Saya bertemu Juan Vitto saat ia mengikuti Honda DBL Camp 2018 pada November silam. Vitto—sapaan akrabnya—berada di antara ratusan orang yang berkesempatan menjadi peserta pemusatan latihan di Surabaya. Ia berlatih bersama pelatih-pelatih dari World Basketball Academy (WBA) Australia, DBL Academy, juga beberapa pemain profesional.

Setahun berselang, saya tidak menyangka bisa bertemu dengan Vitto lagi. Kali ini pertemuan kami berlangsung di Padang. Vitto saat itu tengah mendampingi almamaternya, SMA Don Bosco Padang, sebagai ofisial. Ia bertugas menangani urusan medis.

Saya menghampiri Vitto untuk berbincang-bincang. Vitto sebenarnya kurang ingat kepada saya, tetapi bersedia untuk berbagai cerita. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah lulus SMA dan hendak melanjutkan pendidikan di Jakarta.

Setelah mengikuti Honda DBL Camp 2018, seperti apa kehidupanmu?

Di DBL Camp saya sudah dapat banyak pelajaran. Dari Individual skill sampai teamwork. Banyak yang saya dapatkan di sana. Apa yang saya dapat di sana berbeda dengan di sini.

Di sana saya merasa berkembang sekali. Ke depannya saya tidak ingin karier saya terbuang sia-sia. Saya bakal cari solusi untuk tetap main basket. Cuma saya juga perlu membatasinya nanti. Saya akan mengiringinya dengan kuliah.

Seperti apa ceritanya bisa kuliah ke Atmajaya Jakarta? Jauh-jauh dari Padang.

Ceritanya, saya ambil (jurusan) psikologi. Atmajaya terkenal dengan psikologinya. Sebelum ini saya mendapat tawaran juga untuk masuk kampus negeri. Lewat jalur nonakamedik. Cuma saya lebih memilih Atmajaya karena psikologinya terkenal.

Saya ingin serius belajar di sana. Mungkin basket juga bukan prioritas. Basket itu nomor dua. Pelajaran nomor satu. Dijalani bareng-bareng saja.

Tahun lalu tidak sampai All-Star, terhenti di berapa besar?

Top 50.

Meski terhenti di situ, kamu tetap latihan. Bareng Nuke (Tri Saputra) dan lain-lain. Ada hal lain yang kamu dapat selain individual skill dan teamwork tadi dari kamp tahun lalu?

Di situ saya juga belajar kedisiplinan. Kayak di waterboom—misalnya saya sudah siapa ingin pulang—saya belum bisa pulang. Saya harus menunggu yang lain. Saya diajari kerja sama, diajari sesuatu yang tidak pernah saya dapat. Itu berpengaruh ke kehidupan sendiri?

Selanjut kamu mau ngapain lagi di Jakarta? Selain kuliah, pasti ada hal lain yang akan kamu kejar.

Iya, di Jakarta saya akan tetap ikut basket. Saya mengiri kegiatan dengan musim. Saya fokus ke pelajaran dulu. Basket itu dulu pernah jadi prioritas, sekarang prioritasnya diganti. Basket akan mengiringi.

Terus, apa yang membuat kamu pulang ke Padang, dan jadi ofisial di SMA Don Bosco?

Sebenarnya awalanya saya bukan ofisial. Sudah ada calon lain. Saya bahkan sudah pesan tiket ke Jakarta pada 22 Juli untuk registrasi ulang di kampus. Ternyata Coach meminta saya jadi medis. Ya sudah, saya undur keberangkatan jadi tanggal 4 Agustus.

Demi…?

Demi baju champion.

Hahaha, bisa saja. Tahun lalu juara, sekarang juara. Meski pun dengan peran berbeda. Rasanya seperti apa?

Kawan-kawan suka bercanda, “Sudah turun pangkatmu? Sudah tidak pandai main lagi? Sudah mau jadi dokter? Medis, medis, medis.” Cuma, mau bagaimana lagi? Saya pengen ikut berkontribusi. Numpang menang saja, hahaha.

Menurutmu, penampilan adik-adikmu tahun ini seperti apa? Ada yang pernah main bareng sebelumnya?

Ada, yang main bareng saya tiga orang: Rizam, Rizky, dan Adit. Mereka lebih buas dari tahun saya. Senior skor akhir final cuma 47 berbanding 20-an. Tapi, mereka sangat bagus. Jeda kuarter dua saja sudah sampai 46. Mereka sangat buas dibanding angkatan saya.

Sebenarnya kultur Don Bosco ini seperti apa, sih? Daritadi dengar kalau SMA ini adalah rajanya bola basket Padang.

Saat dipanggil raja pun kami bisa kalah. Waktu 2017, saya masih kelas satu, saya kalah di DBL. Kalah di final. Benar kata pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.” Saat itu kami terlalu santai. Terlalu menganggap enteng. Padahal Coach sudah push kami. Akibatnya kami tidak siap menghadapi Final Party 2017.

Sebelum itu, kami latihan keras. Pemain keras. Pelatih juga keras. Jadi, kalau pelatih kita keras, role model kita keras, kita ingin seperti dia. Kita ingin mandiri. Kita ingin kerja keras. Soalnya tidak ada tim yang bisa juara tanpa kerja keras.

Sayangnya, waktu itu kami lengah menjelang final. Makanya tidak berhasil. Dari situ kami belajar sampai akhirnya bisa juara lagi.

Omong-omong, suporter Don Bosco memang biasa seperti ini? Ramai sekali.

Sejak dulu banget, sejak zaman orang tuan saya, DB terkenal dengan basketnya.

Apa pendapatmu soal suporter tahun ini? Riuh banget ini.

Di DBL tahun ini, Don Bosco lebih berprestasi. Entah itu suporter, dance, basket—semua antusias. Kami ingin memborong bersih semuanya. Ingin sapu bersih. Best costume juga kami dapat. Tahun kemarin jadi acuan. Kami tidak ingin lebih buruk dari tahun lalu.

Selama kamu tiga tahun di sekolah ini, seperti apa perkembangannya?

Sekolah sangat percaya kepada tim basket. Cuma angkatan saya agak bandel. Angkatan saya suka cabut-cabut. Sampai sekolah jadi ketat. Kalau mau minta izin harus jelas banget. Siapa yang pergi, jam berapa pergi, jam berapa pulang. Harus jelas.

Sebelumnya sempat dikasih bebas. Soalnya sekolah belum tahu kebandelan kami. Begitu ketahuan, sekolah jadi ketat. Kami kena sanksi dari sekolah dan pelaith. Mereka disiplin.

Dari tahun ke tahun, basket kami berkembang. Tahun kedua, saya bisa juara. Tahun ketiga bisa juara juga. Sekarang bisa juara lagi meski pun sudah lulus. Terus meningkat dari tahun ke tahun.

Oke kalau begitu. Terima kasih sudah mau berbagi cerita soal pengalaman dengan Mainbasket. Sukses di Jakarta, ya!

Iya, terima kasih banyak.

Foto: Gagah Putra

Komentar