Pada 2015, saya bertemu Luthfianes Gunawan. Saat itu kondisinya mengkhawatirkan. Ia mesti berjalan dengan bantuan penyangga di kakinya. Sebab, lututnya mengalami cedera parah.

Kendati begitu, saya tidak merasa kasihan kepadanya. Apalagi dengan semangatnya untuk bangkit dari keterpurukan. Luthfi—sapaan akrabnya—merupakan pemain yang kuat. Saya percaya ia bisa melewati kesulitannya sendiri.

Setahun berselang, saya akhirnya bisa menyaksikan aksi Luthfi di lapangan. Lututnya sudah sembuh, sehingga ia bisa kembali bermain bola basket. Saat itu ia bermain untuk Garuda Bandung (kini Prawira Bandung). Sebab, sejak 2015, ia memang memutuskan hengkang dari Satya Wacana Salatiga ke Garuda.

Dengan seragam baru, Luthfi bangkit. Pelan-pelan ia memulai lagi kariernya yang sempat tersendat. Hari demi hari ia lewati. Empat tahun pun berlalu. Ternyata sudah selama itu ia membela tim asal Bandung tersebut.

Pada 2019, Luthfi akhirnya memutuskan tidak memperpanjang kontrak dengan Prawira. Ia merasa cukup. Empat tahun sudah cukup untuk mencoba bangkit. Ia ingin melanjutkan perjalanannya ke tempat yang lebih baik.

Ketika Luthfi memutuskan pergi, saya menghubunginya. Saya tertarik untuk berbincang-bincang dengannya. Saya ingin tahu ke mana ia akan melangkah. Luthfi menceritakan semuanya, termasuk harapan akan masa depannya. 

Apa membuat Mas Luthfi tidak melanjutkan karier bersama Prawira?

Kemarin kontrak saya kebetulan sudah habis sebelum lebaran. Sebelum lebaran sudah habis, lalu sebulan itu saya berpikir: Ini tinggal kontrak terakhir, mau lanjut atau bagaimana? Saya berpikir seperti itu.

Terus, Prawira menawarkan perpanjang kontrak setahun. Saya konsultasi dulu dengan keluarga. Bagaimana baiknya. Akhirnya saya dapat keputusan untuk tidak lanjut. Karena, satu, problem besarnya adalah keluarga. Istri saya ingin di Jakarta dengan keluarganya. Di tempat dia. Kedua, masalah minute play, saya masih ingin main. Di umur saya ini, saya tidak tua, tapi tidak muda juga. Pas sajalah.

Saya melihat ke belakang, statistik dan minute play—semuanya. Saya pikir saya tidak pernah main. Saya evaluasi: Kenapa saya tidak pernah main? Padahal saya masih kompetitif. Dalam artian, saya masih bisa main. Saya berpikir begitu. Oh, mungkin sudah saatnya memutuskan untuk tidak lanjut.

Tapi sehat?

Oh, sehat. Sejak  terakhir kali cedera, sudah tidak cedera lagi. Itu saja, sih. Maksudnya, keputusannya karena berbagai hal. Ya sudah, saya lebih baik memulai hal baru.

Ke depannya seperti apa? Sudah ada tawaran dari yang lain?

Sudah, sudah, cuma saya masih memikirkan. Saya masih ingin main.

Kira-kira kesempatannya, cenderung ke mana?

Kesempatan timnya?

Iya, ambil klub Jakarta?

Mungkin yang di Jakarta. Biar dekat dengan keluarga istri.

Omong-omong, katanya sempat ke Pangkal Pinang?

Oh iya, di Pangkal Pinang ada turnamen. Ada teman dari Pangkal Pinang. Ada turnamen kecil, saya manfaatkan. Sekalian jalan-jalan bertemu teman.

Kalau kita flashback, sebenarnya Mas Luthfi memulai karier profesional sejak kapan?

Sejak dari UKSW. Sudah sejak zaman NBL.

2010-an?

Iya, terus lanjut ke Garuda pada 2015.

Waktu di UKSW, karier Mas seperti apa?

Saya, kan, bukan seorang scorer. Saya lihat saya ini lebih sebagai—bukan serabutan—tapi apa yang perlu dikerjakan, ya dikerjakan. Mungkin itu pula yang membuat saya diambil Garuda. Pokoknya apa yang diminta, saya kerjakan.

Waktu pertama kali ke Garuda, ada Coach Ito (Fictor Gideon Roring). Sayangnya, saat itu Mas sedang cedera, sulit tidak melewati masa-masa itu?

Sulit, sulit banget. Waktu itu sempat frustasi. Di satu sisi, waktu itu lagi bagus-bagusnya. Dari UKSW main di SEABA. Lagi sparring ternyata kena cedera. Rasanya kecewa sekali.

Waktu itu kena (cedera) lutut, ya?

MCL sama PCL saya.

Gara-gara?

Pertama itu, gim terakhir melawan Satria Muda di Seri Jakarta, saya kena tabrak dan bengkak. Saya sempat istirahat, terus besoknya latihan. Saya kira masih bisa dipakai. Tidak tahunya saya kena timpa teman saya. Sakit. Semakin parah. Setelah dicek MCL sama PCL saya robek. Istirahat satu tahun.

Kok bisa ke Garuda?

Saya waktu itu pernah ditawari Coach Ito waktu zaman kuliah. Ditawari untuk ikut ke SM (Satria Muda Jakarta). Saya tidak mau. Saya mau menyelesaikan kuliah di UKSW.

Kemudian, Coach Ito pindah ke Garuda. Muncul lagi penawaran. Waktu itu saya pikir, ya sudahlah, masa dua kali menolak. Apalagi Coach Ito adalah pelatih Indonesia yang bagus. Posisinya saya juga sudah selesai kuliah. Akhirnya saya pindah.

Selama di Garuda dan Prawira, Mas cukup puas?

Tidak. Saya masih tidak puas dengan pencapaian yang ada. Masih ingin membuktikan banyak hal. Makanya saya memilih tidak perpanjang kontrak. Karena saya ingin membuktikan bahwa saya masih bisa.

Musim depan bakal bisa berkembang lagi?

Tidak tahu. Belum tahu ke depannya bagaimana. Saya sudah mencoba di Prawira selama 3-4 tahun. Ternyata tidak signifikan.

Karena kurang kesempatan?

Mungkin karena kurang kesempatan. Apalagi banyak pemain di posisi yang sama waktu itu. Makanya, mungkin kalau saya mulai dengan tim baru, saya bisa mengembangkan diri lagi. Saya pilih jalan ini supaya bisa berkompetisi lagi.

Menurut Mas persaingan di IBL seperti apa?

Kalau menurut saya, sekarang persaingan tergantung pemain asing, hahaha. Peran lokal juga tidak begitu terlihat. Cuma persaingannya memang seram. Bisa kasih pecutan buat saya untuk lebih baik lagi. Supaya tidak kalah sama pemain asing.

Tapi, sudah pasti ingin kembali ke IBL atau ada opsi lain?

Saya mengikuti apa kata istri saja.

Apa katanya?

Terserah saya. Dia cuma menekankan saya untuk terus berjuang. Saya memutuskan keluar dan mencari tim baru, saya harus fokus. Di mana pun saya berada nanti, di tim kecil atau besar, ikuti semuanya. Sudah jalannya.

Rencana di offseason seperti apa? Ada kemungkinan libur panjang sampai Januari, nih.

Maka dari itu saya ikut turnamen. Kalau ada turnamen seperti ini saya ikut saja.

Tidak takut cedera?

Tidak. Buat apa takut? Saya sudah pernah cedera. Kalau waktunya cedera, ya cedera. Cuma saya jadi lebih hati-hati saja. Latihan yang benar. Penguatan yang benar.

Dapat pelajaran apa dari cedera kemarin?

Belajar berdiri dengan kaki sendiri. Dalam artian, kalau cedera itu urusannya saya dengan diri saya sendiri. Yang lain cuma bisa kasih support. Jalannya tinggal itu saja. Salah satu yang bisa membantu kita melewati ini, ya diri kita sendiri. Seberapa besar keinginan untuk bisa jadi lebih kuat setelah cedera.

Sulit tidak, sih, bertahan di liga dengan kondisi seperti itu? Bahkan yang sehat pun ada juga yang tidak bertahan lama.

Kalau rezeki, kan, sudah diatur. Saya niatnya ingin main basket. Dalam kondisi apa pun, saya ingin main basket. Saya serius. Kalau tidak serius, ujung-ujungnya sakit hati nanti.

Cedera itu risiko. Cuma kita juga harus bisa belajar dari sana. Setelah cedera, mau ngapain? Terapi, penguatan, perbaiki fisik lagi.

Mas sendiri main basket dari kapan?

Dari kecil. Di kampung saya di Jombang ada lapangan. Ada lapangan basket. Saya suka ke sana. Terus main basket sampai SMP. Pindah sekolah ke Salatiga.

Terus pindah ke SMA di Semarang. Satu SMA sama Ragil (Respati Ragil Pamungkas) dan Firman (Dwi Nugroho) di SMA Theresiana 1. Satu almamater dengan mereka. Setelah itu, kami dapat beasiswa dari UKSW.

Kok bisa dapat beasiswa? Seperti apa ceritanya?

Di sana, kan, banyak kejuaraan. Kami sering ikut kejuaraan. Ada yang scouting, ada yang memantau. Ada Pak Danny Kosasih. Semua gara-gara dia.

Dia punya keinginan untuk membentuk tim basket setelah Mikroskil. Setelah Mikroskil, dia bikin tim di Salatiga. Dia mengumpulkan orang di sana. Waktu itu ada Yoppie (France Giay) dari Papua, ada juga dari Sumatera, dari mana-mana. Salah satunya saya.

Generasi pertama, ya?

Iya, pertama.

Oh, yang masuk bukunya Danny Kosasih itu?

Iya, waktu itu pernah masuk bukunya Pak Danny. Yang fundamental itu. Jadi model gerakan saja.

Setelah itu, kuliah di UKSW sampai main di tim UKSW, ada kesulitan apa ketika menjadi seorang profesional?

Cukup sulit. Waktu itu jalan dengan kondisi seadanya. Apalagi harus membagi waktu antara kuliah dan basket. Kuliah tidak bisa ditinggal. Kendalanya banyak sebenarnya, cuma bagi waktunya itu yang agak sulit. Selama kita niat, apa pun bisa.

Pada akhirnya, angkatan kalian banyak yang berhasil. Maksudnya, angkatan kalian bisa tersebar di mana-mana, di tim-tim besar juga.

Iya, setelah dari UKSW kami pergi ke mana-mana. Ada di tim nasional juga. Saya bersyukur bisa merasakan hal itu. Awalnya susah, tapi itu berasa.

Pada umumnya, pemain Satya Wacana—setelah selesai kuliah—keluar ke tim lain. Memang sudah budaya atau apa?

Kembali lagi ke masalah salary. Kami, kan, perlu melanjutkan hidup juga. UKSW saat itu bukan tim besar. Kami juga tidak tidak bisa terus bertahan di situ-situ saja. Akhirnya pergi ke tempat yang lebih baik.

Menurut Mas sekarang Satya Wacana tim yang seperti apa?

Saya melihat mereka ini sebagai tim bagus. Mereka punya spirit. Saya sudah merasakan bagaimana hidup di sana. Sekarang malah sudah terlihat lebih berkembang lagi. Secara permainan bahkan bagus. Cuma ada faktor lain. Misalnya, mentalnya tidak konsisten. Kalau konsisten, mereka bakal menjadi yang mengerikan. Mereka punya bakat-bakat yang bagus. Kalau mereka bisa berkembang, mereka bisa lolos ke playoff.

Omong-omong, musim depan ada target apa?

Saya belum menargetkan apa-apa kalau berbicara soal penghargaan. Cuma saya ingin lebih baik lagi. Saya keluar dari Prawira karena ingin mendapat kesempatan. Ingin berbenah lagi. Pasti ingin lebih baik lagi. Saya sudah meninggalkan semuanya di Prawira, maka saya harus lebih baik lagi.     

Baiklah kalau gitu. Itu sudah pertanyaan terakhir. Terima kasih sudah mau ngobrol lagi.

Iya, sama-sama. Terima kasih juga sudah mau wawancara. Saya diwawancarai terus, hahaha.

Foto: Hariyanto

Komentar