Orang bilang kita seharusnya memisahkan olahraga dengan politik. Padahal olahraga—dalam hal ini bola basket—dan politik sebenarnya memiliki kemiripan. Panasnya politik di Indonesia pada tahun-tahun ke belakang, terutama dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ini, sedikit-banyak dapat menjelaskan hal itu.

Dalam Pilpres tahun ini, Indonesia kembali dihadapkan pada—setidaknya—dua pilihan, antara: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Jika Jokowi disebut petahana, maka bolehlah menyebut Prabowo sebagai oposisi. Keduanya bersaing memperebutkan kursi nomor satu di Tanah Air.

Jokowi telah memimpin Indonesia sebagai presiden sejak 2014 silam. Dan ia punya satu kesempatan lagi untuk memimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Sementara itu, Prabowo—yang kebetulan juga menjadi pesaing sejak 2014—berusaha menggoyahkan kekuatan Petahana sekali lagi.

Dalam prosesnya, Jokowi ternyata tidak goyah. Ia menang. Menurut perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi mendapat 55,2 persen suara dalam Pilpres 2019. Prabowo mesti legawa karena Petahana menang lagi.

Meski demikian, Prabowo tidak langsung legawa. Kubunya meminta Mahakamah Konstitusi (MK) untuk mengaji Pilpres 2019 lewat persidangan. Persidangan demi persidangan pun digelar. Namun, Prabowo tetap dinyatakan kalah.

Secara umum, ilustrasi Pilpres 2019 di atas sebenarnya menjelaskan kemiripan antara politik dan olahraga. Sebab, seperti juga politik dalam demokrasi, bola basket selalu membutuhkan kompetisi. Sementara dalam kompetisi, pertandingan hanya bisa digelar jika ada lawannya. Seandainya lawan itu dimusnahkan, maka kompetisi tidak akan pernah berlangsung.

 

***

 

Di NBA, Golden State Warriors mendominasi liga selama lima tahun terakhir. Klub-klub lain (oposisi) tentu ingin menggoyahkan dinasti Warriors. Para oposisi pun memperkuat skuatnya agar bisa melakukan itu. Mereka, terutama yang berada di Wilayah Barat, bahkan sampai melakukan berbagai cara—dari merekrut pemain bintang sampai mengembangkan kemampuan—hanya demi mengalahkan Warriors.

Sementara itu, di Wilayah Timur, Cleveland Cavaliers menjadi klub yang cukup kuat untuk menantang Warriors di Final NBA. Apalagi mereka punya megabintang LeBron James. Sang Raja membuktikan hal itu dengan memimpin skuatnya untuk menghadapi Warriors di empat musim pertama (2015—2018). Dari empat pertemuan mereka di final, Cavaliers hanya sempat menjadi juara sekali pada 2016. Sisanya milik Warriors (2015, 2017, dan 2018).

Kendati hanya sekali, Cavaliers telah mengubah pandangan Warriors terhadap diri mereka sendiri. Ketika skuat yang mereka punya ternyata sudah sulit membendung Cavaliers, President of Basketball Operations Warriors Bob Myers melakukan pergerakan besar dengan merekrut Kevin Durant, yang kebetulan kontraknya habis bersama Oklahoma City Thunder.

Kehadiran bintang sekelas Durant tentu membuat Warriors semakin kuat. Hal itu terbukti pada 2017 dan 2018. Durant mampu membantu Warriors menyabet gelar juara dua kali beruntun. Ia bahkan dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Final pada dua gelaran tersebut. Begitulah oposisi bekerja selama ini. Keberadaan oposisi dalam persaingan membuat mereka semakin kuat.

 

***

 

Setahun berselang sejak pertemuan terakhir Warriors dan Cavaliers, peta persaingan bahkan berubah lagi. Kepindahan James dari Cavaliers ke Los Angeles Lakers menjadi alasan utama perubahan itu. Cavaliers tanpa James runtuh di Wilayah Timur. Mereka tidak lagi menjadi oposisi yang kuat, melainkan tim papan bawah yang bertahan hidup saja sulitnya minta ampun.

Di saat-saat itu, klub seperti Toronto Raptors menyiapkan skuatnya untuk bermain di tingkat yang lebih tinggi. President of Basketball Operations Raptors Masai Ujiri bahkan sampai mengorbankan pemain bintang untuk mendapatkan pemain bintang lainnya. Ia menukar DeMar DeRozan—yang notabene wajah utama tim itu—ke San Antonio Spurs demi Kawhi Leonard. Ujiri juga berani memecat Kepala Pelatih Dwane Casey dan menggantikannya dengan Nick Nurse, yang sebelumnya menjabat sebagai asisten pelatih.

Dalam perjalanannya, Warriors—seperti biasa—mampu mengatasi oposisinya di Wilayah Barat. Mereka menjadi yang terkuat di sana. Sementara itu, Raptors meniti jalan pelan-pelan sambil melakukan pengaturan beban kerja (load management) agar pemain mereka fit sampai akhir. Upaya itu berhasil sehingga Raptors punya cukup kekuatan untuk meretas batas. Mereka menumbangkan oposisinya di Wilayah Timur sampai bisa ke final untuk pertama kali dalam sejarah klub.  

Warriors dan Raptors pun bertemu di Final NBA 2019 setelah menyingkirkan oposisi di wilayah masing-masing. Mereka telah semakin kuat karena melalui berbagai rintangan. Warriors dan Raptors setidaknya harus menyingkirkan masing-masing tiga klub di Playoff untuk sampai ke Final.

Warriors pada awalnya diunggulkan untuk memenangkan kejuaraan. Namun, semuanya berubah ketika mereka mulai kehilangan satu per satu pemainnya. Kevin Durant cedera Achilles, Klay Thompson cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL). Raptors memanfaatkan ketiadaan keduanya untuk melumat Warriors 4-2. Mereka pun menjadi juara dan menjadi satu-satunya wakil Kanada yang pernah menyabet gelar di NBA.

 

***

 

Pada musim panas 2019 ini, peta persaingan kembali berubah. Sebab, para bintang pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anthony Davis pindah ke Los Angeles Lakers. Kawhi Leonard pindah ke Los Angeles Clippers.

Klub-klub NBA, termasuk Warriors dan Raptors, pun terpaksa mengubah wajah mereka. Pasar pemain bebas benar-benar kacau karena semuanya serbabombastis. Semuanya berubah dengan cepat. Bahkan beberapa kepindahan tidak disangka-sangka. Paul George mengikuti Leonard ke Clippers. Sehingga membuat Russell Westbrook juga keluar dari Oklahoma City Thunder untuk merapat ke Houston Rockets.

Klub-klub itu mengubah wajah dengan satu tujuan: Mereka ingin menjadi kuat di masa mendatang. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa oposisinya tidak tinggal diam. Sehingga klub seperti Warriors dan Raptors juga merasa harus melakukan pergerakan.

Melalui penerimaan kenyataan seperti itulah kompetisi terus belangsung. Lawan ada agar kita tetap ada. Sebab, seringkali, lawan adalah kita. Dan kita adalah lawan. Semua bergerak dengan menyesuaikan satu sama lain. Politik bergerak seperti itu. Olahraga pun begitu. Mirip.

Foto: NBA

Komentar