Eksistensi sepatu olahraga memang tak diragukan lagi. Bentuk awalnya adalah sepatu boots tentara yang dilapisi karet sehingga lebih empuk saat dipakai. Lapisan yang kemudian dinamai sol itu selain bikin lebih nyaman, juga dapat meredam suara khas boots saat menyentuh tanah. Itulah mengapa namanya sneaker berasal dari istiliah Sneak yang bermakna mengendap-endap.

Melatih fisik, berolahraga, atau apapun sebutannya, adalah kebutuhan manusia untuk tetap bugar. Alhasil, dibutuhkan sepatu yang mumpuni untuk dipakai kala mencari keringat. Konstruksi seadanya di masa awal penemuan sneakers sejatinya berbahaya bagi kaki manusia. Maka dari itu, produsen sepatu dunia berlomba-lomba merumuskan tekonologi yang menunjang kebutuhan manusia dalam berolahraga. Tidak hanya soal empuk. Kenyamanan, ringan, menyediakan sirkulasi udara, dan elemen lain jadi visinya. Hal ini sekaligus jadi materi pemasaran demi meningkatkan penjualan.

Saya sudah merangkum beberapa teknologi yang dianggap berperan besar dalam pengembangan sepatu olahraga. Sejatinya masih banyak di luar sana inovasi-inovasi lain yang belum sempat tercantum. Bila Anda punya informasinya, jangan segan untuk berbagi di kolom komentar.

Jaring Nilon (Mesh) - 1971

Penemuan fitur penting di ranah sepatu olahraga adalah jaring nilon atau Mesh yang dikembangkan oleh adidas. Tidak ada tahun pasti kapan resminya. Meski demikian, adidas Americana adalah sepatu olahraga pertama yang menerapkannya di sepatu. Jaring nilon ditemukan di tengah gandrungnya masyarakat dengan sepatu olahraga berbahan atas kulit dan kanvas. Puma di era yang sama juga sedang naik daun lewat bahan suede-nya. Meski begitu, kehadiran jaring nilon dianggap penting karena dapat menghemat bobot sepatu hingga 50%.

Selain ringan, jaring nilon juga lebih nyaman saat dipakai. Rajutan benang nilon itu menghasilkan saluran ventilasi yang mempermudah keluar masuknya udara dari dalam. Di ranah basket, adidas Americana merupakan sepatu yang sangat populer di kancah ABA. Ini juga jadi momentum bahwa sepatu basket juga butuh bobot ringan meski kepopulerannya baru kembali naik setelah tahun 2000.

Bantalan Udara (Air Cushioning) - 1976

Nike boleh saja populer lewat siluet Air Max dan edisi lain yang mengandalkan sol sepatu berisi kantong udara. Pada faktanya, Nike bukanlah yang pertama merilis. Ialah Karhu, merek asal FInlandia yang memperkenalkannya pertama kali pada 1976 lewat Karhu Champion. Sedangkan Nike baru memperkenalkan teknologi tersebut pada 1979 melalui siluet Nike Air Tailwind.

Era 1980-an, merek-merek dunia berusaha menemukan rumus tepat dalam menyediakan rasa nyaman dan daya tekan ke atas untuk sepatu. Gunanya adalah untuk efektivitas berlari dan menghemat tenaga. Bagi Karhu, bantalan ini dianggap bisa memberi sensasi berjalan di udara. Konsep brilian ini sayangnya kurang didukung strategi pemasaran mumpuni. Dampaknya, Nike yang menuai buah manisnya. Mereka bahkan dianggap jadi yang terdepan dalam urusan sepatu berbantalan udara setelah merilis Air Max pada 1987.

Bantalan Jeli (Gel Cushioning) – 1986

Sepatu olahraga asli Jepang yang dianggap populer adalah Asics yang didirikan oleh Kihachiro Onitsuka. “Asics” sejatinya merupakan singkatan dari Anima Sana In Corpore Sano (Di dalam tubuh sehat terdapat jiwa kuat) yang diterapkan sebagai visi merumuskan produk olahraga. Konsep itu mulai memperlihatkan hasil setelah merilis sepatu dengan bantalan jeli pada 1986.

Struktur bantalan jeli kurang lebih sama dengan bantalan udara. Namun, menurut Asics, cairan lembut atau jeli lebih efektif meredam beban tubuh yang tersalurkan ke kaki saat berlari. Jeli itu ditempatkan di bagian-bagian yang menerima beban terberat, terutama tumit. Asics Gel Freaks adalah yang pertama dalam menerapkan bantalan jeli. Sepatu ini begitu populer di Jepang sehingga dirilis ke luar negeri dengan nama GT II. Hingga kini Asics terus merilis sepatu lari berbentalan jeli dan telah punya tempat tersendiri di kultur sneaker dunia lewat siluet Gel Lyte III dan Gel Lyte V.

Segala Medan (Cross Training) – 1987

Era diluncurkannya sepatu segala medan bersamaan dengan tren berolahraga yang membuncah di bermacam cabang olahraga. Tinker Hatfield sering melihat para penggiat olahraga memakai sepatu yang sama dalam bermacam cabor. Alhasil, ia memutuskan untuk membuat sepatu dengan spesifikasi sanggup untuk dipakai di bermacam kondisi.

Oleh karenanya, ia merumuskan sepatu berkonsep itu bernama Air Trainer. Sepatu ini dibuat dengan ringan namun konstruksinya memenuhi kebutuhan untuk mendukung pergerakan kaki. Kini, banyak sepatu yang punya konsep sama. Bahkan, sepatu segala medan mumpuni untuk dipakai berlari di daerah yang sulit dijangkau. Pada faktanya, olahraga dengan kontur naik-turun justru lebih efektif membakar lemak dan memperkuat otot dibanding berlari di trek lurus nan rata. Merek-merek seperti Reebok, adidas, dan Under Armour telah menyediakan bermacam sepatu segala medan dengan pilihan beragam.

Bantalan Pompa Udara (Pump) – 1990

Inovasi yang menurut saya punya pengaruh besar untuk mereknya adalah teknologi pompa (Pump). Karhu boleh saja berinovasi dengan bantalan udara, namun Reebok hadir dengan terobosan baru. Merek asal Inggris itu membuat sepatu yang keempukannya bisa disetting secara personal. Caranya adalah dengan memompa udara ke kantong yang ditempatkan di dalam sol EVA. Intinya, kita bisa mengatur seberapa empuk sol sepatu Reebok Pump semaunya.

Kepopuleran itu melejit setelah Dee Brown sukses memenangi NBA Slam Dunk Contest 1991. Ia melakukan gestur seperti sedang memompa sepatunya sebelum melakukan gerakan Dub dan memasukkan bola ke dalam ring. Masyarakat percaya bahwa Reebok Pump bisa membuat pemakainya dapat melompat lebih tinggi karena aksi legenda Boston Celtics itu. Sayangnya, Reebok gagal mempertahankan eksistensinya sehingga kini mereka tak lagi memproduksi sepatu basket.

Bahan Sintetis – 2011

Sebelum memasuki era millennium, bahan atas sepatu (upper) terbatas pada kulit, kanvas, dan nilon. Hasrat tidak pernah puas pada manusia menghadirkan sisi positifnya yaitu mencari bahan lain yang bisa diterapkan sebagai landasan azas inovasi. Adidas lalu hadir dengan sepatu berbahan plastik sintetis yang dicetuskan melalui lini Crazylight pada 2011.

Tidak hanya plastik, mereka juga mengembangkan kulit sintetis juga bahan lain yang dibuat dari mesin. Inovasi ini membuat pabrikan sepatu lebih punya materi untuk eksplorasi bahan. Nantinya, bahan-bahan itu membantu Sang kreator menciptakan produk-produk yang lebih memenuhi kebutuhan pasar. Tentu saja juga demi meningkatkan permintaan sehingga menaikkan penjualan yang akhirnya akan menambah pendapatan.

Nilon Rajut (Knit) – 2010

Jaring nilon akhirnya punya penerus. Ajang Techtextile Fair di Frankfurt pada 2010 jadi inspirasinya. Di sana, berkumpul desainer-desainer dunia untuk berdiskusi tentang temuan yang bisa bermanfaat di masa yang akan datang. Di sana, pertama kalinya dipamerkan prototipe nilon rajut dengan cangkang plastik TPU. Desainer adidas dan Nike sama-sama menemukan ide cemerlang, bahan atas sepatu berbentuk Knit.

Temuan ini dianggap sebagai evolusi sepatu olahraga setelah tahun 2012. Nike dan adidas berebut untuk jadi yang pertama hingga dibawa ke meja hijau. Alhasil, mereka berjalan masing-masing dengan knit yang berbeda. Nike dengan Flyknit, adidas dengan Primeknit. Merek lain tak mau ketinggalan. Kini, kian banyak sepatu berbahan atas nilon rajut untuk berbagai fungsi juga bentuk.

Bantalan Boost – 2013

Boost bisa jadi yang terbaik yang pernah diberikan adidas ke publik. Pabrikan asli Jerman ini tidak merumuskannya sendirian. Mereka bekerja sama dengan perusahaan kimia Badische Anilin & Soda-Fabrik (BASF) dari Jerman untuk mengembangkan plastik EVA dan TPU yang empuk dan nyaman dipakai di sepatu.

Adidas sukses besar dengan bantalan Boost. Selain karena desainnya yang unik, kenyamanan yang disajikan juga sepadan. Teknologi ini mampu mengakomodasi kebutuhan atlet hingga sekadar untuk berjalan-jalan santai. Tentu saja kepopuleran bantalan udara milik Nike sedikit goyah. SI Tiga Garis telah menelurkan ratusan jenis sepatu dengan bantalan Boost dan sukses menjual puluhan ribu pasang per 2018.

Sistem Temali Otomatis – 2017

Nike sukses menelurkan sepatu dengan sistem tali otomatis yang dinamai Electronic Adaptive Reactive Lacing (E.A.R.L) pada 2017. Sepatu pertama yang menerapkan teknologi ini adalah Nike Hyperadapt yang telah berevolusi menjadi Hyperadapt BB tahun ini. Inovasi yang dikeluarkan merek buatan Phil Knight dan Bill Bowerman ini sukses menyita perhatian dan dianggap merubah sistem temali sepatu konvensional.

Terdapat rotor yang ditempatkan di dalam sol. Baterai sebesar baterai jam tangan jadi sumber energinya. Rotor itu terhubung dengan kawat yang dibuat sesuai dengan formasi tertentu guna menyediakan kerapatan. Bila baterai habis, Nike juga telah menyediakan pengisi daya yang terhubung dengan kabel USB. Yap, kapan lagi ada sepatu yang bisa diisi ulang layaknya ponsel pintar. Teknologi tampaknya akan jadi senjata utama Nike untuk membuat sepatu dengan benang merah sepatu masa depan.

Foto: Arsip daring Nike, adidas, Karhu, dan Reebok

Komentar