“reviewer (sepatu) ngk bisa lay up didenger.”

Begitu komentar @indokicksoncourt di salah satu unggahan @mainbasket di instagram. Saya tersenyum. Hampir tertawa karena tentu saja setuju.

Semuanya berawal beberapa waktu lalu ketika saya tonton beberapa pengulas sepatu dari Indonesia di youtube. Mereka mengulas kelebihan dan kekurangan sebuah sepatu basket. Bukan tampilannya, tetapi sisi fungsionalnya.

Sebelum mengulas, mereka terlebih dahulu mencoba sepatu-sepatu tersebut. Ada yang mencoba dengan bermain bersama teman-temannya, ada juga yang mencoba sendiri dengan beberapa gerakan basket. Setelah itu, mereka mengulas kelebihan dan kekurangan sepatu tersebut, hingga akhirnya memberikan nilai atas sepatu tersebut di akhir video.

Saya geleng-geleng kepala. Bagaimana caranya para pengulas sepatu ini berani memberi skor dari sisi fungsional kepada sepatu-sepatu ternama yang bahkan dikenakan oleh para pemain bintang NBA?

Kalau sekadar menilai penampilan luar, dalam, atau desainnya, maka tidak masalah. Karena yang dikedepankan adalah faktor estetika yang subyektif. Namun sisi fungsionalnya? Saya langsung ingat kata-kata Greta Thunberg di markas PBB beberapa hari lalu, “Berani-beraninya kamu!”

Saya juga kemudian membayangkan beberapa sepatu basket ikonik yang punya catatan sejarahnya masing-masing. Bila sepatu-sepatu ini diberikan kepada para pengulas sepatu itu untuk diulas, saya ragu sepatu-sepatu tersebut dapat nilai bagus. Dapat nilai tengah-tengah saja rasanya sulit. Atau jangan-jangan, para pengulas sepatu tersebut lebih dulu apriori melihat sepatu-sepatu tersebut. Ini di antaranya.

Nike Bruin

Ini adalah salah satu sepatu basket pertama (ada yang bilang paling pertama) dari Nike. Namanya diambil dari tim basket NCAA UCLA Bruin tahun 1970. Daftar gelar juara Bruin di NCAA segudang. Nike Bruin juga dipakai oleh beberapa pemain NBA tahun 70-an.

Converse

 

Entah apa nama spesifik keluaran Converse ini. Entah berapa pula nilai yang akan diberikan para pengulas fungsi sepatu atas sepatu ini. Syukur-syukur gak ditolak.

Sepatu di atas dikenakan oleh Michael Jordan saat meraih emas olimpiade di tahun 1984. Amerika Serikat menang lawan Spanyol saat itu. Ok, sepatu ini sedikit saja terlihat seperti sepatu basket masa kini, tapi Jordan memakainya dan melibas Spanyol di olimpiade. Hmm..

Converse Chuck All Star

Sepatu sejuta umat! Saya gak akan percaya siapapun yang mengatakan bahwa sepatu ini tidak baik untuk basket. Kecuali yang bicara adalah Bill Russell.

Adidas Shooting Star

 

Namanya tidak terlalu populer. Bentuknya pun “gak basket banget”. Namun sama seperti Converse Chuck All Star, bila ada yang bilang bahwa sepatu ini tak baik untuk basket, maka saya tak akan percaya. Kecuali orang yang mengatakan itu adalah Kareem Abdul Jabbar!

Puma Clyde

Banyak contoh-contoh sepatu lainnya. Saya ambil lima saja. Salah satunya adalah Puma Clyde. Bentuk dan tampilannya mirip-mirip Puma Suede. Saya lagi malas cari tahu lebih jauh. Jangan-jangan ini adalah sepatu yang sama. Saya tidak akan heran kalau sepatu ini akan dikatakan sebagai sepatu skateboard. Karena memang benar juga. Tapi kalau ada yang bilang ini bukan sepatu basket, tunggu dulu. Walt Frazier, garda New York Knicks era 70-an meraih dua gelar juara NBA dengan sepatu ini. Masih berani bilang sepatu ini bukan.. ..ah, sudahlah.

Sepatu basket kerap jadi kambing hitam pertama yang dicari-cari ketika seorang pemain cedera. Padahal, sepatu basket, sedikiit saja memengaruhi hal tersebut. Cedera seorang pemain disebabkan oleh banyak faktor. Untuk menghindari peluang risiko cedera yang besar, pemain-pemain, tentunya para pemain NBA melakukan latihan dengan benar. Baik penguatan otot dan latihan teknik bermain yang benar.

Saya tiba-tiba ingat Thabo Sefolosha. Saya jadi ingin bilang ke dia kalau Nike Air Max itu sepatu lari. Jangan dipakai basket. Hahahaaa.

Masalahnya, banyak dari kita sudah terjangkit oleh pemahaman –akut- bahwa sepatulah faktor terpenting dalam menghindari cedera. Pemahaman keliru ini bisa jadi diperkuat oleh para pengulas fungsional sepatu basket tadi.

Sekali lagi, bukan sepatunya. Tapi latihannya!

Kalau memang mau menyalahkan sepatunya, jangan setengah-setengah. Puji pula seorang pemain hebat bukan karena bakat dan latihan kerasnya. Tetapi karena sepatunya. Seperti keyakinan Mars Blackmon (Spike Lee) bahwa Michael Jordan itu jago karena sepatunya!

Terakhir, saya ingin kita melihat Stephen Curry. Walau engkel kakinya rentan cedera, dua sepatu Curry (6 dan 7) terakhir cenderung mematahkan pemahaman umum bahwa sepatu tinggi (high top) berfungsi melindungi engkel. Kalau anggapan tersebut benar, tak ada alasan sepatu Curry berdesain low top atau medium top (walau Curry masih mengenakan tambahan pelindung engkel). Alih-alih bergantung kepada desain sepatu, Curry bersama pelatih pribadinya (Brandon Payne) lebih fokus ke latihan penguatan.

Kalau para pemain legendaris NBA itu bisa juara karena sepatu-sepatu sederhana, barangkali kita memang sebaiknya berhenti melihat ulasan sepatu berdasarkan fungsinya. Cukup buka hypebeast.com saja. Untuk tahu, sepatu mana yang membuat kita jadi terlihat tambah cantik atau ganteng. Kalau ingin tambah jago dan terhindar cedera, yaa latihanlah! (*)

Komentar