Lari maraton berjarak 26,2 mil (42,195 km) menjadi salah satu tantangan paling bergengsi sekaligus terberat di dunia. Mencapai garis akhir saja sudah jadi capaian luar biasa bagi seorang pelari. Maka dari itu, mencetak waktu tercepat untuk maraton jadi hal fantastis. Mitos menyebut bahwa tak mungkin bagi seorang manusia untuk bisa menyelesaikannya kurang dari dua jam.

Eliud Kipchoge, pelari asal Kenya berusia 34 tahun, minggu lalu sukses mematahkan mitos tersebut. Dalam sebuah ajang maraton eksperimental bertempat di Vienna, Austria, ia berhasil mencatatkan waktu 1 jam 59 menit dan 40,2 detik. Bila kita bagi lagi dalam lingkup kecil, ia menyelesaikan 1 mil (sekitar 1,6 km) hanya dalam 4:34 menit dan melakukannya berulang-ulang 26,2 kali. 

Rekor di bawah dua jam Kipchoge tidak "diamini" oleh Organisasi Atletik Internasional (IAAF) karena bukan ajang terbuka. Walau begitu, Kipchoge masih memegang catatan maraton tercepat dalam 2:01:39 yang dibukukan saat Maraton Berlin tahun 2018.

Hasil Program Jangka Panjang

Kipchoge memakai sepatu Nike ZoomX VaporFly NEXT% saat membukukan rekor tidak resminya itu. Asal muasal pembuatan lini Vaporfly bernaung dalam sebuah proyek jangka panjang bernama Breaking2 yang diinisiasi pada November 2016. Visinya adalah membantu atlet agar dapat pecahkan mitos bahwa manusia tidak bisa menyelesaikan maraton di bawah dua jam. Ada tiga atlet dari Benua Afrika yang ditunjuk: Eliud Kipchoge (Kenya), Zersenay Tadese (Eritrea), dan Lelisa Desisa (Ethiopia). Ketiganya pelari kelas wahid level internasional.

Pada 6 Mei 2017, diadakan tes guna menguji apakah sepatu lari jarak jauh milik Nike bisa membantu. Tempat dilaksanakannya uji coba berada di Formula One Autodromo Nazionale Monza di Italia. Kipchoge menyelesaikannya dalam 2:00:25. Catatan tersebut, seperti halnya yang terbaru, juga tidak diakui IAAF karena tidak dilakukan di ajang perlombaan lari terbuka. 

Bedah Sepatu

Nike belum mengeluarkan rilis resmi tentang sepatu yang dipakai Kipchoge di Vienna. Meski demikian, ada beberapa pihak yang mencoba melihatnya lebih dalam. Pembedahan sepatu jadi menarik karena Nike mengutarakan bahwa sepatu ini bisa meningkatkan performa dan kecepatan pelari sebesar 4%. Laman Wired dan The New York Times juga mengeluarkan hasil penelitian terhadap pelari yang memakainya. Ben Hobson, pewarta untuk Runner’s World, mencoba menjabarkan strukturnya.

1. Bagian atas (upper)

Bahan dasarnya adalah nilon yang dianyam, biasa disebut knit. Kali ini Nike menggunakan bahan baru bernama AtomKnit. Hobson menyebut bahwa proses pembuatannya adalah dengan cetak tiga dimensi. Ketebalan berbeda di setiap bagian sesuai dengan fungsi dan kebutuhan. Hal itu dibuktikan dengan panel medial samping luar yang tampak lebih mengkilap dari bagian lain.

Bahan anyam di bagian punggung kaki menyerupai dengan knit yang biasa diadopsi untuk sepatu lari yang dijual secara umum. Pori-pori dibuat lebih kentara berfungsi sebagai ventilasi agar sirkulasi udara di bagian tersebut lancar. Bahan ini sengaja dibuat elastis guna mengikuti gerak otot kaki dan ringan sehingga bisa menghemat bobot. Maka, wajar bila kini banyak sekali sepatu dengan bahan atas knit karena fungsional.

2. Bantalan pada sol samping (midsole)

Strukturnya terbilang tebal. Nike menyematkan tulisan ZoomX menandakan bahwa solnya menggunakan bantalan Zoom yang biasa kita lihat di sepatu basket ternama. Terdapat dua pod udara dengan bentuk dan posisi yang hampir sama dengan Nike LeBron 17, ditempatkan di bagian depan berdekatan dengan jemari. Bagian tumit didukung dengan bantalan plastik Pebax tebal karena menerima berat badan paling besar.

3. Sol bawah (outsole)

Karet masih jadi pilihan utama. Namun, bisa dilihat bahwa bagian depan dari sepatu Kipchoge terdapat selapis sol karet tebal berwarna hitam. Fungsinya adalah sebagai pengunci kekesatan guna memaksimalkan momentum saat kaki menyentuh tanah sebelum diayunkan kembali. Akselerasi juga turut terdongkrak lewat fitur ini karena dorongan kaki saat pijakan pertama menghasilkan tenaga dorong yang sangat besar. Gaya dorong tersebut harus diantisipasi dengan karet yang lebih tebal juga kesat agar pelari tidak terpeleset. Bantalan EVA berjenis Pebax pada bagian tumit dilapisi pula dengan karet namun dengan tekstur dan tebal yang berbeda.

4. Plat Karbon

Laman Runner’s World menyertakan cetak biru desain ZoomX VaporFly Next% yang telah didaftarkan ke Badan Paten dan Hak CIpta Amerika Serikat. Terlihat ada bagian yang memanjang di bagian depan hingga ke tengah kaki. Melansir Wired, plat itu adalah penyeimbang sepatu agar energi tersalurkan dari depan ke belakang dengan baik, begitu pun sebaliknya. Di sisi lain, plat itu berfungsi agar kaki tetap berada di posisi yang benar sehingga dipercaya dapat mengurangi cedera. Prakteknya kurang lebih sama dengan plat Torsion yang ada di beberapa edisi sepatu lari adidas.

Wouter Hoogkamer, ahli biomekanika dari University of Colorado Boulder, menjabarkan kepada laman Wired bahwa efektivitas 4% itu dihasilkan dari plat karbon dan bantalan Pebax. Kombinasi keduanya menghasilkan daya dorong kembali (Energy return) yang membantu pelari meningkatkan kecepatan namun dengan tenaga lebih kecil. Plat karbon juga mendukung kinerja otot pergelangan kaki hingga betis sehingga otot kaki bisa bekerja lebih efektif.

Catatan tambahan

Lalu, apakah prestasi Kipchoge dipengaruhi oleh sepatu yang dipakai? Bisa saja ya. Bisa juga tidak. Kipchoge adalah atlet lari profesional yang sarat prestasi internasional. Umur 18 tahun, ia sudah memenangkan IAAF World Cross Country Championship. Sejak kecil ia rutin berlari setidaknya 2 mil (3,2 km) setiap hari saat berangkat sekolah. Porsi larinya per hari terus bertambah seiring dengan keseriusannya menekuni olahraga lari.

Sepatu yang dipakai membantunya dalam meraih prestasi selanjutnya. Namun, latihan dan kerja keras jadi faktor terbesar. Gemerlap produk mentereng nan mahal tidak akan berdampak apapun bila tidak ada motivasi untuk berlatih dari dalam diri. Oleh karena itu, prestasi Kipchoge di kancah maraton adalah hasil kombinasi antara latihan ekstra didukung dengan peralatan mumpuni dan tentu saja kekompakan tim.

Foto: US Patent and Trademark Office, Associated Press, Nike

Komentar