Rabu, 11 September 2019. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3, mengembuskan nafas terakhirnya. Eyang—begitu orang-orang memanggilnya—meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, dalam usia 83 tahun.
Sehari setelah Habibie meninggal, setiap rumah di seluruh Indonesia—kalau bukan di Surabaya saja—mengibarkan bendera setengah tiang. Bagi saya, itu merupakan penghormatan tertinggi dari negara untuk seorang sosok negarawan. Saya tahu bahwa Habibie berada di level yang berbeda dari kebanyakan orang di Indonesia.
Saya kira, Habibie memang layak dikagumi. Selain terkenal sebagai seorang ilmuwan pembuat pesawat, ia juga seorang yang humanis. Beberapa kebijakannya manusiawi.
Salah satu kebijakannya yang paling saya ingat adalah tentang pers. Ia berperan menelurkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Regulasi itu menjadi semacam tonggak kebebasan pers di Indonesia. Sehingga dewasa ini pers bisa bekerja sebagaimana mereka seharusnya bekerja. Pers tidak lagi dibelenggu seperti pada rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto.
Pada zaman Orba, pers memang sempat dibelenggu. Beberapa yang vokal mengkritisi pemerintah dibredel. Majalah Tempo, misalnya, dua kali dibredel pemerintah pada 1982 dan 1994. Orba tidak menghendaki kebebasan berpendapat di muka umum. Nyaris semua pers yang ada hanyalah mesin propaganda Suharto. Independensi adalah omong kosong.
Negara Demokratis
Pascaera Orba, negara terasa lebih demokratis. Media bukan lagi corong pemerintah. Dialog publik muncul dengan variasi, termasuk dialog untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Sekarang bahkan muncul media-media alternatif, yang juga menjadi konsumsi publik, untuk melakukan dialog yang lebih bervariatif.
Orang-orang biasanya menyebut era setelah Orba sebagai Reformasi. Pada era itu, gagasan yang kita keluarkan dijamin secara konstitusional. Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan jaminan (constitutional guarantee) dalam perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap kemerdekaan mengemukakan pendapat.
Pasal 28 UUD 1945, misalnya, menyatakan secara tegas bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Lebih spesifik, pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pada intinya, kebebasan berpendapat adalah bagian dari hak asasi manusia dan hal itu dilindungi hukum.
Merawat Bola Basket
Ketika Indonesia menjadi lebih demokratis, masyarakat juga menjadi lebih bebas—cenderung terlalu bebas malah. Kita bisa melihat apa yang terjadi di media sosial belakangan ini. Orang-orang bebas berkomentar. Kadang-kadang keterlaluan.
Kendati demikian, bagi saya, kebebasan pers menjadi semacam pemantik semangat. Saya punya banyak cita-cita, tetapi satu cita-cita yang baru—atau sedang dipenuhi—adalah menjadi bagian dari pers. Saya ingin menjadi wartawan.
Sudah lima tahun berlalu sejak saya menulis pertama kali untuk Mainbasket. Saya masih ingat alasan saya memilih studi jurnalistik ketika kuliah. Itu karena Mainbasket. Sedikit banyak media ini ikut menyetir kehidupan saya.
Awalnya, saya sebenarnya ingin menjadi pemain bola basket. Namun, jalan menuju ke sana sangatlah terjal. Saya jatuh di tengah jalan dan menyerah.
Meski begitu, saya tidak bisa berhenti mencintai olahraga permainan ciptaan James A. Naismith ini. Apalagi bola basket telah menjadi bagian hidup saya sejak kelas lima SD. Saya pun memilih jalan lain demi terus mencintai olahraga yang saya sukai. Jurnalistik adalah salah satunya.
Suatu hari, saya pernah berdiskusi dengan seorang teman. Namanya Wibi Pangestu Pratama. Saat ini ia sedang bekerja sebagai wartawan Bisnis Indonesia di Jakarta. Wibi bertanya kepada saya tentang apa yang membuat saya mau masuk jurnalistik. Sebab, bagaimanapun, jurnalistik bukanlah dunia yang mudah. Kadang kala terlalu sulit malah.
Jawaban saya sederhana saja: Lewat jurnalistik, saya belajar menulis. Lewat menulis, saya belajar merawat ingatan. Bola basket punya banyak cerita. Cerita itu perlu disampaikan agar kelak menginspirasi lebih banyak orang untuk ikut mengembangkan olahraga ini.
Tanpa UU Pers, cita-cita saya tentu tidak bisa terwujud. Mimpi saya untuk ikut merawat bola basket tidak akan sampai. Sebab, media tidak akan hidup tanpa ada payung hukum yang melindungi kebebasannya. Media akan terus dibredel seandainya Habibie tidak mengesahkan UU Pers.
Oleh karena itu, saya semestinya ikut berterima kasih kepada Habibie. Meski tidak secara langsung, ia ikut membangun saya yang sekarang. Pada tiap udara yang saya hirup, ada andil Habibie di dalamnya. Saya bisa menulis tulisan ini dan menampilkannya di mainbasket.com pun karena Habibie. Sudah seharusnya kita ikut merawat kebebasan ini juga.
Terima kasih dan selamat jalan, Eyang!