Saya tidak menyukai dominasi dalam sepak bola. Mungkin juga dalam berbagai hal, termasuk basket—olahraga yang saya sukai.
Ketika Liverpool berhasil mengalahkan Lionel Messi dan Barcelonanya yang adidaya, saya senang sekali. Rasanya seperti melihat arogansi borjuis dikangkangi perjuangan proletar. Padahal saya bukan suporter Liverpool.
Ajax versus Totenham Hotspur tadi malam juga tidak kalah serunya. Spur berhasil mengalahkan Ajax—yang notabene tim papan atas Eredivise—di leg kedua dengan skor 3-2 (agregat 3-3). Mereka menang gol tandang. Lucas Moura mencetak hat-rick, termasuk satu gol di pengujung pertandingan.
Sebagai tim yang mengalahkan tim kesayangan saya (Manchester City), Spur rupanya tidak buruk-buruk amat. Mereka mampu menembus final UEFA Champions League (UCL). Tim asal London Utara itu akan menantang Liverpool di babak penentuan.
Bagi saya, pertandingan final UCL nanti bukanlah pertarungan sepak bola semata. Pertandingan nanti akan menjadi perang saraf. Setidaknya di antara suporter. Sebab, suporter sepak bola itu sarat gengsi. Bahkan pendukung-pendukung klub lain yang tidak tampil di final akan ikut dalam perang saraf itu.
Suporter Manchester United barang tentu akan mendukung Spur. Mereka selalu tidak suka jika Liverpool—yang merupakan rival abadinya—sukses.
Di sisi lain, suporter Arsenal justru akan mendukung Liverpool. Sebab, The Gooners punya kisah rivalitas yang panjang dengan Spurs. Bahkan kedua klub menjadi representasi sejarah perebutan London Utara. Arsenal benci jika Spur juara.
Sementara itu, di dunia basket, beberapa orang juga menampakkan fanatismenya. Ada yang menjadi suporter Liverpool, ada pula yang mendukung Spur. LeBron James, misalnya, sudah pasti mendukung Liverpool.
“Malam yang luar biasa untuk The Reds,” kata James dalam cuitannya di Twitter ketika Liverpool menumbangkan Barcelona.
James bahkan menulis ungkapan perasaannya dengan huruf kapital, juga beberapa emoticon yang membuatnya sangat ekspresif. Ia tidak lupa menambahkan tagar YNWA (you’ll never walk alone) khas suporter Liverpool. YNWA sudah lama menjadi semboyan mereka.
James sebenarnya bukan suporter biasa. Secara de facto dan de jure, ia adalah pemilik klub. Ia membeli dua persen saham Liverpool pada 2011. Saat itu, harganya hanya AS$6,5 juta. Kini sudah naik lima kali lipat. Liverpool bahkan bisa merengkuh AS$100 juta lagi setelah menembus final.
Sementara itu, legenda NBA Steve Nash punya kedekatan lain dengan sepak bola. Sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan pesepak bola, si kulit bundar otomatis menjadi cinta pertamanya. Spur, di sisi lain, adalah klub kesayangannya.
“Ayah saya tumbuh di seberang taman White Hart Lane, kakek saya juga penggemar Spurs,” kata Nash seperti dikutip situs resmi Spur.
Nash bahkan menangis ketika menonton Spur lolos ke final UCL. Ia terharu karena pada akhirnya bisa melihat klub yang didukungnya ke final. Ia menunggu kesempatan itu seumur hidupnya. Ia selalu menonton Spur.
“Saya dapat menonton setiap pertandingan Spur di Premier League dan Champions League. Saya bisa melihat banyak pertandingan dan sepak bola telah berkembang di Amerika,” kata Nash lagi.
“Saya datang ke NBA 20 tahun yang lalu dan sulit untuk menonton pertandingan di Amerika, tetapi sekarang kita bisa menonton setiap pertandingan Premier League ditambah Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich, pertandingan Italia, MLS, Meksiko. Pertandingannya meriah.”
Kini Nash harus menunggu sampai pergantian bulan untuk menonton Spur di final. Pertandingan berlangsung di Madrid pada 1 Juni mendatang. Sampai waktu itu tiba, para pendukung Spur boleh saja memancing perang saraf.
James, di sisi lain, juga begitu. Namun, di sela-sela menunggu, Sang Raja tengah harap-harap cemas. Liverpool semakin dekat dengan gelar juara Premier League. Namun, Manchester City kesayangan saya selalu menjadi momok mengerikan bagi mereka. Liverpool dan Manchester City punya sisa satu pertandingan yang menentukan gelar.
Foto: Cavs Nation, UEFA, dan Tottenham Hotspur