Piala Dunia 2019 Cina telah memainkan seluruh laga di putaran pertamanya. Sebanyak 16 tim yang terdiri dari dua tim teratas tiap grup lantas melaju ke putaran kedua. Menariknya, putaran kedua juga akan menggunakan sistem grup. Dua tim dari grup yang sama tidak akan bertemu. Jadi, setiap grup di putaran kedua akan memiliki empat gim dengan setiap tim bermain dua kali.

Jika dicermati lebih dalam, maka ada hal menarik di putaran kedua ini. Dari 16 tim yang ada, tak satupun tim berasal dari benua Asia atau Afrika (geografis). Ya, semua tim yang hadir di putaran kedua ini hanya datang dari tim-tim asal Eropa, Amerika, dan Australia.

Tak hanya gagal lolos, tim-tim asal Asia dan Afrika bahkan tak sekalipun menang dari tim-tim benua lainnya. Secara gim, ada 25 gim yang mempertemukan wakil Asia dan Afrika dengan tim-tim benua lainnya dan tak satupun berujung kemenangan untuk Asia dan Afrika (0-25).

Hal ini menyebabkan persaingan di putaran klasifikasi dipadati oleh tim-tim Asia dan Afrika. Tercatat hanya Jerman, Kanada, Selandia Baru, Turki, dan Montenegro yang berasal dari luar Asia dan Afrika. Itu pun terjadi karena di grup mereka, hanya ada satu wakil dari Asia atau Afrika.

Rentetan hasil buruk ini menunjukkan perbedaan kualitas permainan basket di kancah dunia. Kita (Asia dan Afrika) masih tertinggal jauh dari negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia. Negara seperti Cina, Jepang, dan Filipina adalah negara yang sangat dominan di daratan Asia. Namun, mereka bukan apa-apa di hadapan dunia. Sekali lagi, dunia, bukan Amerika Serikat saja.

Di Piala Dunia ini, Anda bisa lihat betapa cantiknya basket yang diperagakan negara-negara Eropa dan Australia. Negara seperti Serbia, Lithuania, Republik Ceko, mampu menunjukkan cara bermain yang tak sering kita lihat di NBA. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan cukup banyak dalam aturan permainan.

Perbedaan itu pula yang membuat Amerika Serikat terlihat cukup kesulitan di dua gim awal mereka sebelum bermain melawan Jepang. Salah satu aturan mendasar yang mengubah permainan mereka adalah tidak adanya defensive 3 second violation. Tanpa aturan ini, pemain bisa bertahan selama-lamanya di area kunci dan mempersempit ruang gerak lawan.

Sempitnya ruang gerak ini membuat tim-tim yang mengandalkan pola isolasi atau bergantung pada satu pemain saja saat menyerang akan perlahan-lahan membunuh diri mereka sendiri. Filipina adalah contoh terbaik yang bisa Anda lihat bagaimana permainan isolasi mengandalkan Andray Blatche berujung pada kekalahan demi kekalahan.

Sementara permainan yang ditunjukkan Australia, Serbia, Lithuania, dan Prancis yang terus mengandalkan pergerakan tanpa bola serta rentatan tembok (screen) menawan membuat mereka mampu dominan di gelaran ini.

Foto: FIBA

 

Komentar