Saya sedang duduk di balik meja media ketika melihat Raka Fauzi Rahman memasuki lapangan. Awalnya, saya tidak ngeh kalau itu Raka. Sebab, saya tidak tahu kalau ia adalah seorang wasit. Saya hanya tahu ia adalah seorang pemain. Saya sering melihatnya dalam kejuaraan antarkampus.
Raka sebenarnya juga sempat mengikuti IBL Draft Combine pada 2018 lalu. Namun, tidak terpilih. Sehingga kariernya terantuk di kejuaraan antarkampus.
Ternyata Raka tidak menyerah begitu saja. Meski sudah sulit meniti karier sebagai seorang pemain, ia tidak berhenti menyayangi bola basket. Raka bahkan berani terjun ke dunia perwasitan untuk merasakan kompetisi dari sisi berbeda.
Selain menjadi wasit, Raka juga sempat beberapa kali berperan sebagai kru. Ia membantu liga, seperti IBL, untuk menggelar pertandingan. Namun, IBL sedang libur sehingga fokus Raka kini membantu Honda DBL di dalam lapangan sebagai pengadil.
Setelah memimpin sebuah pertandingan, saya menemui Raka untuk berbincang-bincang. Kami membicarakan banyak hal, termasuk soal pengalamannya menjadi peserta Honda DBL di Bogor saat SMA.
Sebenarnya sejauh mana, sih, kecintaanmu sama basket sampai di mana-mana ada?
Sebenarnya bukan cinta juga, sih. Mungkin sayang kali, ya.
Banyak yang bilang kalau pemain itu ada batasnya. Saya pribadi sudah melewati semuanya. IBL Combine kemarin itu terakhir. Cuma saya tidak mau berhenti di basket. Saya cari opsi di mana saja, yang penting itu berbau basket.
Sudah lama jadi wasit?
Alhamdulilah mau jalan tiga tahun.
Sudah jago, nih?
Haha, belum jago. Masih tingkat dasar.
Lisensi apa sekarang?
Lisensi C. Belum ada penataran lagi soalnya.
Seperti apa rasanya bertugas sebagai wasit di DBL?
Sebenarnya saya sudah pernah jadi wasit tahun kemarin di Bandung. Rasanya beda. Atmosfernya Bandung sama Bogor itu beda. Kalau di Bandung itu adem ayem, mulai suporter sampai pressure-nya. Suporter lebih ramai di sini. Pressure pelatihnya juga lebih berat di sini. Lebih menantang. Jadi, kami harus fokus banget waktu jadi wasit.
Untuk menjadi seorang wasit yang baik dan benar—kamu, kan masih belajar juga—sudah dapat kiat-kiat apa saja?
Iya, lagi proses. Dari senior-senior dapat banyak pelajaran. Yang paling ditekankan itu masalah mental. Mental kami di saat pelatih menekan harus kuat. Setiap sharing dengan senior pasti sharing tentang mental.
“Mental kamu dulu harus kuat,” begitu katanya.
Kalau tiupan saya benar, pelatih juga tidak bakal kasih pressure. Kalau pelatih memberi pressure, mungkin ada kesalahan dalam tiupan saya.
Belajar apa lagi? Update regulasi tidak?
Iya, update. Sebelumnya, sebelum pertandingan, kami selalu ada referee meeting. H-1 kami membahas peraturan ramai-ramai. Semua wasit, kordinator, table official. Semua perangkat pertandingan bertemu untuk membahas regulasi pertandingan. Peraturan-peraturan yang ada.
Dibanding jadi wasit, pemain, ofisial, kru—segala macam yang pernah kamu perankan—lebih enak jadi apa?
Tergantung, sih. Kalau sekarang, sih, lagi menikmati jadi wasit. Sekarang jadi wasit minimal ingin jadi wasit B1. Belum ingin terjun ke IBL.
Beda event, beda peran. Kalau di IBL saya lebih senang jadi kru. Lumayan dapat uang, dapat nonton gratis, dapat makan. Jadi, semua enak dalam porsinya.
Sudah berkecimpung di basket berapa lama?
Dari SMP kelas dua. Tahun 2010. Lumayan, hampir sembilan tahun.
Sembilan tahun sudah jago, dong?
Haha, ya enggak. Mungkin kemarin terakhir. Sekarang basket sekadar have fun. Hobi. Sisanya buat cari duit.
Buat isi pundi-pundi dompet?
Iya, buat nikah juga. Dua tahun ke depan.
Sudah ada calon?
Sudah ada.
Berapa? Empat?
Haha, ada pokoknya.
Hahaha. Omong-omong, kamu ketemu sama basket ceritanya seperti apa? Kalau saya, kan, ketemu basket waktu kelas lima SD. Senang main basket karena dilihat cewek-cewek.
Nah, iya sama. Jadi, ceritanya lucu—eh, bukan lucu, tapi menarik.
Dulu waktu SMP saya ikut ekstrakurikuler futsal. Terus ada teman sekelas nama Depay. Sebut saja Depay. Itu nama panggilannya.
Dia menjelek-jelekkan ekstrakurikuler futsal. Katanya futsal kampungan, mending ikut basket. Sudah ada modal ganteng, nanti disukai cewek-cewek. Dari situ jadi ikut main basket.
Merasa tertantang?
Merasa tertantang. Saya coba saja. Dari nol banget. Saya tidak tahu apa-apa. Peraturan basket itu saya tidak tahu. Coba-coba saja.
Alhamdulilah waktu itu langsung serius. Apalagi dikasih juara terus di Bogor. Enak banget. Karena merasakan juara, saya ketagihan ingin juara terus. Ya sudah lanjut sampai terakhir ikut Porda. Seleksi Popwil, Popda, tidak pernah lolos. Rezekinya di Porda. Porda 2014.
Pernah merasakan DBL waktu SMA?
Pernah, dua tahun. Rasanya kayak diremehkan banget. Apalagi SMAN 6 Bogor tidak ada sejarahnya di DBL. Menang sekalipun tidak pernah.
Alhamdulilah angkatan saya bisa masuk semifinal. Tahun 2012. Semifinal pertama itu. Sayangnya, kandas sama SMAN 2 Bogor.
Yang kedua juga sama. Sampai semifinal lagi. Cuma selalu kandas di semifinal.
Apa saja yang didapat selama ikut DBL?
Saya pribadi berharap bisa ikut DBL All-Star. Minimal DBL Camp dulu ke Surabaya. Sayangnya tidak terpilih. Di tahun pertama sempat ada bocoran bakal terpilih. Ternyata tidak terpilih. PHP doang. Padahal sudah siap-siap bawa setelan. Ternyata tidak dipanggil, hahaha.
Tetap bangga?
Tetap bangga atuh. Jadi lebih fight lagi.
Setelah SMA, kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), ikut kompetisi mahasiswa seperti apa?
Banyak yang bilang permainan anak SMA dan kuliah itu beda. Waktu kuliah tahun pertama saya masih anak bawang. Cadangan. Kalau skornya sudah jauh baru dimainkan. Alhamdulilah di tahun kedua, senior sudah pada lulus, dapat posisi starting five. Tahun ketiga sudah dipercaya sebagai kapten.
Terus jadi pelatih?
Belum, sih. Sempat melatih cuma galau. Ada senior yang bilang saya harus memilih antara wasit atau pelatih. Tidak bisa dua-duanya.
Kata siapa?
Adalah senior. Beda memang wasit dan pelatih. Untuk pelatih belum. Ada rencana, sih. Maunya melatih sekolah yang kecil-kecil dulu saja. Melatih sekolah yang belum ikut turnamen. Formalitas ekstrakurikuler. Cuma kalau sudah bagus, seriusin.
Omong-omong soal wasit, punya idola gak di dunia perwasitan?
Seperti yang kita ketahui, Indonesia punya Harja Jaladri. Cuma kalau wasit Bogor, saya suka Budi Marfan. Sama-sama wasit internasional. Wasit FIBA.
Mengapa mengidolakan mereka?
Mereka itu tenang. Seolah tidak ada tekanan. Mereka sudah paham. Mungkin gara-gara paham jadi tenang. Mereka pandai berkomunikasi sama siapa pun, termasuk orang luar ketika bertugas di event FIBA. Sayangnya, saya belum pernah bertugas bareng.
Belum. Sekarang meniti karier dulu saja. Di DBL juga ada wasit yang pernah bertugas di IBL. Tadi saya lihat ada Henry Foenai. Belajar dari dia juga tidak?
Belajar hal yang sama. Belajar bagaimana untuk tenang dalam setiap keputusan. Tidak panik, tidak tergesa-gesa. Mungkin karena pengalamannya sudah beda jauh.
Misalnya ada pelatih yang komplain, dia mampu menjelaskan sesuai rule. Pelatih juga puas menerima penjelasannya Bang Mimin.
Siapa?
Bang Mimin atau A Mimin. Itu panggilannya Henry Foenai.
Lah, dari mana Miminnya?
Mana tahu, haha.
Oh ya, dulu kuliah di UPI juga ada Pak Lukman (Lubay), salah satu wasit Indonesia yang juga seorang dosen. Pernah diajar?
Iya pernah. Dia dosen mata kuliah basket.
Katanya galak?
Alhamdulilah kalau ke anak basket enggak. Malah waktu itu, misalnya Pak Luman tidak bisa hadir, selalu nitip kuliah ke anak basket.
Pernah diajar menjadi wasit?
Selingan. Obrolan saja, sih. Diajar buat selalu tegas dalam mengambil keputusan. Entah itu salah atau benar. Diusahakan benar, tapi wasit juga manusia. Kadang salah. Cuma memang harus selalu memperbaiki diri supaya bisa memimpin pertandinangan dengan baik.
Oh ya, selalu belajar dari pengalaman dan memperbaiki diri. Oke, kalau gitu selanjutnya mau apa lagi?
Next, mau fokus mengajar. Pulang ke Bogor setelah sarjana langsung dapat kesempatan mengajar. Sekalian mengajar basket di sekolah baru. Ekstrakurikuler baru ada begitu saya masuk. Pelan-pelan dari awal. Anak-anak sekadar bisa dan mengerti peraturan.
Oke, kalau gitu sudah sampai di sini dulu. Thanks sudah mau ngobrol bareng.
Sama-sama. Terima kasih juga.
Foto: Akhmad Rizal/DBL Indonesia