Gim antara Prancis melawan Lithuania di putaran kedua, Sabtu, 7 September 2019, waktu setempat menyisakan cerita seru. Gim yang berkesudahan dengan skor 78-75 itu sempat diwarnai aksi protes keras dari kubu Lithuania. Mereka menganggap adanya kesalahan pengambilan keputusan oleh wasit saat gim tersisa 30 detik dan skor hanya berselisih satu poin saja.

Kala itu, Jonas Valanciunas, mendapatkan dua kali lemparan gratis usai dilanggar oleh Nic Batum saat akan melakukan layup. Tembakan pertama Jonas masuk dan tidak ada masalah. Masalah timbul di tembakan kedua. Hasil tembakan Jonas tak semulus tembakan pertamanya. Bola memantul di area ring yang lantas di tepis keluar oleh pemain Prancis, Rudy Gobert.

Menepis bola yang masih menggelindi di ring memang tidak masalah dalam aturan FIBA asal yang benar-benar ditepis adalah bola. Namun, tepisan Gobert ternyata tak mengenai bola. Ia menepis ring yang membuat bola kemudian memantul keluar. Dalam aturan, menepis ring atau jaring berarti goaltending.

Apa yang dilakukan Gobert langsung memancing reaksi dari bangku cadangan Lithuania. Seluruh pemain dan tim pelatih sontak berdiri dan mempertanyakan keputusan wasit. Namun, wasit tak menggubris dan bola terus bergulir. Satu penguasaan bola kemudian, Prancis melalui Nando De Colo menambah poin dengan tembakan medium.

Tanpa memiliki timeout lagi, Lithuania gagal merancang strategi serangan yang baik dan tak mampu menambah poin di sisa 15 detik pertandingan yang membuat Prancis menang. Usai gim, tampak dalam siaran langsung para pemain Lithuania dan Kepala Pelatih mereka, Dainius Adomaitis, berupaya berkomunikasi dengan wasit tentang kejadia lemparan gratis tadi. Namun sekali lagi, wasit tak bergeming dan langsung meninggalkan lapangan.

Dalam jumpa pers, Dainius mengungkapkan kekecewaanya dengan gamblang. Bahkan, ia tak sungkan lagi mengeluarkan kata kasar dalam bahasa Inggris di hadapan media. Menurutnya, semua yang terjadi di lapangan hari ini adalah lelucon.

Mereka (Lithuania) menganggap bahwa wasit dan FIBA tak menghargai kerja keras mereka. Dainius bahkan menyebut kecurangan kepada mereka sudah terjadi sejak gim sebelumnya melawan Australia. Ia merasa Australia menggunakan taktik rugby dan tak seorang pun dari wasit dan FIBA menggubris hal itu.

“Kalian harusnya menanyakan hal ini kepada FIBA, bukan saya,” ujar Dainius saat pertanyaan tentang wasit dilontarkan awak media. “Mengapa kalian bertanya kepada saya tentang kepemimpinan wasit? Ini sudah dua gim berturut bagi kami dan mereka terus menyulitkan.

“Ini benar-benar candaan! Ini bukan pertandingan basket, ini bukan sistem yang benar. Untuk apa sekarang mereka punya sistem VAR (Video Assistant Referee)? Anda tidak perlu menjadi pintar, Anda hanya perlu menjadi jujur. Hentikan pertandingan, lalu lihatlah apa yang terjadi. Pemain saya menghabiskan musim panas, dua bulan tanpa keluarga, tanpa mendaptkan bayaran untuk bermain di sini. Saya beri rasa hormat tinggi buat mereka, tapi tampaknya beberapa orang tidak memberi rasa hormat untuk pertandingan ini. Sekali lagi, ini benar-benar bercanda,” tutupnya.

Tak sampai di situ, Lithuania lantas juga mengirim surat protes secara resmi kepada FIBA. Kepastian ini kami dapatkan beberapa waktu setelah jumpa pers terjadi. Kepala Pelatih Stapac Jakarta asal Lithuania, Giedrius Zibenas, memberikan info tersebut dan lantas dikonfirmasi beberapa media basket di luar sana. Seperti yang diketahui, Ghibbi (sapaan akrab Giedrius) masuk dalam jajaran tim pelatih untuk tim nasional muda Lithuania. Sayangnya, FIBA  dikabarkan menolak surat protes tersebut.

VAR sendiri telah menjadi salah satu hal yang terus dibanggakan oleh pihak FIBA sebelum Piala Dunia 2019 Cina digelar. Sama seperti di sepak bola, kegunaan VAR adalah mengurangi potensi kesalahan pengambilan keputusan dari wasit tentang kejadian di lapangan. Caranya, wasit bisa menghentikan pertandingan dan memeriksa lagi kejadian yang baru saja terjadi.

Dalam kasus Lithuania, wasit tampak sangat yakin dengan keputusan mereka dan meninggalkan VAR begitu saja. Padahal, di gim-gim lain, VAR benar-benar digunakan bahkan untuk hal yang sifat urgensinya tak cukup tinggi. Di gim antara Turki melawan Republik Ceko, pelanggaran di tengah lapangan dengan waktu yang masih tersisa lebih dari dua menit bahkan dihentikan untuk melihat VAR. Wasit kala itu memastikan apakah pelanggaraan tersebut pelanggaran biasa (common foul) atau unsportsmanlike foul.

Minggu, 8 September 2019, FIBA melalui akun twitter mereka, @FIBA_Media memberikan pernyataan tentang kejadian Lithuania. FIBA mengakui adanya kesalahan pengambilan keputusan tentang kejadian lemparan gratis kedua Valanciunas. Apa yang dilakukan Gobert benar adalah sebuah goaltending.

“Setelah melihat tayangan ulang pertandingan Piala Dunia FIBA antara Prancis dan Lithuania yang bermain Sabtu, 7 September, FIBA teklah mengambil keputusan. Dalam percobaan lemparan gratis terakhir pemain Lithuania nomor 17 saat laga tersisa 30,8 detik di kuarter empat, pemain Prancis nomor #27 telah menyentuh ring saat bola masih bergulit di atasnya,” buka pernyataan tersebut.

“Keputusan yang seharusnya diambil adalah goaltending dan satu poin akan diberikan untuk Lithuania. Para wasit yang bertugas di gim ini tidak akan kembali memimpin di sisa gim yang Piala Dunia 2019 Cina yang ada,” tutup mereka.

Meski FIBA akhirnya mengakui kesalahan, nasib Lithuania tetap tak berubah. Mereka telah dipastikan gagal lolos ke perempat final usai mengantongi dua kemenangan dari empat gim yang sudah dimainkan. Mereka hanya akan bermain untuk menentukan posisi terbaik di akhir turnamen.

Andai saja wasit mengambil keputusan untuk melihat VAR dan memberi poin untuk Lithuania, pertandingan bisa sangat berubah. Prancis kemungkinan besar akan mengambil timeout dan memaksimalkan serangan mereka. Di sisi lain, Lithuania bisa menyiapkan strategi bertahan lebih baik atau memasukkan pemain yang lebih mumpuni untuk bertahan. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi hanya jika keputusan yang diambil di sisa 30,8 detik pertandingan itu berbeda. Sayangnya, semua itu hanya angan-angan belaka.

Foto: FIBA

 

Komentar