Sudah lama saya tidak bertemu dengan Luke Martinus. Terakhir kali, mungkin, di IBL Seri VII Yogyakarta pada Februari 2019 lalu. Saya sempat menyapanya di lorong menuju lapangan GOR Universitas Yogyakarta, Sleman.

Saya tidak menyangka, ternyata itulah kali terakhir saya melihatnya di lapangan. Sebab, setelah ini, Luke tidak akan lagi berada di sana. Ia memutuskan pensiun.

Sebenarnya, kabar pensiun itu sudah lama terdengar. Namun, Luke mengurungkan niatnya tahun lalu. Ia kembali ke lapangan karena Garuda Bandung (kini Prawira Bandung) menawarkannya kontrak baru.

Kini Luke benar-benar pensiun. Ia pensiun karena sudah punya usaha. Usaha itu akan menyita waktunya, sehingga ia tidak bisa berada lebih lama di dunia basket.

Saya pun menghubungi Luke. Sekadar berbincang tentang keputusan pensiunnya. Sekaligus menanyakan usaha apa yang kini ia geluti.  

Saya dengar Bang Luke berniat untuk pensiun sejak lama, tapi apa yang bikin Abang baru pensiun sekarang?

Pertimbangannya sudah dari tahun lalu memang. Saat itu kebetulan saya habis kontrak dengan Garuda. Dulu masih Garuda, ya.

Pas habis kontrak itu, saya baru mulai usaha konveksi.

Konveksinya di Bandung?

Di Bandung, betul.

Mulai merintis di sana, jadi—dari segi fisik, tenaga—harus lebih fokus ke yang baru. Terus Coach Andre punya win-win-solution. Akhirnya kami bertemu, oke sepakat perpanjang kontrak dua tahun, dengan opsi keluar pada tahun kedua.

Saya pikir sebaiknya memang begitu supaya lebih tenang. Misalnya saya butuh fokus di usaha saya yang baru ini, saya bisa berhenti di tahun kedua.

Waktu itu apa yang membuat Coach Andre meminta perpanjangan kontrak?

Pertama, karena Galank (Gunawan) sudah tidak di sini. Sisa bigman-nya Luthfi (Luthfianes Gunawan), saya, Reza (Guntara), Pandu (Wiguna). Saya diminta untuk membimbing yang muda, istilahnya.

Begitu pensiun, ada halangan lagi tidak? Ada tawaran supaya tetap di tim?

Yang pasti Coach Andre tetap dengan komitmennya. Kalau saya masih mau main, saya bisa melanjutkan kontrak saya yang dua tahun itu. Cuma, kan, kondisinya tidak memungkinkan. Saya punya usaha, terus kemarin dicek ternyata ACL putus juga. Minimal recovery enam bulan.

Akhirnya saya putuskan untuk pensiun. Fokus di karier yang baru. Usaha konveksi ini. Sama fokus recovery enam bulan.

Selain konveksi, dulu bukannya sudah punya usaha? Lanjut usaha keluarga?

Oh bukan. Dulu dari orang tua itu usaha teknik, ya. Mur, baut, dan lain-lain. Sudah tidak berjalan. Jadi, saya harus cari sesuatu yang baru. Dan baru dimulai tahun lalu.

Omong-omong soal cedera, katanya sudah lama, kenapa baru ketahuan sekarang?

Kejadiannya itu tidak tahu kapan. Putusnya kapan itu kami tidak tahu. Waktu dulu kena MCL, dari zaman di Bandung Utama, sudah oke—fine.

Cedera hamstring waktu pertama sampai Garuda, oke juga. Terkendala satu tahun, tapi sudah oke.

Akhir-akhir ini kalau kecapaian suka bengkak memang. Kenapa, nih? Tanya tanya, kan.

Pernah ada kejadian juga waktu latihan, tendon hamstring saya terasa. Itu pun tidak begitu masalah, sebenarnya. Saya sudah penguatan. Sudah recovery. Sempat main lagi di satu seri terakhir. Meski pun tidak banyak. Namun, karena berulang, ya sudah saya minta MRI biar pasti.

Biarpun rasanya sudah enak, sudah baik, tapi lebih baik MRI.

Ternyata harus operasi?

Iya, betul. Di situ Prawira juga menawarkan, “Mau operasi atau tidak?”

Itu balik lagi kepada saya, mau atau tidak. Kebetulan Prawira yang cover. Meski saya memutuskan pensiun, Prawira memberikan fasilitas sampai recovery. Sampai enam bulan ke depan.

Operasinya di mana?

Operasinya di Boromeus.

Hasilnya?

Semuanya lancar. Prosesnya sejam-dua jam. Cuma saya baru bangun itu setelah lima jam. Karena dibius total.

Sekarang sudah bisa jalan?

Oh, sudah kok sudah.

Cederanya saya beda dengan yang lain. Beda dengan yang cedera ketika tanding. Saya tidak punya trauma yang menyebabkan sampai tidak bisa jalan.

Kondisi saya ketika cedera ini ditemukan, kami tidak tahu cederanya kapan. Jadi, lebih siap saja. Sebelum operasi saya penguatan dulu. Setelah operasi, recovery bisa lebih cepat.

Soal karier Abang di IBL dan NBL. Sebenarnya sudah puas tidak berkarier sebagai seorang profesional?

Sebenarnya, namanya manusia, dibilang puas jgua tidak. Masih ingin terus. Apalagi belum punya gelar apa-apa. Masih ingin—minimal—masuk final bahkan juara.

Cuma balik lagi ke depannya kita mau apa? Tidak mungkin saya main basket seumur hidup. Pasti ada masanya.

Realistis, ya?

Iya. Bisa sih sampai umur 35. Buktinya ada Mario Wuysang yang bisa sampai 35 ke atas. Cuma balik lagi, kesempatan saya ada di depan mata, saya ingin jalani peluang yang baru. Apa salahnya? Ini juga untuk masa depan saya. Jadi, walaupun saya belum dapat gelar apa-apa, saya dapat mentalitas dan pengalaman dari dunia basket. Dengan pelatih yang berbeda, dengan tim yang berbeda, dengan manajemen yang berbeda—saya punya bekal untuk masa depan.

Seingat saya, Bang Luke bermain untuk dua tim berbeda. Dari Bandung Utama ke Garuda dan Prawira. Dapat hal apa saja? Ada yang berbeda?

Awalnya basket itu hobi, saya dapat banyak hal. Masalah disiplin, masalah keterbukaan dengan pemikiran. Dengan pelatih itu perlu penyesuaian. Bagaimana caranya menyesuaikan dengan teman-teman setim, dengan manajer dan lainnya.

Saya bertemu dengan orang dari berbagai suku, dari berbagai asal—dari seluruh Indonesia. Saya juga jadi tahu seperti apa Indonesia. Keliling Indonesia.

Bisa dibilang kalau saya tidak terjun ke basket, saya belum tentu pernah ke Batam. Pernah ke tempat lain. Semuanya lebih ke pengalaman saja.

Di Bandung Utama dapat pengalaman apa? Di Garuda dan Prawira dapat apa?

Di Bandung Utama—istilahnya—dari tim yang paling bawah sedikit demi sedikit mulai merintis. Tahun pertama baru dimulai, tahun kedua bisa masuk playoff. Sayang, tahun ketiga tidak masuk playoff.

Macam-macam yang kami alami. Dari segi manajemen. Ternyata manajemennya kurang bisa bertahan jangka panjang. Akhirnya yang sudah-sudah juga banyak kasus. Belum terselesaikan. Untungnya saya ditarik ke Garuda. Ada masa-masanya: awal, tengah, akhir.

Abang sudah lama main bareng Surliyadin. Dulu di Bandung Utama bareng. Di Garuda dan Prawira juga bareng. Kalian sudah melewati banyak hal.

Iya, betul. Sepaket juga pindah ke Garuda.

Kami mengalami banyak hal. Bersyukur atas pengalaman. Bersyukur atas apa yang Tuhan kasih. Bersyukur saja.

Kira-kira setelah ini Prawira akan menjadi tim yang seperti apa? Luthfianes Gunawan juga sudah tidak di sana.

Saya rasa, sih, sudah saatnya Reza Guntara dan Pandu Wiguna—yang posisinya sama seperti saya—untuk jadi lebih matang. Mereka juga sudah tahun ketiga. Harusnya sudah matang dari segi mental dan permainan. Karena ini sudah waktunya buat mereka. Kalau saya sama Luthfi kan sudah 30-an. Jadi, ini waktunya yang muda-muda untuk naik.

Reza dan Pandu karakternya seperti apa?

Mereka orangnya mau berjuang. Di latihan juga bagus. Cuma konsistensi mental saja yang belum stabil, terutama ketika pertandingan. Namanya anak muda, masih umur 23-an, jadi butuh berkembang lagi.

Namun, saya rasa mereka sudah jauh lebih siap. Mereka juga sudah pernah dipanggil timnas. Sudah saatnya tanggung jawabnya ada pada mereka. Sudah saatnya mereka step-up. Nantinya mereka bakal jadi senior.

Setelah sekian tahun, apa pendapat Bang Luke soal IBL?

Awalnya IBL masih meraba-raba. IBL yang baru ini. Tahun selanjutnya, perkembangannya mulai kelihatan. Misalnya di Seri Bandung—saya kasih contoh Seri Bandung saja, ya—awalnya terasa sepi banget. Soalnya kami merasa beda dari tahun lalu. Namun, sampai di tahun berikutnya, saya rasa progress-nya bagus.

Dilihat dari animo di Bandung. Kapasitasnya sudah bisa full. Kalau dulu melompong, sekarang bisa full. Dari situ saja bisa dilihat kalau antusiasme penonton jauh lebih menarik. Ke depannya pasti—yakin—IBL bisa berkembang.

Sekarang Bang Luke sudah pensiun, sudah ngurus usaha, kira-kira kalau usahanya stabil ada kemungkinan balik main basket?

Untuk sekarang belum bisa bilang apa-apa. Masih ada enam bulan buat recovery. Tetap fokus dengan apa yang harus saya jalani sekarang.

Untuk ke depannya, kita tidak ada yang tahu. Saya cuma bisa bilang kalau saya sekarang pensiun, saya fokus dengan usaha, kalau ada kesempatan kita tidak ada yang tahu.

Ini menarik, sebenarnya apa yang membuat Abang mau terjun ke konveksi?

Sebelumnya saya pernah buka toko baju yang di Lengkong. Sama Gian Gumilar. Namun, karena saya harus ke Garuda di Jakarta, saya lepas usaha itu. Ketika kembali ke Bandung, ternyata bertemu dengan peluang yang sama. Bahkan sekarang bukan lagi toko, tetapi lebih ke produksi.

Ini sesuatu yang baru. Ini menarik. Saya juga suka dengan dunia fesyen, walaupun itu fesyen perempuan. Sekarang saya belajar membuat merek tekstil dulu. Inginnya nanti jadi pabrik. Sekarang saya fokus dulu di sini. Nanti mimpinya punya pabrik.

Sekarang masih home industry?

Sebelumnya rumahan, sekarang sudah pindah. Kapastitasnya lumayan. Sudah dua kali lebih besar dari kemarin. Baru pindah banget sebenarnya. Baru dua minggu. Masih trial and error.

Tantangannya dunia fesyen dan konveksi ini apa? Kalau kita lihat di Bandung banyak sekali industri seperti itu?

Iya banyak. Cuma kalau kita lihat, sebenarnya usaha saya ini punya pasar yang belum banyak. Kebanyakan di sini kaus. Kalau saya, kan, fesyen perempuan yang mengarah ke butik. Online shop juga ke arah butik.

Bang Luke belajar dari mana soal fesyen perempuan ini?

Dari nol. Tanya-tanya. Browsing. Dari nol semua.

Saya cari kesempatan sendiri. Belanja kain. Cari penjahit. Yang awalnya satu, sekarang Puji Tuhan ada 12 penjahit.

Nama usahanya apa?

Untuk sekarang, karena baru pindah, masih ngurus nama dan SIUP. Mau membereskan dalamnya dulu. Setelah itu baru gerak yang lain.  

Oke kalau begitu. Pertanyaan saya cukup sampai di sini. Senang bisa ngobrol lagi. Terima kasih sudah mau ngobrol sama Mainbasket.

Baik, terima kasih juga.

Foto: Hariyanto

Komentar