Partai semifinal Honda DBL Bali Series 2019 kategori putri menyajikan partai klasik antara SMAN 1 Denpasar (Smansa) melawan SMAN2 Denpasar (Resman). Partai ini dibilang klasik karena kedua sekolah ini sudah kerap bertemu di partai puncak gelaran-gelaran sebelumnya. Namun, Smansa selalu berhasil keluar menjadi pemenang.
Dalam partai semifinal kali ini pun cerita tak berubah. Meski sempat terjadi aksi saling kejar, Smansa berhasil memimpin dan melesat di awal kuarter empat. Hal ini membuat tim juara delapan kali Honda DBL ini menutup gim dengan kemenangan 60-50 dan membuat Smansa lolos ke final.
Meski kalah, Resman berhasil memberikan perlawanan yang luar biasa dan menyajikan pertandingan yang seru di GOR Purna Krida, Kerobokan, Bali. Perlawana tersebut dipimpin oleh garda mungil nan enerjik mereka, Putu Putri Nandini Utami. Bermain selama 28 menit, dara yang akrab disapa Nandini ini mengemas 30 poin, 1 rebound, 5 asis, serta hanya membuat 3 turnover.
Seusai gim, kami berhasil berbincang dengan pemain yang masih duduk di kelas 11 ini. Kami harus “menculiknya” dari beberapa temannya yang mengajak berbincang dan berswafoto. Meski begitu, Nandini menjawab pertanyaan kami dengan ceria dan tegas bersama tentu saja logat Bali nan kental.
Nandini! Ayo ngobrol-ngobrol sebentar!
Oh, iya kak, ayo-ayo!
Sederhana dulu, komentar kamu tentang gim tadi bagaimana?
Gimnya ya seperti itu tadi, kami belum maksimal dan harus menelan kekalahan. Namun, kami bakal berusaha meningkatkan permainan kami untuk tahun depan.
Kamu kan sudah gagal lolos ke final, target berubah ke individu seperti First Team atau MVP gitu?
Kalau itu saya sama sekali belum memikirkan. Field goal saya masih jelek banget, mau ngomong MVP rasanya jauh sekali. Tak terpikir ke sana. Saingan juga banyak dari tim lain.
Bicara field goal dan performa, kamu sendiri menilai penampilan kamu selama Honda DBL ali Seris 2019 ini seperti apa?
Gatau deh saya, saya sebenarnya cukup kecewa dengan permainan saya. Jelek dan belum maksimal, harus bisa lebih baik tahun depan.
Kamu kan berangkat All Star tahun lalu. Banyak yang berubah ga dari permainan kamu?
Kalau saya ngerasanya banyak. Skill saya nambah, pengetahuan tentang basket saya juga nambah. Tapi, di sisi lain saya juga tertekan mainnya.
Tertekan? Gimana maksudnya?
Ya tertekan Mas. Sering kepikiran,”Masa All Star tahun lalu mainnya jelek.”
Justru jadi beban dong?
Ya, terkadang cukup jadi beban sih kalau dipikir-pikir.
Tapi masih mau berangkat All Star lagi?
Mau! Jelas!
Apa sih enaknya ikut All Star?
Enaknya ya tadi, nambah wawasan, nambah skill, pengalaman bermain di luar juga cukup berbeda. Terus, siapa juga anak basket yang ga punya mimpi bisa ke Amerika Serikat? Semua pasti punya itu.
Kamu mau sampai kapan main basket?
Jujur yang ini saya sama sekali gatau. Karena, saya niatnya ga cari beasiswa basket di kampus-kampus itu. Saya ingin kuliah jurusan tata boga, pokoknya jadi juru masak.
Wah keren sekali! Itu mimpi kamu jadi juru masak?
Iya! Ingin banget jadi itu. Saya sendiri juga melihatnya kan teman-teman banyak yang kuliah ekonomi dan semacamnya. Nanti lulusannya jadi banyak yang seperti itu. Berhubung saya suka masak juga, ya saya ingin lanjut belajar sampai jadi juru masak.
Sudah bicara tentang orang tua tentang ini? dukungannya ke basket atau jadi juru masak?
Sudah bicara, ya didukung semuanya yang saya mau. Orang tua tahu saya suka keduanya, tapi saya memang inginnya kuliah jadi juru masak.
Keren Nandini! Terima kasih atas waktunya ya. Sampai jumpa lagi!
Ya Mas, terima kasih.
Foto: Ivan Dwi Kurnia Putra