Di bulan Juni lalu, saya menemani tim nasional (timnas) putra kita berlatih di Amerika Serikat. Membawa 14 pemain, timnas kita ditemani empat orang pelatih. Ada Johannis Winar, AF Rinaldo, Tri Prasetyo dan Wahyu Widayat Jati sebagai kepala pelatih.

Hampir setiap hari kami berjalan bersama menuju Sports Academy di Thousand Oaks, Los Angeles. Kadang menggunakan mobil sewaan, Uber, dan juga berjalan kaki. Fasilitas berlatih mewah yang juga digunakan oleh beberapa pemain NBA dan NCAA ini memang tidak begitu jauh dari tempat kami menginap. Hanya sekitar dua kilometer saja.

Di salah satu hari, ketika bersiap menuju Sports Academy, kali ini menggunakan jemputan Uber, saya dan para pelatih berkumpul. Salah satu di antara mereka bertanya kepada saya. “Jadi kapan nih IBL mulai jalan lagi?”

Belum sempat saya menjawab, pelatih lain menimpali. “November,” katanya.

Pelatih yang melontarkan pertanyaan kemudian membalas, “saya dengar Desember.”

“Ya, memang Desember, kok,” kata pelatih yang satu lagi.

Para pelatih ini menjawab sendiri pertanyaan yang diserukan oleh salah satu di antara mereka. Padahal, yang ditanya adalah saya. Saya lalu menyela, merasa berhak menjawab karena memang sayalah yang ditanya.

“Januari,” jawab saya.

Saya menjawab Januari karena memang itulah jawaban yang saya dapat dari sumber petinggi IBL yang sangat terpercaya. Para pelatih melihat ke arah saya.

“Ini nih sulitnya,” kata Coach Prasetyo, pelatih yang juga pelatih fisik Aspac yang baru saja mengundurkan diri dari tim. “Para pelatih jadi tidak bisa mengatur program yang terukur.”

Obrolan terpotong. Mobil Uber pesanan sudah datang.

Sampai saat ini, pertanyaan di atas belum benar-benar terjawab. Dalam wawancara terakhir kami dengan Direktur IBL Hasan Gozali, jawabannya adalah Desember. Tanggal berapa tepatnya. Belum ada.

Belum lagi pertanyaan di atas terjawab, kita, para penggemar basket Indonesia tiba-tiba tersambar petir di siang bolong. CLS Knights Surabaya menarik diri dari keikutsertaan di IBL musim selanjutnya. Blarrr!

Alasannya, CLS Knights, tim yang sudah berumur 70 tahun ini enggan mengubah status badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas (PT) seperti yang disyaratkan oleh IBL. Melalui Surat Pengunduran Diri mereka, CLS Knights mengatakan ingin tetap berbentuk yayasan.

Kabar, mundurnya CLS Knights awalnya saya dapatkan dari salah satu pengurus tim IBL. Saya terima di pagi hari.

Kaget tentu saja. Tapi saya coba tenang, berpikir bahwa ini adalah gejolak di dalam IBL yang publik belum perlu tahu.

Beberapa menit kemudian, seorang direktur yang perusahaannya mensponsori salah satu tim IBL menelepon saya. Saya tidak angkat. Telepon saya berbunyi dua kali. Saya melihatnya, tapi saya sedang nyetir.

Sampai di tujuan, maksud hati menelepon kembali. Tapi sang direktur yang juga adalah kawan saya mengirim pesan whatsapp. Isinya adalah salinan Surat Pengunduran Diri CLS Knights.

Wah, sudah nyebar ke mana-mana sepertinya,” pikir saya.

Siang harinya, saya mendapat telepon dari seorang teman. Penggemar IBL biasa. Ia bertanya singkat, “lu sudah lihat suratnya?”

Telepon dari teman inilah yang meyakinkan saya untuk akhirnya mengunggah kabar pengunduran diri CLS Knights ke instagram @mainbasket. Dua kali unggahan.

Heboh, tentu saja. Ratusan komentar berdatangan. Baik yang menyayangkan, mendukung CLS Knights, maupun mendukung kebijakan liga. Semarak dan seru. Komentar-komentar tersebut menggambarkan betapa IBL, walaupun kerap hilang lama ketika final berakhir, masih selalu dirindukan oleh para penggemarnya.

Saya, melalui kontributor Mainbasket, lalu mengonfirmasi surat CLS Knights ke IBL. Direktur IBL Hasan Gozali membenarkan.

Menurut Hasan, aturan harus berbadan hukum PT itu sudah ada sejak musim sebelumnya (IBL 2016). Tujuannya agar membuat tim-tim lebih profesional dan terbuka. Lebih lanjut, Hasan menjelaskan bahwa dengan berbentuk PT, di musim 2019 dan 2020 nanti liga bisa menerapkan berbagai kebijakan yang akan membuat liga lebih maju. Seperti salary cap, besaran gaji pemain, dan lain-lain.

Senada dan searah dengan Hasan, komentar-komentar yang mendukung kebijakan liga juga bermunculan di kolom komentar instagram @mainbasket.

“PT. lah biar keuangannya lebih jelas.” Kata @timoxmp

“PT. lah, smua tim itu wajib PT. Mau basket, voli ataupun futsal. Agar tau dari mana sumber uangnya. Masa yayasan, kaya sekolahan aja.” Kata @firmanwikrma

Dan lain-lain, dan lain-lain. Ada lebih dari 1.000 komentar di dua unggahan instagram @mainbasket yang membahas tentang isu ini.

Sebelum melangkah membawa bahasan ini lebih jauh, saya ingin menekankan bahwa saya tidak pro-yayasan (CLS Knights) dan tidak pula anti-PT seperti yang diinginkan IBL. Saya hanya ingin basket Indonesia, khususnya liga basket tertinggi IBL berkembang semakin hebat ke masa depan. Mau bentuk PT ataupun yayasan, kalau salah satunya adalah yang terbaik, saya senang-senang saja dan selalu mendukung 110 persen.

IBL ingin semua tim berbentuk PT. Suka tidak suka, kebijakan ini membuat kita kemungkinan besar akan kehilangan CLS Knights Surabaya. Dan ini, bagi saya sebagai penggemar IBL, sangat menyedihkan. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa CLS Knights enggan mengubah statusnya menjadi PT dan kenapa IBL kukuh ingin tim-tim berbentuk PT.

Sayangnya, dua jawaban yang saya butuhkan tidak tergambar dengan jelas. Hanya samar-samar saja. Meskipun sebenarnya penjelasan Hasan Gozali di Mainbasket sudah mewakili alasan di balik tujuan pembentukan PT ini.

Dengan berbentuk PT, tim-tim diharapkan menjadi lebih profesional. Basket juga ke depan bisa menjadi industri.

Dua kalimat di atas yang paling sering saya dengar terkait isu ini. Lucunya, saya tidak pernah tahu mana dan apa saja batasan-batasan “profesional” dan apa saja indikator sebuah entitas bisa dikatakan sudah menjadi “industri”.

Apakah profesional itu berarti bayar gaji pemain tidak terlambat? Bisa jadi.

Apakah profesional itu berarti para pemain memiliki jadwal “kerja” yang tetap? Bisa jadi.

Apakah profesional itu taat pajak? Mungkin juga.

Lalu apa itu industri?

Apakah industri terkait produk atau jasa, lalu ada proses produksi, ada besaran modal ada hitungan investasi, pemasukan, laba, potensi kerugian, dan lain-lain? Mungkin ya.

Apakah industri itu artinya ada ukuran nominal uang tertentu yang meliputi sebuah kategori produk atau jasa? Barangkali.

Industri adalah bidang yang menggunakan ketrampilan, dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi, dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya, dan politik.

Bidang industri dibedakan menjadi dua, yaitu industri barang dan industri jasa.

Industri barang

Industri barang merupakan usaha mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Kegiatan industri ini menghasilkan berbagai jenis barang, seperti pakaian, sepatu, mobil, sepeda motor, pupuk, dan obatobatan.

Industri jasa

Industri jasa merupakan kegiatan ekonomi yang dengan cara memberikan pelayanan jasa. Contohnya, jasa transportasi seperti angkutan bus, kereta api, penerbangan, dan pelayaran. Perusahaan jasa ada juga yang membantu proses produksi. Contohnya, jasa bank dan pergudangan. Pelayanan jasa ada yang langsung ditujukan kepada para konsumen. Contohnya asuransi, kesehatan, penjahit, pengacara, salon kecantikan, dan tukang cukur.

Itu kata Wikipedia.

Nah, basket kita sudah jadi industri, belum? Mungkin ya. Mungkin tidak.

Basket kita sudah profesional atau menuju profesional belum?

Alih-alih meributkan ini, saya melihat lebih banyak isu yang seharusnya lebih dulu diprioritaskan oleh IBL. Daripada ingin menegakkan aturan setiap tim harus berbadan hukum PT, kenapa tidak bikin dan jalankan dulu langkah-langkah strategis dan praktis yang lebih nyata alias tidak seabstrak “profesional” dan “industri”. Misalnya, menentukan gaji minimum seorang pemain. Katakanlah 10 juta per bulan. Atau mengisi kekosongan di dalam jeda musim (off season) yang begitu panjang dan seolah tak bertepi ini.

Salary cap? Saya tidak terlalu menganggap penting hal ini. Saya rasa IBL belum butuh. Boleh saja IBL punya alasan bahwa kita butuh salary cap untuk menghindari perang harga perebutan pemain antartim-tim kaya sehingga kekuatan menjadi timpang dan dominan.

Masuk akal. Tapi siapa bisa jamin bahwa tidak ada tim yang “main belakang” dalam membayar pemainnya? Salary cap boleh mengatakan 100 juta, tapi siapa bisa jamin si pemain tidak dapat 1 miliar yang dibayarkan lewat tetangganya atau keluarganya?

Kita belum sampai ke situ. Memastikan setiap pemain menerima (misalnya) 10 juta rupiah per bulan jauh lebih mudah, nyata dan memberi dampak besar.

Bagaimana dengan bentuk yayasan? Sejujurnya, saya pun belum mendalami lebih dalam. Tapi ada satu komentar menarik di instagram @mainbasket.

“Dasar hukum yayasan adalah UU 16 tahun 2001. Pasal 5 berbunyi Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan. Mohon pencerahannya dari praktisi ilmu hukum apakah pasal ini juga berdampak pada kegiatan pemberian gaji pemain basket dari tim yang berbentuk yayasan? Thanks in advance for the clarification!” Komentar dari komentator IBL @ridwanibl.

Komentar di atas mencerahkan saya. Menambah ilmu. Karena awalnya memang saya tidak pernah tahu. Namun kemudian saya teringat klub bulutangkis PB Djarum.

Dalam berbagai macam tampilan, PB Djarum juga kerap tertulis sebagai PB Djarum Foundation. Foundation itu bahasa Inggrisnya yayasan.

Sebagai perkumuplan olahraga bulutangkis profesional, PB Djarum membina banyak pemain. Mulai dari yang amatir, hingga profesional. Apakah para pemain PB Djarum mendapat uang atau gaji? Entahlah, saya harus tanya dulu ke pacar Juan Laurent Kokodiputra. Dia pemain PB Djarum, kalau tidak salah. Tapi PB Djarum juga memberi beasiswa pendidikan kepada atlet-atlet bulutangkis Indonesia. Hmm.. Mirip siapa ya? Yup, mirip apa yang dilakukan CLS Knights Surabaya.

Apakah ada hubungannya dengan pajak?

CLS Knights dalam edaran persnya mengatakan bahwa mereka taat kepada urusan beginian.

Lalu ada yang bilang juga di komentar bahwa Juventus dan Barcelona adalah tim olahraga yang berbentuk yayasan. Saya coba cari tahu. Entah dengan Barcelona, tapi saya menemukan bahwa Juventus berbentuk AG (semacam PT juga).

Jadi bagaimana?

Saya masih pada rasa penasaran saya. Kenapa tim-tim harus berbentuk PT, jika apa yang ingin diraih bisa tercapai tanpa harus menjadi PT?

Saya galau karena kebijakan ini begitu mahal. Mahal seharga ingin mundurnya CLS Knights dari IBL.

Galau saya juga ditambah dengan kebingungan dengan aturan lain yang menyertai aturan PT ini. “Klub IBL yang tidak berbentuk PT akan dikenakan sanksi denda 250 juta rupiah.”

Jadi kalau CLS Knights tetap main di IBL dengan status yayasan, maka jelas mereka akan kena denda 250 juta rupiah per tahun.

CLS Knights memilih keluar dan segera mengirim surat. Yup petir di siang bolong! Lalu kemudian saya menemukan kenapa petir ini begitu buru-buru berbunyi di siang bolong tanpa menunggu awan berkumpul dulu.

Ternyata, masih dalam aturan IBL, kalau ada tim yang ingin mundur, mereka harus memberi kabar lebih dari 120 hari sebelum liga bergulir. Kalau tidak, mereka akan kena sanksi 1 miliar. Dan kalau lebih telat lagi, di bawah 90 hari, denda menanjak ke angka 4 miliar. Lumayan.

Saya lalu menanyakan perihal aturan ini ke salah satu manajer-pemilik tim IBL (yang terlebih dulu menghubungi saya dan mengajak diskusi terkait mundurnya CLS Knights). Saya tanya, apakah aturan ini sudah ada sejak tahun lalu? Atau baru dikirim beberapa hari lalu sehingga CLS Knights buru-buru mengumumkan pengundurandirinya? Dia tidak tahu. Tidak “ngeh”. Mungkin tahun lalu. Mungkin memang baru saja.

Wow.

Saya kemudian menanyakan perihal aturan ini ke manajer tim IBL yang lain. Ia menjawab, itu aturan baru.

Wow.

Dua jawaban dari dua manajer tim IBL yang berbeda. Entah ini menggambarkan apa.

Kalau memang baru disosialisasikan beberapa hari lalu, ngeri sekali. Dengan jadwal pasti yang belum ada, aturan tersebut mengancam semua tim yang ingin mundur terkena denda 4 miliar! Karena liga bisa saja mulai besok tanpa ada yang mengetahui.

Pada akhirnya, saya juga berpikir dan berbagi kepada teman-teman pecinta IBL yang lain. Posisi CLS Knights saat ini cukup lemah. Liga punya otoritas untuk memecat keanggotaan siapa saja dengan alasan apapun.

Dulu, IBL adalah milik semua tim. Ketika pertama kali dibentuk sekitar 20 tahun lalu, tim-tim peserta mengumpulkan uang bersama untuk menjalankan liga. Kepemilikan liga oleh masing-masing tim terwakilkan dalam wadah bernama Dewan Komisaris.

Kini, sejak liga diambil alih oleh sebuah konsorsium karena berbagai masalah pascamusim 2016, kepemilikan liga terpisah dari para pemilik tim. Itulah mengapa tahun lalu Aspac Jakarta, NSH Jakarta dan Stadium Jakarta terancam terdepak dari liga yang berujung disanksinya Aspac dan NSH dan bubarnya Stadium.

Sekali lagi, saya tidak mendukung bentuk yayasan atau menolak bentuk PT. Kalau bentuk PT bisa membawa sebuah tim menjadi profesional, tentu bagus. Kalau ternyata CLS Knights dengan tradisinya sebagai yayasan juga mampu berbuat serupa dan menguntungkan liga, itu juga bagus.

Ironisnya, ketika IBL berkata bahwa mereka ingin profesional, menentukan kapan musim depan mulai bergulir saja mereka tidak mampu.(*)

Foto: Hari Purwanto

Komentar