Muhammad Sandy Ibrahim Aziz, garda Satria Muda Pertamina Jakarta, baru mengikuti IBL Go-Jek 3x3 Basketball Indonesia Tour pada 2019 ini. Namun, ia sudah cukup berprestasi. Sandy membantu timnya meraih dua gelar juara di seri Bali dan Yogyakarta.
Sandy juga tampil impresif selama tiga seri itu, terutama di Yogyakarta. Ia mampu bermain di area berbeda, baik di luar garis busur maupun merangsek masuk ke dalam dengan tembakan. Ia bahkan seringkali menarik teriakan penonton dengan tombokan-tombokannya yang menawan.
Setelah memastikan diri menjadi juara Seri III Yogyakarta, saya menarik Sandy ke tepi. Saya meminta izin untuk wawancara. Kebetulan saya tertarik berbincang-bincang dengannya karena itu merupakan pengalaman pertamanya di IBL 3x3.
Sandy, tolong beri komentar soal penampilan kalian di IBL 3x3!
Bangga banget sama anak-anak. Apalagi Laurent (Laurentius Steven Oei) baru kembali dari cederanya. Dia masih adaptasi. Terus, salut juga sama teman-teman meski pun lelah badan, recovery pendek, tapi mereka kasih effort lebih. Seratus persen bahkan. Itu, sih, yang paling membanggakan dari anak-anak.
Selama tiga seri, seri mana yang terbaik?
Seri terbaik, mungkin, yang kedua. Kemarin juara di Bali. Sekarang juara di Yogya. Kami di penyisihan kemarin kalah sekali. Di Bali juga sempat kalah sekali. Cuma kami berhasil survive. Kami kasih yang terbaik sampai final di Bali. Effort-nya besar.
Apa bedanya di Bali kemarin dengan sekarang? Beda pemain doang, kan? Kemarin ada Avan (Seputra), sekarang ada Laurent. Avan ada, kan?
Iya ada, ada. Bedanya, kemarin di Bali, kami lebih banyak bermain penetrasi dari luar, sekarang kami memanfaatkan size dari Kevin (Yonas) dan Laurent buat main di dalam. Laurent juga bisa attack dari luar.
Kami jadi punya lebih banyak pilihan. Kalau kami sedang tidak tune shoot-nya, kami share bola, main dalam dan mencoba menyerang dari sana.
Tahun lalu kamu tidak ada. Maksudnya, tidak ikut 3x3. Kamu terbiasa dengan 5-on-5. Ada kesulitan tidak ketika bermain 3x3 tahun ini?
Ya, awalnya empat susah juga. Soalnya memang beda, kan, dari 5-on-5. Intensitasnya juga lebih tinggi ini. Dari ukuran dan berat bola beda.
Regulasi juga beda.
Iya, beda-beda. Dari ukuran bola juga berpengaruh sama perform shooting. Itu bola enam, cuma size-nya tujuh. Banyak yang harus diadaptasi.
Butuh waktu lama tidak?
Sebenarnya tidak, sih. Tidak butuh waktu lama. Kami, misalnya, habis latihan nonton video atau apa. Supaya tahu bagaimana permainan yang bagus; apa yang harus dilakukan; hal yang baik kami serap dan diaplikasikan pas latihan. Begitu, sih, harus sering-sering belajar.
Berarti lebih sulit tidak daripada 5-on-5?
Kalau masalah sulit, sih, tidak sebenarnya. Ya itu, karena mau belajar. Mau belajar dari kesalahan. Misalnya bola masuk, habis offense, tidak boleh defense dari setengah lingkaran. Nah, kalau di 5-on-5 itu kami—kayak—spontan langsung mau ambil bolanya. Itu, kan, tidak boleh.
Pilih mana antara 5-on-5 dengan 3x3?
Pilihan susah. Cuma buat sekarang, offseason, fokus 3x3.
Kenapa?
Kami bisa eksplor kemampuan kami. Dari individual skill sampai segala macam. Kami juga bisa semakin mematangkan chemistry satu sama lain. Sama fisik. Soalnya bolanya di sini hidup terus.
Targetnya apa, nih? Sejauh ini sudah dapat 2 juara dari 3 seri.
Targetnya kami tidak mungkin tidak mau juara. Kami, sih, inginnya juara terus. Yang penting di akhir, grand final di Jakarta, kami bisa menang terus berangkat ke Jeddah. Itu, sih, intinya. Di akhir saja.
Foto: Ariya Kurniawan