang per orang.

Apa yang kemudian Pelatih lakukan? Kasih tahu untuk tidak terlalu percaya diri?

Iya, kami main overconfident. Dikasih tahu sama Pelatih. Dibikin supaya kami tidak begitu lagi.

Akhirnya juara meski sempat kewalahan. Perjalanan kalian seperti apa secara keseluruhan? Persiapan tim dan individu seperti apa?

Ini persiapan tim dulu. Persiapan tim latihan seminggu tiga kali: Selasa, Kamis, Jumat. Latihan terus. Asah sistem, asah fisik.

Kalau latihan individu, aku lebih ke menguatkan badan. Kayak fitness. Terus, berusaha menaikkan akurasi tembakan. Menaikkan fundamental basket.

Sorry, kamu sudah kelas berapa?

Sudah kelas 12.

Seberarti apa gelar juara dan MVP terakhir ini?

Berarti banget. Aku secara pribadi belum pernah terima MVP sama sekali. Jadi, begitu aku terima, syok saja.

Buat jadi motivasi ke depannya?

Iya, buat motivasi biar aku lebih sering latihan. Biar sering latihan. Setelah MVP ini, aku ingin ikut kamp ke Surabaya. Aku juga ingin jadi All-Star. MVP ini motivasi aku untuk bisa jadi All-Star.

Sebelumnya pernah ikut kamp?

Belum.

Cuma Dearren doang? Tapi, pernah dengan soal kamp?

Iya, dari Dearren.

Berarti tahu soal kamp. Harapannya ingin belajar apa saja?

Harapanku ingin jadi DBL All-Star. Cuma aku pasti dapat banyak ilmu di sana. Aku tahu di sana berat dan butuh fisik yang kuat, maka aku harus menaikkan fisik.

Kalau tidak salah sekitar seminggu lagi kamp. Apa yang perlu dipersiapkan dalam waktu sedekat itu?

Loh, iya seminggu lagi? Berarti aku harus lebih intens lagi.

Cukup tidak seminggu atau dua minggu persiapan?

Kalau latihannya terus-menerus, mungkin, cukup. Ya, dicukup-cukupkan saja. Harus cukup.

Kamu sudah main basket dari kapan sebenarnya?

Dari kelas 6 SD.

Sudah lama banget. Ada 6—7 tahun.

Iya, waktu umur 12. Ada enam tahunan.

Kenapa main basket?

Karena orang tua.

Keturunan?

Iya, karena orang tua mengenalkan basket sama aku. Sebelumnya aku, kan, main futsal. Cuma keluargaku pada main basket, ya sudah aku ikut juga. Daripada ikut futsal sendirian.

Bakal diseriusi? Atau malah sudah serius?

Bakal diseriusi.

Mau pro?

Mau, mau.

Tim apa yang kamu idolai? Tim yang ingin kamu masuki?

Belum kepikiran kalau itu. Soalnya aku masih berpikir untuk masuk universitas mana. Bakal sambil main pro pas di universitas itu.

Oh ya, kamu harus main basket, harus belajar juga. Sempat kesulitan bagi waktu?

Tidak. Tidak, sih, sejauh ini.

Ada caranya? Tidak semua orang bisa, loh.

Ya, aku kalau belajar di sekolah saja. Dimaksimalkan. Kalau di luar itu ya basket. Aku hampir setiap hari latihan basket. Rest hari Minggu.

Lebih penting mana antara pendidikan sama basket?

Dua-duanya penting, hehehe. Harus dimaksimalkan dua-duanya. Soalnya basket itu kayak hidupku. Pendidikan itu bisa menopang hidupku juga.

Sudah basket selama enam tahun, dapat apa saja?

Soal manage waktu. Dapat teman banyak sama anak-anak. Aku juga belajar untuk lebih sadar, mengontrol emosi.

Sempat bosan tidak?

Sempat, waktu kelas 8 SMP sempat bosan.

Why?

Karena aku masuk sekolah basket, tapi malah tidak dukung sekolahnya. Aku pikir, buat apa masuk sekolah basket, tapi tidak didukung. Ya sudah, aku pikir mending rest saja. Cuma ternyata tidak bisa. Balik lagi waktu kelas 9 SMP.

Sebelum main di DBL, pernah bermimpi untuk main di sini?

Pernah.

Apa yang bikin kamu ingin main di DBL?

Ingin First Team, ingin champion. Ingin First Team dan merasakan jadi champion.

Akhirnya sudah tercapai semua, bahkan MVP, bersyukur banget dong?

Iya, bersyukur banget.

Soal MVP, kira-kira apa yang bikin kamu mendapat gelar itu? Kalau tanya ke yang lain, jawabannya pasti beda-beda. Menurumu pribadi?

Aku pribadi bisa menjadi MVP karena dukungan teman-teman. Mereka sering support. Di lapangan, mereka bantu aku. Tidak cuma aku, sih, tapi juga Dearren dan lainnya.

Kamu berarti sudah dua kali juara?

Iya, dua kali sama tahun lalu.

Dua kali juara bareng Dearren. Seperti apa, sih, anaknya?

Dari mainnya? Kalau di lapangan, kami bisa klop banget. Aku passing Dearren, sudah tahu harus ke mana. Dearren passing aku, sudah tahu aku ke mana. Maksudnya, waktu main di lapangan sudah enak. Dapat chemistry-nya.

Kamu kapten juga. Berat tidak jadi seorang pemimpin?

Berat. Berat mengatur anak-anak. Bandel banget, hahaha.

Cuma jadi ringan karena dibantu pelatihnya. Siapa namanya? Mas Yusuf?

Iya, Coach Yusuf. Selalu dapat masukan soal teman-teman. Misal anaknya begini, aku harus bagaimana. Aku selalu diminta jadi contoh buat yang lain.

Kalau pelatihnya seperti apa?

Asyik saja. Kalau di dalam lapangan pasti serius. Cuma begitu di luar lapangan, pasti asyik. Bisa diajak bercanda.

Selanjutnya apa lagi yang mau dikejar?

Yang pasti kamp dulu. Terus, mau masuk universitas.

Sebelum itu UN dulu kali.

Oh iya, ada UN dulu tahun depan.

Kamu punya cita-cita apa, sih?

Belum tahu, tapi aku ingin jadi pemain pro.

Ada semacam role model tidak untuk mencapai itu?

Kalau di basket, di Indonesia, Arki Wisnu. Kalau di NBA, Antetokounmpo.

Kenapa menjadikan mereka role model?

Kalau Arki, dia pelan tapi pasti. Aku harus belajar dari dia. Arki mainnya bisa mengontrol tim.

Kalau Giannis, aku lihat eksplositivasnya. Aku harus bisa bermain kayak dia.  

Oke, kalau begitu aku sudahi wawancaranya. Terima kasih sudah mau ngobrol bareng. Sampai jumpa di Surabaya!

Oke, Kak, terima kasih. Sampai jumpa juga!

Foto: DBL Indonesia

Komentar